Belajar Gratifikasi pada Kasus Bupati Mojokerto dan Penghulu Klaten

2 Mei 2018 11:35 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Pemeriksaan Bupati Mojokerto (Foto:  ANTARA FOTO/Nando)
zoom-in-whitePerbesar
Pemeriksaan Bupati Mojokerto (Foto: ANTARA FOTO/Nando)
ADVERTISEMENT
KPK baru saja menetapkan Bupati Mojokerto Mustofa Kamal Pasa sebagai tersangka terkait dua kasus korupsi. Salah satunya, ia diduga menerima gratifikasi sebesar Rp 3,7 miliar.
ADVERTISEMENT
Ia diduga menerima gratifikasi itu terkait dari proyek-proyek di lingkungan Pemkab Mojokerto pada tahun 2015. Penerimaan-penerimaan itu tidak dilaporkan oleh Mustofa kepada KPK. Bahkan KPK sudah menyita sejumlah aset milik Mustofa yang diduga terkait gratifikasi, baik mobil, motor, hingga jet ski.
Penyidik KPK periksa jet ski Bupati Mojokerto. (Foto: ANTARA FOTO/Umarul Faruq)
zoom-in-whitePerbesar
Penyidik KPK periksa jet ski Bupati Mojokerto. (Foto: ANTARA FOTO/Umarul Faruq)
Mustofa menambah panjang daftar kepala daerah yang menjadi tersangka KPK karena sangkaan gratifikasi. Sebelumnya tercatat sudah pernah ada Ojang Sohandi selaku Bupati Subang, Taufiqurrahman selaku Bupati Nganjuk, Mohammad Yahya Fuad selaku Bupati Kebumen, serta Rita Widyasari selaku Bupati Kutai Kartanegara. Gratifikasi yang diduga diterima Rita bahkan mencapai Rp 469 miliar.
Hal tersebut berbanding terbalik dengan yang dilakukan oleh dua penghulu muda bernama Abdurrahman Muhammad Bakri (35) dan Samanto (38). Kedua penghulu jujur itu masuk dalam daftar 5 besar pelapor gratifikasi tertinggi sepanjang tahun 2015 sampai 31 Maret 2018.
ADVERTISEMENT
Keduanya melaporkan amplop berisi uang yang diberikan warga saat menghadiri pernikahan sebagai penghulu. Selama kurun waktu 3 tahun itu, Abdur melapor 59 kali, sementara Samanto 38 kali.
Abdur yang merupakan penghulu di Klaten itu mengakui bahwa pelaporan secara online yang dilakukannya memang cukup rumit. Namun hal itu tidak menghalanginya untuk melaporkan gratifikasi tersebut.
Bertemu Abdurrahman si penghulu Jujur (Foto: Retno Wulandhari/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Bertemu Abdurrahman si penghulu Jujur (Foto: Retno Wulandhari/kumparan)
Bahkan menurut Abdur, gratifikasi merupakan pelanggaran dan sebagai seorang aparatur negara, sudah seharusnya menolak gratifikasi dan bekerja dengan jujur.
"Pertama itu sudah aturan, kemudian secara hati nurani itu tidak boleh, kita sebagai aparatur negara harus mengikuti aturan yang ada, melaksanakan yang menjadi tanggung jawab kita," ujar Abdur saat ditemui kumparan (kumparan.com) di kantornya pada Jumat (21/3).
ADVERTISEMENT
Juru bicara KPK Febri Diansyah menegaskan bahwa seharusnya pejabat yang menerima gratifikasi melaporkannya kepada KPK. Paling lambat 30 hari kerja sejak penerimaan terjadi.
Menurut Febri, hal tersebut diatur dalam Pasal 12 C Undang-Undang Tipikor. Bila melapor, maka orang yang menerima gratifikasi itu terbebas dari ancaman pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 12 B Undang-Undang Tipikor.
Jubir KPK Febri Diansyah di Bandara Soetta. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Jubir KPK Febri Diansyah di Bandara Soetta. (Foto: Jamal Ramadhan/kumparan)
Febri pun mengungkapkan bahwa pelaporan gratifikasi bisa dilakukan dengan mudah. Hal itu bisa dilakukan dengan datang langsung ke KPK atau melalui email [email protected] atau pelaporan online GOL, yaitu melalui website https://gol.kpk.go.id.
"Jadi tidak ada alasan lagi sulit melaporkan gratifikasi. Bahkan di sejumlah kementerian dan daerah sudah dibentuk Unit Pengendali Gratifikasi (UPG). Sehingga laporan dapat disampaikan ke KPK melalui UPG setempat. Ini dibuat agar pelaporan gratifikasi dilakukan dengan lebih mudah," kata Febri, Rabu (2/5).
ADVERTISEMENT