Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Abdul Basith membentang lembaran uang Rp 50 ribu yang ia ambil dari dompet. Tangan kanannya menunjuk logo Bank Indonesia di samping gambar Djuanda Kartawidjaja—pahlawan nasional dan perdana menteri Indonesia terakhir pada masa Soekarno. Logo BI itu, menurut Basith, serupa gambar palu arit yang identik dengan lambang komunis.
Abdul Basith, dosen Fakultas Ekonomi dan Manajemen di Institut Pertanian Bogor itu, lantas berteori. Ia yakin betul bahwa lambang “komunis” yang menyaru dalam lembar uang itu menjadi bukti keberadaan ideologi komunis yang nyata merasuki Indonesia. Komunisme, kata Basith, menyusup kembali ke Indonesia hanya dalam waktu 16 tahun.
Cerita soal uang “komunis” itu terus-menerus diulang Basith ketika ia berbincang dengan Rektor IPB Arif Satria dan Kepala Sub-Direktorat Keamanan Negara Direktorat Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Komisaris Dwiasi Wiyatputera.
“Ini contohnya kenapa saya yakin (dalam) 16 tahun itu PKI, komunisme, dan China sudah mulai merasuki Indonesia. Ini uang Rp 50 ribu. Bapak nggak lihat gambar (logo) BI di uang Rp 50 ribu?” ujar Basith kepada Dwiasi di tahanan Polda Metro Jaya.
Basith ditangkap polisi di kediamannya, Kompleks Pakuan Regency Bogor, Sabtu dini hari (28/9) bersama 29 bom ikan yang disiapkan untuk memantik huru-hara jelang pelantikan presiden.
Rencana nekat Basith itu ia yakini sebagai bagian dari upaya untuk menjaga ideologi negara supaya tak melenceng. Ia berpendapat, pemerintah saat ini sudah kerasukan paham yang merusak kemurnian Pancasila.
Basith berkeyakinan Pancasila harus dijaga dengan segala cara. Lucunya, aparat semula justru mengira Basith adalah anggota Hizbut Tahrir Indonesia—ormas yang dibubarkan pemerintah pada 2017 karena dinilai bertentangan dengan Pancasila.
Pengacara Basith, Ghufron, mengatakan kliennya tak sendirian dalam menyusun rencana teror bom ikan. Bersamanya, turut pula tersangka lain yang tergabung dalam Majelis Kebangsaan Pancasila Jiwa Nusantara (MKPN ).
Ghufron tak tahu pasti soal perguliran ideologi yang terjadi di internal organisasi kemasyarakatan itu. Yang ia tahu, Abdul Basith aktif di dalamnya.
“Pengakuan dari Pak Basith, kalau tidak salah ia bergabung (dengan MKPN) dari tahun 2016. Tapi tujuan dibentuknya majelis kebangsaan itu, saya tidak begitu paham,” kata Ghufron kepada kumparan, Jumat (11/10).
Majelis Kebangsaan Pancasila Jiwa Nusantara lekat dengan bayang-bayang purnawirawan jenderal. Ia didirikan oleh mantan Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana (Purn) Slamet Soebijanto pada 2010. Slamet pula yang lantas menjabat sebagai ketua umum.
Namun ia tak sendirian membentuk ormas tersebut, melainkan bersama beberapa orang lain seperti Rudy Alfian, Adityawarman Chandra, dan Nendi Asep Sugandi.
Mulyono Santoso, salah seorang tokoh MKPN, menyebut organisasinya berpedoman pada Pancasila yang menaungi segala penataan politik dan lembaga di Indonesia. Ia berpendapat, politik dan ketatanegaraan Indonesia sudah salah kaprah.
Menurut Mulyono, kekuasaan tertinggi di negeri ini seharusnya berada di tangan majelis yang berisi bukan hanya politisi, melainkan pula agamawan, ilmuwan, TNI, raja atau sultan, petani, serta profesional—semua orang Indonesia asli.
Pada majelis tersebut, presiden duduk sebagai mandataris (orang yang menerima mandat); sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat menjalankan tugas sebagai pembuat undang-undang yang disusun majelis.
Berbagai gagasan MKPN kerap lahir dalam diskusi di sebuah markas bernomor 80 di Jalan Cawang Baru Tengah, Jatinegara, Jakarta Timur.
Rumah dua lantai milik kerabat Mulyono itu lebih dikenal dengan sebutan Pancasila Center. Rumah itu biasa menjadi tempat berkumpul para mahasiswa dan aktivis.
Mulyono bercerita, pergerakan MKPN bermula dari Pusat Studi Pancasila dan Pusat Studi Kebudayaan di UGM, Yogyakarta. Mereka lantas mengembangkan berbagai forum diskusi dan kegiatan di berbagai kota.
“Setelah itu kami bergerak ke timur—Surabaya, Sumenep, sampai Papua. Setelah itu baru ke barat—Aceh dan sebagainya,” tutur Mulyono.
Majelis Kebangsaan Pancasila Jiwa Nusantara menggelar aksi demonstrasi pertama di depan Gedung DPR RI, Jakarta, pada 8 Agustus 2011. Kala itu, mereka menuntut pembubaran DPR/MPR untuk digantikan dengan badan lain yang mereka sebut “lembaga bangsa”.
MKPN juga pernah menggelar aksi di lapangan Komando Daerah Militer V/Brawijaya, Surabaya, 17 Oktober 2014. Ketika itu mereka menuntut penundaan pelantikan Jokowi dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden terpilih. Aksi 2014 itu mereka gelar hanya tiga hari sebelum pelantikan Jokowi.
MKPN bukan hanya turun ke jalan untuk berdemonstrasi, tapi juga kerap mengisi seminar kebangsaan di berbagai daerah. Pada 2015, misalnya, Slamet Soebijanto menjadi pembicara dalam seminar kebangsaan di Universitas Islam Negeri Jakarta.
“Kami bergerak di wilayah kebangsaan, bukan kenegaraan. Jadi tidak tersangkut paut dengan politik,” ujar Mulyono.
Ia membantah organisasinya dituding terlibat huru-hara terkait pelantikan Joko Widodo-Ma’ruf Amin yang digelar beberapa hari lagi. Aksi itu, menurut Mulyono, tak sesuai dengan ajaran agama dan ideologi yang mereka bawa.
“Kami selalu tidak pernah mau menurunkan rezim karena tidak dicontohkan agama mana pun—dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad. Nggak ada seruan menurunkan rezim. Yang ada adalah membawa sistem,” kata Mulyono.
Di MKPN itulah Abdul Basith kemudian bergabung. Ia mulai aktif di organisasi itu sejak bertemu Slamet Soebijanto pada acara kebangsaan di Jakarta. Diskusi soal Pancasila membawanya kian sering bertandang ke Pancasila Center di Cawang hingga akhirnya bertamu ke rumah Mulyono di Pulo Gadung.
“Dia (Basith) datang ke rumah untuk minta penjelasan tentang bagaimana Pancasila yang sebenarnya, untuk diterapkan di bangsa ini,” ujar Mulyono kepada kumparan di tahanan Polda Metro Jaya, Rabu (9/10).
Basith yang sering menjadi pembicara di berbagai seminar motivasi itu pun akhirnya menjadi anggota MKPN. Kemampuan bicaranya di depan khalayak menjadi nilai lebih untuk organisasi.
Terkait gagasan mengembalikan konstitusi negara ke UUD 1945 sebelum diamandemen, mantan KSAL Laksamana (Purn) Tedjo Edhy Purdijatno berujar bahwa saat ini memang banyak suara di lapangan purnawirawan yang menghendaki Indonesia menggunakan UUD 1945 yang asli.
“Dengan UUD 1945 itu kita kembali lagi kepada presiden sebagai mandataris MPR,” kata Tedjo kepada kumparan di Cipayung, Jakarta Timur, Jumat (11/10).
Walau banyak suara serupa, lanjut mantan Menko Polhukam itu, satu gerakan dengan gerakan lain yang sama-sama memperjuangkan UUD 1954 asli belum tentu terkait.
Belakangan, gagasan tersebut mendapat sorotan lantaran anggota MKPN , Abdul Basith, ditangkap polisi atas kepemilikan bom ikan dalam rencana pengeboman tujuh titik di Jakarta jelang pelantikan presiden. Dan dalam pemeriksaan, sejumlah nama purnawirawan meluncur dari mulut Basith.
Selain Abdul Basith, anggota MKPN lainnya, Laode Sugiono, juga ditangkap polisi pada hari yang sama, Sabtu (28/9). Dini hari, Laode diringkus di halaman rumah Laksamana Muda (Purn) Sony Santoso, Kompleks Taman Royal 2 Tangerang.
Sony Santoso diduga merekrut dua calon calon eksekutor, yakni Okto Siswantoro dan Yudhi Febrian yang juga sudah tertangkap.
Sementara di Bogor, Basith ditangkap bersama empat orang pembuat bom, yakni Laode Nadi, Laode Alu Ani, Laode Samiun, dan Jahlan Ra Ali.
Slamet Soebijanto, Ketua Umum Majelis Kebangsaan Pancasila Jiwa Nusantara, tak bersedia bicara ketika disambangi kumparan di kediamannya di Cibubur, Depok, Jawa Barat.
Menurut seorang asistennya, pensiunan laksamana itu dilarang bicara oleh Polisi Militer Angkatan Laut. Sementara pihak TNI AL tak merespons panggilan telepon atau pesan singkat yang dikirim tim kumparan.
Peneliti militer Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai, upaya teror oleh beberapa anggota MKPN itu tak ada hubungannya dengan gerakan yang bersifat ideologis.
“Ini (ada) pertemuan kepentingan saja. Kalaupun benar mereka berkolaborasi, itu hitungannya karena ‘bertemu’di jalan,” ujar Khairul, Minggu (13/10).
Kini, Pancasila Center jadi sepi. Sejak beberapa anggota mereka terjerat kasus rencana pengeboman, markas di Cawang itu seolah mati.
“Semua pergi. Mahasiswanya ke rumah Pak Mul (Mulyono),” ujar seorang lelaki berkaus Majelis Mahasiswa Indonesia yang mengaku sebagai petugas kebersihan di sana.
_________________
Simak selengkapnya Liputan Khusus kumparan: Huru-hara Jelang Pelantikan Presiden