Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
“Untuk meningkatkan kesejahteraan, jangan lupa kesejahteraan pegawai KPK… Kalau gaji naik, Pak, pasti tidak ada kegaduhan. Tapi kalau gajinya turun, pasti akan terjadi kegoncangan,” ucap Komjen Pol Firli Bahuri saat memberikan kata sambutan sebagai Ketua KPK periode 2019-2023 di Hall Olahraga Gedung KPK, pada Jumat (20/12).
1… 2… 3 detik berlalu.
“Kok gak tepuk tangan ini?” tanyanya sambil mengacungkan jari telunjuk ke hadapan puluhan pegawai KPK yang berbaris di hadapan. Senyum mantan Kapolda Sumatera Selatan itu lenyap sejenak ketika tak ada respons yang ia harapkan.
Setelah sepersekian detik, suara tepuk tangan pun dengan singkat dan pelan terdengar. Mata tajam Firli menyapu sudut ruangan, ia melanjutkan kata sambutannya itu. “Saya tidak janji, tapi saya sudah sampaikan semua.”
Ia pun mengakhiri kata sambutan itu dengan mohon dukungan semua pihak untuk membebaskan NKRI dari korupsi. Selama lima menit terakhir dari total 11 menit pidatonya, Firli menyoroti perihal perubahan status pegawai KPK menjadi bagian dari Aparatur Sipil Negara (ASN).
Ia berjanji akan berusaha memastikan semua pegawai beralih status tanpa kecuali, dan menjamin penghasilan para pegawai tak mengalami penurunan. Baginya, persoalan besar dalam peralihan status pegawai KPK sebagai ASN ada pada kepastian hukum, mekanisme konversi strata, dan juga penghasilan. Namun pernyataan itu direspons dingin.
Firli Bahuri memang sosok yang kontroversial. Upayanya untuk menempati posisi Ketua KPK sempat mendapat tentangan dari internal KPK sendiri. Dua hari sebelum penentuan calon ketua KPK di Ruang Komisi Hukum DPR RI, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dan Dewan Penasihat KPK Mohammad Tsani menggelar konferensi pers yang membeberkan pelanggaran etik berat oleh Firli ketika menjabat Deputi Penindakan KPK pada 2018.
Firli tak cuma diduga mengadakan pertemuan dengan pihak yang tengah berperkara, tapi juga diketahui melakukan pertemuan dengan salah satu pimpinan partai politik saat masih menjabat Deputi Penindakan KPK.
“Dewan Pertimbangan Pegawai meyakini ada pelanggaran berat. Jadi DPP sudah menyimpulkan sepakat dengan hasil pemeriksaan PI (Pengawas Internal) bahwa ada pelanggaran berat," kata Tsani dalam konferensi pers tersebut.
Meski rekam jejak pelanggaran etik Firli sudah dilaporkan KPK ke Komisi III DPR RI, namun anggota Dewan bergeming dan tetap memuluskan jalan Firli memegang tampuk pimpinan KPK. Rasa kecewa atas terpilihnya Firli sebagai Ketua KPK, diduga jadi salah satu alasan banyaknya pegawai KPK mengundurkan diri.
Tapi Firli menampik bahwa mundurnya belasan pegawai KPK lima hari sebelum ia dilantik merupakan buntut dari revisi UU KPK. “Enggak ada, enggak ada (terkait dengan terpilihnya ia sebagai Ketua KPK). Pegawai KPK yang mengundurkan diri itu juga tidak ada kaitannya dengan pengangkatan ASN,” ucap Firli usai dilantik. Baginya, pengunduran diri belasan pegawai di waktu hampir berbarengan itu hal yang lumrah.
“Sekarang mungkin terhitung sekitar 14 orang secara total dalam waktu kurang dari 2 bulan. Ngitungnya jangan dari keseluruhan dong (sekitar 1.500an pegawai), kita harus ngitungnya dari turn over-nya pegawai KPK ketika satu bulan keluar segitu, ya tinggi banget,” ucap seorang pegawai KPK kepada kumparan di sebuah warung pecel ayam wilayah Jakarta Pusat, sehari sebelum pelantikan pimpinan dan anggota dewan pengawas KPK berlangsung.
“Salah satu yang membuat KPK independen itu karena dia bisa mengelola pegawainya sendiri, kita tidak khawatir untuk dimutasi, dipindahkan, atau diberhentikan karena semua otoritas ada di KPK. Ada aturan mainnya,” ucapnya.
Kondisi seperti itu, menurutnya, membuat penyidik maupun penyelidik tak memiliki rasa takut sama sekali ketika hendak memeriksa siapa pun baik itu di level menteri, deputi, dirjen, dan sebagainya. Alhasil faktor independensi secara kelembagaan dan kepegawaian dinilai berperan penting dalam menuai prestasi KPK selama 16 tahun terakhir.
Namun Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berkata lain. Revisi UU KPK yang resmi diberlakukan per 17 Oktober 2019 itu berkata bahwa semua pegawai KPK adalah aparatur sipil negara. Pada pasal 69B, aturan tersebut berkata bahwa penyelidik atau penyidik KPK yang belum berstatus ASN dalam jangka waktu paling lama dua tahun setelah aturan ini diundangkan dapat diangkat sebagai ASN jika memenuhi undang-undang yang berlaku.
“Sekarang buntut kita itu dipegang oleh Kemenpan RB baik ketika menjadi PNS/ASN ataupun P3K (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja/honorer),” ucapnya di tengah dendang lagu dangdut yang disetel pemilik warung pecel. Di titik itulah kekhawatiran akan menguapnya independensi para pegawai KPK hinggap di benak sebagian pegawai KPK. “Temen-temen (yang mengundurkan diri) berpikir bahwa independensi itu akan hilang, jadi bukan semata-mata hanya soal gaji.”
Mundurnya belasan pegawai KPK sebagai akumulasi dari berbagai kekhawatiran yang lahir usai perubahan signifikan terhadap tubuh KPK diamini oleh Ketua Wadah Pegawai KPK, Yudhi Purnomo. “Contohnya kalau nanti penyidik yang memeriksa seorang petinggi negara atau kemudian kasus yang besar, kan ntar bisa dipindah. Kan banyak kekhawatiran seperti itu,” ucap Yudhi kepada kumparan, Rabu (17/12). Sebab perubahan status kepegawaian bisa memperluas ruang intervensi terhadap kerja-kerja KPK.
Kurang dari sebulan sebelum diundangkan, komisi antirasuah ini telah menganalisis setidaknya ada 26 poin perubahan yang berisiko melemahkan KPK dari berbagai sisi. “Revisi ini juga mengubah beberapa hal, mulai dari masalah status pegawai KPK, kemudian juga kewenangan KPK, kewenangan pimpinan KPK, struktur organisasi KPK,” imbuh Yudhi.
Secara garis besar poin-poin yang berpotensi jadi masalah itu mulai dari independensi KPK baik sebagai lembaga ataupun status kepegawaian, kewenangan Dewan Pengawas masuk hingga ranah teknis perizinan, longgarnya standar etik bagi Dewan Pengawas, pimpinan KPK bukan lagi penyidik dan penuntut umum sehingga akan berisiko pada tindakan pro justicia dalam pelaksanaan tugas penindakan, penyelidik tak lagi bisa mengajukan larangan seseorang ke luar negeri, penyadapan tidak lagi bisa dilakukan di tahap penuntutan dan semakin sulit karena birokrasi yang berlapis.
Kemudian Operasi Tangkap Tangan akan semakin sulit dilakukan karena rumitnya izin penyadapan dan aturan lainnya, hingga adanya risiko kriminalisasi terhadap pegawai KPK terkait penyadapan. Kondisi tersebut ditambah dengan berkurangnya kewenangan penuntutan namun tak ada poin penguatan sama sekali untuk KPK dalam melaksanakan fungsi pencegahan korupsi.
Maka salah satu pertanyaan lanjutan buntut dari revisi UU KPK adalah seperti apa mekanisme atau Standard Operational Procedure (SOP) yang baru. Jika dulu mulai dari perintah penyadapan hingga penyidikan hanya membutuhkan persetujuan minimal tiga pimpinan KPK, kini izin diprediksi harus diberikan oleh Dewan Pengawas KPK atas sepengetahuan pimpinan KPK.
“Kita harus mengubah SOP yang dimiliki oleh KPK. Kalau nggak, di-challenge di praperadilan. Kalau kita gak ada SOP, bisa berbahaya kan kayak sekarang, siapa yang bisa menetapkan tersangka? Siapa yang bisa menandatangani sprindik? Itu harus ada SOP kan. Kemudian ada soal bagaimana mekanisme izin ke Dewas (Dewan Pengawas)?” lanjut Yudhi.
Jalur birokrasi yang bertambah panjang tersebut dikhawatirkan membuka peluang kebocoran informasi dari internal KPK. Padahal kerja KPK haruslah cepat, kedap, dan hati-hati. “Kalau kita terlewati saja proses cepat, misalnya, gak ada gunanya kamu hati-hati. Udah kedap tapi terlambat ya gak bisa (tangkap orang). Kamu cepat, tapi gak kedap alias bocor, ya wassalam. Kamu cepat, waktunya tepat, tapi gak hati-hati, ya lolos. Karena itulah di proses tersebut gak banyak orangnya (yang terlibat), supaya apa? Gak bertele-tele, izin lima pimpinan aja udah susah lho,” ucap salah seorang sumber kumparan di KPK.
Sebelum perubahan struktur pun KPK sempat mengalami beberapa kali kebocoran informasi seperti saat beredarnya Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) atas nama Setya Novanto dan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Anas Urbaningrum sebelum waktunya. Tak cuma itu, pada pertengahan April 2018 silam sempat beredar petisi yang ditandatangani 500an pegawai KPK berjudul “Hentikan Segala Bentuk Upaya Menghambat Penanganan Kasus.”
Petisi tersebut berisi tentang janggalnya kebuntuan Kedeputian Penindakan KPK yang saat itu dipimpin Firli Bahuri dalam mengurai dan mengembangkan perkara. Lima poin dalam petisi itu menyebut tentang terhambatnya penanganan perkara pada ekspose tingkat kedeputian; tingginya tingkat kebocoran dalam pelaksanaan penyelidikan tertutup; tidak disetujuinya pemanggilan dan perlakuan khusus terhadap saksi; tidak disetujuinya penggeledahan pada lokasi tertentu dan pencekalan; dan adanya pembiaran atas dugaan pelanggaran berat di dalam Kedeputian Penindakan.
Di bawah kepemimpinan Firli bersama struktur baru Dewan Pengawas, KPK mesti menyusun mekanisme kerja baru yang entah selesai kapan. Sejak diberlakukannya revisi UU KPK, lembaga ini tak lagi tercatat melakukan Operasi Tangkap Tangan. Sebab semuanya perlu menunggu kepastian hukum, regulasi yang jelas, dan mekanisme yang klir. Padahal sebelumnya KPK mampu melakukan 87 OTT dan menetapkan 327 tersangka selama periode 2015 hingga 2019 sebelum revisi UU KPK berlaku.
Disusul kemudian usai pelantikan pimpinan dan Dewan Pengawas periode 2019-2023 berlangsung, beredar imbauan untuk menahan segala bentuk kelanjutan penanganan perkara sebab belum ada mekanisme baru.
“Jadi kalau teman-teman nanya ini bagaimana prosedur ini, prosedur itu, ya kita masih harus nunggu perpres dulu. Nanti kalau sudah ada perpres, tentu saja sebagai Dewas kita mungkin ada aturan yang harus kita buat,” ucap anggota Dewan Pengawas KPK Albertina Ho di sela acara pelantikan pada 20 Desember 2019.
Kini sebagian besar pegawai KPK yang masih bertahan menanti kelanjutan kerja KPK. “Kita posisinya sekarang wait and see,” ujar sumber kumparan di KPK tersebut. Bayang kecemasan akan risiko kehilangan pekerjaan, intervensi ketika menangani kasus, dan birokrasi yang kian rumit memang masih menghantui. Tapi ia meyakinkan diri bahwa perjuangan memberantas korupsi harus terus diupayakan, apapun kondisinya.
“Kalau soal perjuangan, kita bukannya berhenti. Hari ini aja kita launching Auditorium Randi-Yusuf, nyodorin Revisi UU Tipikor,” ucapnya menambahkan. Jauh sebelum itu tiga pimpinan KPK sempat mengembalikan mandat kepada Presiden sebagai bentuk pernyataan sikap, tiga kali berupaya menemui Presiden namun melulu dibatalkan, menutup logo KPK dengan kain hitam sebagai bentuk duka atas disahkannya Revisi UU KPK meski telah diprotes secara masif, hingga menyodorkan data pelanggaran etik Firli Bahuri ketika kisruh pemilihan calon pimpinan KPK berlangsung.
“Apapun yang terjadi, ini lembaganya masih ada, walaupun rohnya dikurangi, walaupun asa kita agak redup, tapi kita sampai manapun akan berjuang. Walaupun nanti status kita seperti apa, tugas kita seperti apa, tapi kita harus tetap ada di sini. Kalaupun nanti akhirnya KPK tidak bisa diselamatkan, ya sudah. Tapi setidaknya sejarah sudah mencatat, seperti kata Nyai Ontosoroh, kita sudah berjuang sehormat-hormatnya sebaik-baiknya,” pungkas Yudhi menutup perbincangan.
Sementara Tumpak Hatorangan Panggabean yang diamanati tugas sebagai Ketua Dewan Pengawas KPK dalam sambutannya berujar, “Saya tahu, ini (perubahan UU KPK) adalah masalah yang sangat pelik yang menyentuh hati nurani seluruh pegawai KPK di waktu itu, termasuk saya.”
Di tengah keharuan yang ia rasakan, Tumpak mencoba meyakinkan para pegawai KPK yang hadir bahwa masih ada kesempatan untuk memperbaiki semuanya. “Tapi sudah, yang sudah terjadi Undang-Undang sudah disahkan, sudah dimuat dalam lembaran negara. Mari kita laksanakan itu dengan baik. Mungkin secara perlahan-lahan kita dapat sempurnakan kembali.”