Udara Buruk Jakarta - 6 Juni 2023

Bahaya Polusi Udara, Ancaman Laten di Jakarta (2)

19 Juni 2023 15:20 WIB
·
waktu baca 10 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Hampir setengah abad tinggal di Cakung, Jakarta Timur, Ismail merasakan udara di wilayahnya memburuk sejak 2015. Kondisi diperparah dengan berdirinya pabrik pengolahan kelapa sawit bercerobong asap di dekat tempat tinggalnya.
Akhirnya, ia memutuskan memasang pendingin udara (AC) demi bisa menghirup udara bersih ketika tidur bersama keluarganya.
Lain lagi kondisi yang dialami anak Khalisah. Putrinya yang alergi debu kerap mimisan sejak berusia 4 tahun dan makin parah di usia 6 tahun.
Saat itu, anaknya setiap hari melintasi kemacetan Jalan Gatot Subroto untuk pergi dan pulang sekolah. Padahal putrinya telah mengenakan masker untuk mencegah terhirupnya polusi udara.
Suasana pemukiman penduduk di Jakarta saat polusi udara melanda pada (6/5) Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Kondisi tersebut berulang ketika tingkat polusi udara di Jakarta memburuk setiap tahunnya, termasuk yang terjadi belakangan ini.
“Waktu kondisi udara lagi [buruk] dalam dua pekan ini pagi-pagi [anak] mau berangkat sekolah [mimisan],” kata Alin.
Mimisan yang dialami anak Khalisah memakan waktu cukup lama. Kadang, mimisan berlangsung selama 1 jam. Kondisi ini membuat anaknya juga terganggu secara psikis.
“Kalau dia sudah lelah suka ‘Kenapa ya aku kok gini terus?’ itu. ‘Kenapa aku kok enggak sembuh-sembuh?’ kata Khalisah menirukan keluh kesah anaknya.
Khalisah "Alin" Khalid, penggugat polusi Jakarta. Foto: Amrizal Papua/kumparan
Beberapa pekan terakhir tingkat polusi udara di Jakarta memang memburuk. Foto dan video yang tersebar di media sosial menampilkan suasana Jakarta yang seolah tertutup kabut, padahal itu polusi.
Berdasarkan data IQAir, platform pemantau kualitas udara real time global asal Swiss, indeks kualitas udara di Jakarta berstatus tidak sehat setidaknya dalam tiga pekan terakhir. Kualitas udara Jakarta bahkan tercatat paling buruk di dunia di saat tertentu.
Buruknya udara Jakarta juga tertangkap lewat Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang kerap menyentuh angka 101–200 (berstatus tidak sehat).
Timbulkan Berbagai Penyakit
Polusi udara terdiri dari berbagai partikel pencemar seperti Partikulat (PM10 dan PM2,5), Karbon Monoksida (CO), Sulfur Dioksida (SO2), Nitrogen Dioksida (NO2), Ozon (O3), dan Hidrokarbon (HC). Dari seluruh partikel itu, PM 2,5 yang paling dominan sekaligus berbahaya.
KLHK menetapkan Baku Mutu Udara Ambien (BMUA) Nasional untuk PM 2,5 yakni 55 µm/m3 per 24 jam dan 15 µm/m3 secara tahunan. Namun baku mutu tersebut masih jauh dari standar WHO yakni 5 µm/m3 dalam setahun dan 15 µm/m3 per 24 jam.
PM 2,5 merupakan polutan udara yang berukuran 2,5 mikrometer atau 30 lebih kecil dibanding lebar rambut manusia. Sumber PM 2,5 terdiri dari asap kendaraan bermotor, asap PLTU, asap pembakaran sampah, debu, garam tertiup angin, sampai asap dari kebakaran hutan. Saking kecil ukurannya, apabila terhirup, partikel PM 2,5 bisa masuk sampai ke paru-paru.
Ilustrasi rontgen paru-paru. Foto: Shutterstock.
Ginanjar Syuhada, Research Assistant & Consultant for Environmental Health Vital Strategies, menyatakan dalam 2 dekade terakhir, banyak penelitian di Jakarta yang mengaitkan paparan polusi udara sebagai sumber berbagai penyakit kardiovaskuler dan infeksi pernapasan.
Vital Strategies merupakan organisasi kesehatan masyarakat global yang menjadi mitra Pemprov DKI Jakarta dalam menanggulangi polusi udara.
Ginanjar menyebut pada 2002 misalnya, sebuah studi Asian Development Bank memperkirakan polusi udara berdampak pada lebih dari 90 juta kasus gejala pernapasan dengan estimasi kerugian ekonomi sekitar Rp 1,8 triliun
Kemudian pada 2004, Resosudarmo dan Napitupulu dalam penelitiannya berjudul ‘Health and Economic Impact of Air Pollution in Jakarta’ memperkirakan adanya 3.000 kematian dan 90 juta kasus gejala pernapasan yang diakibatkan oleh paparan polusi udara
Selanjutnya di 2014, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melaporkan bahwa 57,8% warga DKI Jakarta terdampak berbagai penyakit kardiovaskuler dan infeksi pernapasan akibat paparan dari polusi udara
"Dari 57 persen itu, mereka mengeluarkan biaya pengobatan Rp 3,5 triliun," kata Karliansyah yang kala itu menjabat Deputi Bidang Pencemaran Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup (kini KLHK).
Ilustrasi anak dan polusi udara. Foto: Shutter Stock
Ginanjar menjelaskan, dalam jangka pendek, polusi udara dapat mengakibatkan masalah kesehatan seperti iritasi pada mata, hidung, kulit, tenggorokan, mengi, batuk, sesak dada, dan kesulitan bernapas. Pada tahap yang serius, bisa menimbulkan asma hingga radang paru-paru.
“Bahkan ada yang merasakan dampak langsung seperti sakit kepala, mual, dan pusing setelah terpapar polusi udara. Untuk efek jangka panjang, kondisi kesehatan yang ditimbulkan lebih bersifat kronis (seperti kanker) bahkan sampai menyebabkan kematian,” kata Ginanjar dikutip dari laman Jakarta Rendah Emisi.
Kementerian Kesehatan pun sepakat dampak buruk polusi udara terhadap kesehatan. Kemenkes menilai polusi udara meningkatkan angka penyakit respirasi.
Data Kemenkes, dari 10 penyakit dengan kasus terbanyak di Indonesia, 4 di antaranya merupakan penyakit respirasi yakni penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) 145 kejadian dengan 78,3 ribu kematian, kanker paru 18 kejadian dengan 28,6 ribu kematian, pneumonia 5.900 kejadian dengan 52,5 ribu kematian, dan asma 504 kejadian dengan 27,6 ribu kematian.
Menkes Budi Gunadi Sadikin saat ditemui kumparan di kantornya, Jakarta, Senin (6/2/2023). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, mengatakan terdapat 4 faktor resiko penyakit paru seperti polusi udara, riwayat merokok, infeksi berulang dan genetik.
“Polusi udara menyumbang 15-30%,” ujar Budi dalam keterangannya, April 2023.
Kemenkes menyebut faktor risiko polusi udara terhadap penyakit respirasi cukup tinggi. PPOK memiliki risiko 36,6%, pneumonia 32%, asma 27,95%, kanker paru 12,5%, dan tuberkulosis 12,2%.
Studi yang dilakukan Charles Swanton, peneliti kanker di Francis Crick Institute di Inggris, bahkan menemukan bahwa paparan PM 2,5 dengan konsentrasi tinggi dapat meningkatkan risiko orang terkena kanker paru-paru hanya dalam waktu 3 tahun.
Hal itu berdasarkan penelitiannya terhadap 33.000 orang yang mengidap kanker paru-paru.
“Kami telah menunjukkan bahwa polusi udara membangunkan sel-sel ini di paru-paru, mendorong mereka untuk tumbuh dan berpotensi membentuk tumor," kata Charles dalam penelitian yang terbit di jurnal Nature.
Meningkatnya penyakit respirasi juga menimbulkan tekanan terhadap anggaran BPJS Kesehatan untuk menanggung biaya pengobatan. Data BPJS Kesehatan periode 2018-2022 menunjukkan anggaran pengobatan pneumonia mencapai Rp 8,7 triliun, tuberkulosis Rp 5,2 triliun, PPOK Rp 1,8 triliun, asma Rp 1,4 triliun, dan kanker paru Rp. 766 miliar.
Suasana jalanan di Jakarta, kamis (4/7). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Mengurangi Usia Hidup
Tingginya paparan PM 2,5 sekaligus berdampak ke peningkatan risiko kematian. Guru Besar Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Prof Agus Dwi Susanto, menyatakan polusi udara berkontribusi terhadap sekitar 11,65% kematian secara global dan merupakan salah satu faktor risiko beban penyakit.
Dari hasil studinya, Agus menyebut polusi udara turut mengurangi usia hidup seseorang, tak terkecuali di Indonesia.
“Akibat pajanan polusi udara, rata-rata individu di Indonesia mengalami kehilangan 1,2 tahun usia harapan hidup dikarenakan kualitas udara di Indonesia gagal memenuhi kriteria konsentrasi PM2,5 yang ditetapkan oleh WHO. Penduduk di kota besar seperti Jakarta dapat kehilangan sekitar 2,3 tahun usia harapan hidup apabila terpajan dengan level polusi udara yang sama secara terus menerus,” ujar Agus dalam pidatonya pada Februari 2023.
Dr. dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P(K), FISR, FAPSR, Ketua Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FKUI - RSUP Persahabatan, sekaligus menjabat Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Foto: Utomo Priyambodo/kumparan
Apa yang disampaikan Agus tersebut senada dengan riset yang dilakukan Energy Policy Institute at the University of Chicago (EPIC) pada 2021.
EPIC yang menggunakan metode Air Quality Life Index (AQLI) memperkirakan rata-rata orang Indonesia dapat kehilangan 2,5 tahun usia harapan hidup karena polusi udara. Sebab menurut EPIC, 93 persen dari 262 juta penduduk Indonesia tinggal di daerah dengan tingkat PM 2.5 rata-rata tahunan melebihi pedoman WHO.
Apabila dirinci per daerah, usia harapan hidup warga Jakarta dapat berkurang 5,5 tahun karena paparan PM 2,5. Berkurangnya angka harapan hidup di Jakarta karena PM 2,5 lebih tinggi daripada warga di Sumatera dan Kalimantan yang rata-rata penurunannya sekitar 4 tahun.
Namun penurunan harapan hidup di Jakarta bukanlah yang terburuk. EPIC mencatat daerah yang penurunan harapan hidupnya paling tinggi karena polusi PM 2,5 adalah Bandung (6,5 tahun) dan Bogor (7 tahun).
Data EPIC menunjukkan apabila diukur dari segi harapan hidup, polusi PM 2,5 adalah risiko terbesar bagi kesehatan manusia di Indonesia. Lebih tinggi dari risiko asap rokok yang mengurangi rata-rata harapan hidup sekitar 1,9 tahun dan malnutrisi anak-ibu yang mengurangi harapan hidup hingga 1 tahun.
ilustrasi ibu hamil menghadapi polusi udara Foto: Shutterstock
Ginanjar menambahkan, dampak polusi udara bukan hanya kematian. Ia menyebut beberapa kajian epidemiologi juga menemukan adanya korelasi antara paparan polusi udara dengan peningkatan risiko bayi lahir dengan berat badan lahir rendah, kecil menurut usia kehamilan, bayi lahir prematur, dan kasus stunting.
Secara global, tingkat paparan PM 2,5 di Indonesia, khususnya Jakarta, memang bukan yang terburuk. Data IQAir pada 2022, tahun di mana mulai ada pelonggaran karena turunnya COVID-19, tingkat paparan PM 2,5 di Indonesia berada di posisi 26 dari 131 negara.
Tingkat konsentrasi PM 2,5 di Indonesia sebesar 30,4 µm/m3 pada 2022. Angka itu terus menurun tiap tahun dari 2019 sebesar 51,7 µm/m3; 40,7 µm/m3 pada 2020; dan 34,3 µm/m3 pada 2021. Meski demikian, menurut IQAir, data tersebut menunjukkan tingkat PM 2,5 di Indonesia masih 5-7 kali lebih tinggi dari panduan WHO.
Sedangkan 3 negara teratas dengan tingkat konsentrasi PM 2,5 tertinggi di dunia pada 2022 adalah Chad (89,7 µm/m3), Iraq (80,1 µm/m3), dan Pakistan (70,9 µm/m3).
Begitu pula dengan data di Jakarta. IQAir mencatat meski Jakarta beberapa kali masuk kategori kota paling berpolusi di dunia, namun secara tahunan berada di peringkat 307 dari 7.323 kota di dunia. Data PM 2,5 di Jakarta sepanjang 2022 di kisaran 36,2 µm/m3.
Orang-orang bepergian di tengah kondisi kabut asap di New Delhi, Selasa (1/11/2022). Foto: Money Sharma/AFP
Sama seperti data nasional, angka itu konsisten turun sejak 2019 yang ketika itu mencapai 49,4 µm/m3, lalu 39,6 µm/m3 pada 2020, dan 39,2 µm/m3 pada 2021. Tetapi angka itu masih 7-10 kali lebih tinggi dari panduan WHO.
Adapun 3 kota dengan tingkat polusi PM 2,5 tertinggi pada 2022 yakni Lahore, Pakistan sekitar 97,4 µm/m3; Hotan, China sebesar 94,3 µm/m3; dan Bhiwadi, India sebesar 92,7 µm/m3.
Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta, Justin Andrian, berpendapat polusi sendiri telah menjadi problem kronis dan laten di Jakarta. Sebab dalam catatannya, polusi udara telah mengakibatkan 900 ribu kasus penyakit pernapasan di Jakarta.
“Ini bukan hal yang remeh. Anak-anak yang menderita sakit pernapasan bukan sedikit. Pada 2019 ada 900 ribu penderita di DKI,” ucap Justin.
Bus TransJakarta berhenti di Halte Cikoko Stasiun Cawang, Jakarta, Sabtu (18/2/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Upaya Kurangi Polusi
Justin menilai mayoritas polusi udara disebabkan asap kendaraan bermotor. Hal itu pun sesuai dengan data KLHK yang menyebut 70% sumber polusi udara dari asap kendaraan bermotor. Untuk itu, Justin mengusulkan beberapa solusi dalam mengurangi polusi udara seperti pengaturan jam kerja dan zonasi penduduk.
“Pengendalian bisa diatur melalui WFH, pengaturan jam kerja, daerah kerjanya. Ini paling tidak mengurangi densitas di jalanan,” kata Justin.
Sementara untuk zonasi, kata Justin, Pemprov DKI Jakarta perlu menata ulang kawasan pemukiman. Hal ini diperlukan untuk menunjang efektifitas transportasi umum. Sebab kawasan pemukiman yang terpencar di DKI Jakarta membuat shelter transportasi umum kurang berfungsi maksimal menekan penggunaan kendaraan pribadi.
“Mestinya Pemprov rutin mengurangi daerah kumuh dengan daerah terzonasi, agar bisa diakses dengan transportasi umum. Selama masih scatered [terpencar], ya masih banyak penggunaan kendaraan pirbadi. Karena jauh dengan shelter kendaraan umum,” ucap Justin.
Masyarakat menikmati ruang terbuka hijau di taman hingga berpiknik bersama sanak keluarganya di Tebet Eco Park, Jakarta pada Senin (23/1/2023). Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Tak cuma itu, Justin berpandangan perlunya menambah Ruang Terbuka Hijau (RTH). Menurutnya, 1.000 dari 3.100 aset milik BUMD DKI Jakarta yang tidak terkelola dengan baik bisa dialihfungsikan menjadi RTH.
“Dijadikan kantong paru-paru kota yang bisa menghasilkan oksigen,” kata Justin.
Prof. Agus menyatakan, apabila situasi polusi udara sedang memburuk, masyarakat perlu memakai masker yang sesuai standar apabila beraktifitas di luar ruangan. Jika tidak genting, sebaiknya menghindari keluar rumah saat polusi udara sedang tinggi dengan memantau kualitas udara secara real time melalui aplikasi AirVisual dan IQAir.
Di samping itu, Prof. Agus memandang masyarakat harus mulai beralih dari kendaraan pribadi ke transportasi umum atau kendaraan yang lebih ramah lingkungan.
Pemerintah bukannya tidak punya target menurunkan tingkat PM 2,5. Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta telah membuat Strategi Pengendalian Pencemaran Udara (SPPU). SPPU tersebut memuat 3 strategi, 16 program dan 70 rencana aksi untuk menurunkan beban emisi di tahun 2030. Salah satu targetnya menurunkan tingkat PM 2,5 sebesar 41% pada 2030.
Suasana gedung bertingkat yang terlihat samar karena polusi udara di Jakarta, Rabu (28/9/2022). Foto: Galih Pradipta/ANTARA FOTO
“[Selain itu target penurunan] 56% untuk PM10, 41% BC, 34% NOx, 16% SO2 , 40% CO dan 31% NMVOC,” kata Erni Pelita Fitratunnisa, Kabid Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, menyatakan target tersebut seakan terlibat besar, tetapi kenyataannya tidak demikian. Ia menyebut dengan tingkat PM 2,5 di Jakarta rata-rata 30-40 µm/m3 per tahun, apabila ditargetkan turun 41%, artinya masih di kisaran 20 µm/m3.
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten