Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Babak Baru Polemik Hotel Sultan di PTUN: Setneg & GBK Jadi Pihak Intervensi
25 Mei 2023 16:56 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Polemik pengelolaan Hotel Sultan yang berada di Blok 15 Kawasan Gelora Bung Karno memasuki babak baru. Saat ini, sedang ada gugatan Pontjo Sutowo selaku pemilik PT Indobuild dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ART/BPN) di PTUN DKI Jakarta.
ADVERTISEMENT
PT Indobuildco milik Pontjo Sutowo menggugat penerbitan HPL Nomor 1/Gelora atas nama Kementerian Sekretariat Negara dan Pusat Pengelolaan Kompleks Gelora Bung Karno (PPKGBK).
Sebelumnya, PT Indobuildco memiliki HGB Nomor 26 dan HGB Nomor 27 atas tanah berdirinya Hotel Sultan -- saat itu Hotel Hilton. Kedua HGB itu berlaku selama 50 tahun dan akhirnya habis masa berlakunya masing-masing pada 3 Maret dan 3 April 2023.
Belakangan, Saling klaim sebagai pihak yang paling berhak atas tanah tersebut berujung gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2006.
Terkait gugatan di PTUN, sidang masih bergulir. Terbaru, Kementerian Kementerian Sekretariat Negara dan Pusat Pengelolaan Kompleks Gelora Bung Karno (PPKGBK) mengajukan diri sebagai Pemohon Intervensi.
ADVERTISEMENT
Dalam sidang putusan sela pada 8 Mei 2023, PTUN mengabulkan permohonan intervensi itu.
Atas gugatan tersebut, Kemensetneg menunjuk Chandra Hamzah dari Assegaf Hamzah & Partners (AHP) untuk menjadi kuasa hukum dalam perkara ini.
"Oleh karena itu sebagai pihak yang memiliki aset dan sudah tercatat sebagai BMN, Kementerian Sekretariat Negara mengajukan permohonan intervensi ke PTUN. Supaya sebagai pemilik aset dapat mempertahankan haknya. Kemudian, PPKGBK juga mengajukan permohonan intervensi supaya PPKGBK yang diamanatkan untuk melakukan pengelolaan, pemanfaatan, dan pengusahaan aset tersebut juga bisa mempertahankan haknya sebagaimana diperintahkan UU," kata Chandra dalam konferensi pers di Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Kamis (25/5).
Dalam pengajuan intervensi ini, Kemensetneg dan PPKGBK diwakili Jaksa Agung Muda Perdata untuk menangani perkara ini di PTUN Jakarta.
ADVERTISEMENT
"Alhamdulillah pengadilan mengabulkan permohonan kami pada tanggal 8 Mei. Jadi pengajuan 13 April, 8 Mei pengadilan mengatakan Kementerian Sekretariat Negara diterima sebagai pihak untuk mempertahankan haknya, begitu dengan GBK," ungkapnya.
Setelah putusan itu, Kemensetneg dan PPKGBK mengajukan esepsi yang telah diajukan pada Senin (22/5) yang lalu.
"Kita jelaskan semua sejarahnya, detailnya, riwayat kawasan Senayan, siapa yang membebaskan, siapa yang punya hak, kenapa ada satu saat ada HGB atas nama Indobuildco yang berdiri Hotel Sultan," tuturnya.
Setneg Jelaskan Sejarah Penerbitan HGB Hotel Sultan
Chandra mengatakan, pembangunan Hotel Sultan -- yang waktu itu masih bernama Hotel Hilton, berawal dari pembebasan lahan seluruh kawasan GBK ketika Indonesia ditunjuk sebagai penyelenggara Asian Games ke-4 pada tahun 1958. Untuk mempersiapkan berbagai sarana penunjang perhelatan Asian Games yang digelar 4 tahun kemudian, tahun 1962, Presiden ke-1 RO Sukarno membentuk Komando Urusan Pembangunan Asian Games (KUPAG) untuk melakukan pembebasan tanah.
ADVERTISEMENT
"Kawasan Senayan yang dibebaskan lebih dari 2,5 juta meter persegi. Ini pembebasan tanah khususnya sektor berdiri Hotel Sultan sekarang. Kemudian setelah pembebasan tanah, stadion dibangun, kemudian diselenggarakan Asian Games ke-4. Sukses. Indonesia juara umum kedua," ungkap mantan Komisioner KPK ini.
Setelah perhelatan Asian Games ke-4 selesai, KUPAG menyerahkan seluruh tanah, fasilitas, hingga gedung yang berdiri di atas lahan GBK kepada Yayasan Gelanggang Olahraga Bung Karno untuk dikelola.
Lalu, kenapa tiba-tiba muncul HGB Nomor 26 dan 27 untuk Hotel Sultan?
Chandra mengatakan, hal ini berawal ketika PT Indobuildco mengajukan izin permohonan membangun hotel kepada Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin.
"Kemudian Bang Ali menyetujui tetapi dengan syarat bayar royalti. Bayar royalti. Kemudian di bulan April, Indobuildco memohon izin menggunakan tanah bangun hotel, dijawab gubernur, ini SK resminya. Izin. Kata kuncinya izin. Diizinkan membangun hotel. Boleh enggak? Ya, boleh. Kemudian diizinkan oleh Bang Ali," tuturnya.
ADVERTISEMENT
Sehingga, PT Indobuildco diizinkan untuk membangun Hotel Sultan dengan syarat membayar royalti. HGB-nya pun berlaku selama 50 tahun dan baru berakhir di tahun ini.
"Tahun 1970, GBK mengajukan permohonan sertifikasi atas tanah-tanah tersebut. Tahun 1977 kembali mengajukan sertifikasi. Mungkin banyak kendala waktu itu. Dua kali mengajukan dan kemudian baru di tahun 1989 sertifikat HPL terbit," ujarnya.
Dalam salah satu diktum HPL Nomor 1/Gelora, disebutkan bahwa tanah-tanah HGB dan hak pakai yang haknya belum berakhir, akan masuk dalam HPL pada saat hak gunanya berakhir. Namun, sebelum hak guna berakhir, PT Indobuildco pertama kali menggugat HPL Nomor 1/Gelora pada tahun 2006.
"Dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, MK, PK, bahkan PK sampai empat kali. Nah, di PK terakhir dinyatakan ada dua keputusan. HPL Nomor 1 sah dan Indobuildco diwajibkan membayar royalti. Orang yang bayar royalti berarti bukan pemilik. Yang menerima royalti itu pemilik. Nah, terhadap putusan ini sudah dieksekusi dan Indobuildco sudah membayar royalti yang diputuskan pengadilan," ungkapnya.
ADVERTISEMENT
Namun, Kemensetneg dan PPKGBK bingung karena PT Indobuildco yang telah menjalani putusan pengadilan pada 2006 malah menggugat kembali HPL Nomor 1/Gelora. Sehingga perkara ini kembali bergulir.
"Makanya jadi pertanyaan kenapa sekarang digugat lagi HPL Nomor 1? Dulu pernah digugat, PN, banding, kasasi, PK empat kali, sah, dan dilaksanakan kesepakatan bersama, sukarela, bayar royalti pula. Uangnya sudah masuk. Nah, sekarang pertanyaannya kenapa digugat lagi?" pungkasnya.