Ayah Mirna Salihin Dipolisikan 38 Eks Pegawai Diduga Karena Tak Bayar Pesangon

9 November 2023 11:27 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kuasa hukum eks karyawan perusahaan milik Dermawan Salihin (ketiga dari kiri), ayah Mirna Salihin korban kopi sianida, mendampingi kliennya buat laporan polisi di Polda Metro Jaya, Selasa (7/11/2023). Foto: Thomas Bosco/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kuasa hukum eks karyawan perusahaan milik Dermawan Salihin (ketiga dari kiri), ayah Mirna Salihin korban kopi sianida, mendampingi kliennya buat laporan polisi di Polda Metro Jaya, Selasa (7/11/2023). Foto: Thomas Bosco/kumparan
ADVERTISEMENT
Sebanyak 38 mantan karyawan PT Fajar Indah Cakra Cemerlang (PT FICC) melaporkan jajaran direksi perusahaan terkait pembayaran pesangon. Salah satu pihak yang dilaporkan ialah Edi Darmawan Salihin, ayah korban kasus kopi sianida, Wayan Mirna Salihin.
ADVERTISEMENT
Laporan tersebut dibuat pada 26 September 2023 dengan nomor LP/B/5743/IX/2023/SPKT/POLDA METRO JAYA. Ada 4 orang yang dilaporkan, yakni Dermawan Salihin (Direktur Utama), Made Sandy Salihin (Komisaris), Ni Ketut Sianti (Direktur) dan Febrina Salihin.
Kuasa hukum korban, Manganju Simanulang, mengatakan laporan polisi itu dibuat karena PT FICC tidak juga membayar pesangon 38 karyawan yang di-PHK pada Oktober 2018. Total pesangon yang belum dibayarkan itu sebesar Rp 3,5 miliar.
ilustrasi PHK. Foto: Shutterstock
Menurut Manganju para korban sebelumnya mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial di PN Jakarta Pusat terkait masalah pembayaran pesangon tersebut. Hasilnya mereka menang.
"Di Pengadilan Industrial PN Jakpus, telah memang telah secara sah dan patut, perusahaan. Panggilan itu nyampe, dipanggil secara sah 3 kali, tapi tak pernah datang. Oleh karena itu hakim memeriksa perkara dan memberikan putusan bahwa perusahaan dihukum membayar Rp 3,5 miliar kepada 38 orang," kata Manganju kepada wartawan di Mapolda Metro Jaya, Selasa (7/11).
ADVERTISEMENT
"[Putusan pengadilan] bulan Oktober 2018 dan itu sudah inkrah. 2018 sampai sekarang 2023 itu 5 tahun nih. Tidak ada penyelesaian atau niat baik dari perusahaan untuk menyelesaikan apa yang jadi kewajiban kepada karyawan," tambah Manganju.
Manganju mengatakan, Edi Darmawan Salihin dan 3 pemegang saham lainnya diperkarakan dengan UU Cipta Kerja. Mereka dinilai melanggar Pasal 185 juncto pasal 156 ayat (1), (2), (3), dan (4).
"Jadi ini yang menarik UU Ciptaker kita yang sekarang nomor 6 tahun 2023 itu di situkan jelas di Pasal 185 jo Pasal 156 ada ayat 1, 2, 3, dan 4 mengatakan pengusaha yang tidak membayar pesangon itu menjadi tindak pidana dan itu kejahatan. Ancaman hukumannya minimal 1 tahun maksimal 4 tahun. Nah, itu yang kita kejar," sambungnya.
ADVERTISEMENT
Kasus ini tengah diselidiki Ditreskrimsus Polda Metro Jaya. Hari ini, Selasa (7/11) penyidik memanggil Pelapor untuk dimintai keterangan.
"Pemeriksaannya masih normal biasa penyelidik meminta kronologis seperti apa sih, dari pada perkara ini sampai dibuatkan laporan. Apa yang terjadi waktu itu di tahun 2018," kata Manganju.

Alasan Pemecatan

Wartono (57) (tengah), salah satu karyawan PT FICC melaporkan Ayah Korban Kopi Sianida, Mirna Salihin, Dermawan Salihin dan jajaran direksinya ke Polda Metro Jaya, Selasa (7/11/2023). Foto: Thomas Bosco/kumparan
Wartono (57), salah satu karyawan PT FICC, mengaku hingga kini tidak pernah tahu alasan pemecatannya. Pria yang telah bekerja selama 27 tahun di perusahaan tersebut mengatakan, sebelum dipecat pembayaran gaji memang sudah tersendat.
"Setelah kejadian kasus Mirna kopi sianida, penggajian mulai tersendat. Harusnya tanggal 1 penggajian bisa mundur bisa sampai tanggal 15, bisa sampai tanggal 30 berikutnya. Saya juga sempat negur Pak Edi [Dermawan Salihin]. 'Pak, ini kalau cara penggajian begini, karyawan gak bisa makan, ada yang nyicil motor, ada yang [nyicil] rumah juga'" jelas Wartono.
ADVERTISEMENT
Menurut Wartono, ayah Mirna itu sempat menjanjikan pembayaran gaji kembali lancar 3 bulan setelah itu. Namun janji itu tidak kunjung terwujud.
"Pak Edi sendiri sempat bilang entar 3 bulan kemudian akan lancar kembali. 3 bulan lewat tetap juga begitu sampai hampir setahun kurang lebih 8 bulan penggajian gak normal. Sampai puncaknya PHK besar-besaran 2018, Februari [tanggal] 21 kantor sudah tutup nggak ada kegiatan," sambungnya.
Wartono mengatakan bahwa sejak kena PHK, Dermawan Salihin tidak pernah terlihat lagi. Bahkan, tidak pernah ada komunikasi kepada pihak-pihak yang di-PHK.
"Betul, bahkan saya sendiri pengin ketemu saja susah. Maksudnya pingin ketemu ayo kita duduk bareng-bareng, kalau kita, karyawan, kita belum tentu [menuntut] Rp 3,5 M, misalnya ayo kita kekeluargaan. Aku punya segini kamu bagi-bagi. Aku terima, nggak harus kita menuntut Rp 3,5 M, yang penting ada inisiatif baik dari bos gitu, tapi sampai saat ini nggak ada," tutupnya.
ADVERTISEMENT

Penjelasan Edi Darmawan Salihin

Edi Darmawan Salihin membantah tidak membayarkan pesangon ke para karyawannya. Ia mengatakan sudah membayarkan tanggungannya ke ribuan karyawan yang terdampak PHK.
"Karyawan kira 4.870, kalau 38 mau ngapain. Kenapa yang 4.700 sekiannya nggak ada yang ribut, emang itu boros saja pakai duitnya dari pesangonnya habis terus mau minta lagi," kata Edi saat dikonfirmasi.
Edi mengakui ada putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada 2018 yang memenangkan para karyawan. Namun, dalam putusan tersebut aset yang bisa dipakai untuk membayar ialah milik PT FICC, sedangkan aset yang saat ini dimiliki Edi atas nama pribadinya.
"Di pengadilan itu alinea pertama ditulis, hanya bisa meminta kepada pengusaha tambahan, apabila, nah, nih, ya, dengerin baik-baik, bahwa aset itu nama PT FICC, Fajar Indah Cakra Cemerlang, bukan milik pribadi. Kalau saya ngontrak masa saya musti jual kasih dia orang," jelas Edi.
ADVERTISEMENT
"Nah, itu kebetulan nama saya, nama keluarga, jadi enggak ada yang nama PT. Nah, disuruh cari tuh si hakimnya, cari sono ada enggak yang nama PT. Enggak ada, enggak ketemu. Gitu loh," pungkasnya.