Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Posisi calon wakil presiden Prabowo Subianto jadi rebutan. Di kubu oposisi yang dikomandani Gerindra, Demokrat dan PKS tampak bersaing paling keras memperoleh tiket tersebut.
ADVERTISEMENT
PKS, yang menyebut diri tulang punggung oposisi, merasa paling berhak atas jabatan itu. Segera setelah Prabowo diberi mandat oleh Gerindra, PKS sigap menyodorkan sembilan nama kadernya untuk bisa dipilih oleh Prabowo.
Berbagai desakan dan tenggat waktu telah diberikan, namun Ketua Umum Gerindra itu tak juga memberi kepastian. Hingga tiba-tiba Demokrat datang membawa ikon barunya, Agus Harimurti Yudhoyono.
PKS terganggu, waswas jika tiket cawapres malah beralih ke Demokrat yang memiliki modal--baik kursi maupun logistik--lebih banyak.
Sementara PAN, meskipun mengasongkan nama ketua umumnya, Zulkifli Hasan, tampak lebih santai. Salah satunya karena partai yang didirikan Amien Rais itu belum benar-benar memastikan arah dukungan.
Hal lain, menurut Direktur Eksekutif SMRC Djayadi Hanan kepada kumparan, Rabu (1/8), “PAN mengalami problem. Di tingkat pusat, dia terbelah. Ada yang ingin ke Jokowi seperti Zulhas (Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan)--ada yang bilang begitu kayanya, ada yang tegas anti-Jokowi seperti Amien Rais.”
ADVERTISEMENT
Di tengah memanasnya perebutan posisi cawapres Prabowo, Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama menambah riuh dengan menyodorkan rekomendasi Ijtima Ulama.
Kelompok Islam dengan Rizieq Syihab sebagai patron itu menganjurkan agar koalisi keumatan (nama yang merujuk pada Gerindra, PKS, PAN, dan PBB) mengusung Prabowo bersama Salim Segaf Al-Jufri sang Ketua Majelis Syuro PKS, atau Ustaz Abdul Somad.
“Kami mengawal keputusan Ijtima Ulama,” kata Ketua DPP PKS Aboe Bakar Al Habsyi, Kamis (2/8). Baginya, rekomendasi ulama harus ditempatkan di atas segala hal. “Jangan sembarangan ‘Oh itu hanya rekomendasi’. Ditinggal nanti sama umat.”
Irisan dari sembilan nama cawapres PKS dan rekomendasi GNPF Ulama adalah Salim Segaf Al-Jufri. Sementara Demokrat tentu saja akan mendukung mati-matian agar sang putera mahkota Cikeas, AHY, dipilih oleh Prabowo.
Meski kalimat tersurat mengucap “cawapres bukan harga mati”, namun yang tersiratlah yang harus ditangkap. Karena sering kali apa yang tidak dikatakan justru lebih nyaring dari yang diucapkan.
ADVERTISEMENT
“Demokrat menunggu takdir. Kalau AHY dipilih, maka Partai Demokrat akan all out, mati-matian, kalau perlu berdarah-darah untuk mengangkat AHY dan pasangannya di Pilpres 2019,” kata Ketua DPP Demokrat Ferdinand Hutahean, Jumat (3/8).
Pengalaman lima tahun lalu ketika partai milik Susilo Bambang Yudhoyono itu memilih abstain dan tak memiliki tokoh untuk dicalonkan, kini menjadi pelajaran. Perolehan suara Demokrat merosot drastis dari 20,85 persen di posisi juara pada Pemilu 2009, menjadi 10,19 persen pada Pemilu 2014.
Sementara PKS yang sulit beranjak dari angka 7 persen mesti berhitung kian cermat. Sebab partai yang menyebut diri partai dakwah ini diprediksi berbagai lembaga survei bakal terbenam alias hanya akan memperoleh 2-3 persen saja. Artinya: tak lolos parliamentary threshold sebesar 4 persen.
ADVERTISEMENT
Pemilu 2019 memang ibarat pertaruhan hidup dan mati. Banyak partai diramal akan gugur, gagal melewati ambang batas empat persen tersebut.
Rumitnya pertarungan mendatang, selain karena meningkatnya batas minimal suara, juga karena pemilu legislatif dan eksekutif dilaksanakan serentak. Kondisi itu membuat partai kudu berhitung betul taktik yang tepat guna memperebutkan 186 juta suara pemilih.
Menurut Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari, daya tarik tokoh di tingkat nasional, citra partai, dan kekuatan calon anggota legislatif menjadi variabel utama demi memperoleh suara.
“Yang paling mampu atau paling besar daya gedornya atau efeknya, adalah daya tarik tokoh. Itu yang pertama,” ujar Qodari kepada kumparan di Cikini, Jakarta Pusat.
Ampuhnya pengaruh tokoh terhadap perolehan suara partai sudah terbukti dari pemilu ke pemilu. Figur berperan penting. Tak hanya untuk menggelorakan semangat kader partai, tapi juga mempermudah pemilih mengenal partai si calon, mengingat rendahnya identitas pengenalan partai oleh masyarakat.
Contoh pengaruh signifikan ketokohan terlihat pada PDI Perjuangan yang melejit sebelas kali lipat, beroleh 33 persen suara pada Pemilu 1999 karena sosok Megawati Soekarnoputri yang dianggap antitesis Soeharto. Pada 2014, partai berlambang banteng itu pun mampu menjuarai pemilu karena mencalonkan Joko Widodo sebagai calon presiden.
ADVERTISEMENT
“Pada 2004, Demokrat partai baru, usia dua tahun langsung mendapat 7,5 persen suara karena variabel SBY. Tahun 2009, SBY presiden, sangat populer, Partai Demokrat bahkan bisa menang pemilu di usianya yang ke-7,” tutur Qodari.
Hal serupa terjadi pada Partai Gerindra dan Hanura yang baru muncul pada Pemilu 2009. Partai itu langsung menarik perhatian masyarakat karena faktor nama ‘Wiranto’ di Hanura dan ‘Prabowo’ di Gerindra.
“Pada 2014, Partai Gerindra melonjak jadi partai tertinggi nomor 3 di Indonesia, karena faktor Prabowo,” lanjut Qodari.
Kini, kembali turunnya Prabowo di palagannya yang ketiga pun tak lepas dari kebutuhan Gerindra akan ketokohannya.
“Tanpa Prabowo, Gerindra repot. Karena Gerindra itu kan seperti Prabowo fans club. Persis sama dengan Demokrat (SBY fans club),” ujar Djayadi.
Korelasi positif antara tokoh yang diusung dengan perolehan suara partai pengusungnya dikenal dengan istilah efek ekor jas atau coattail efect. Efek tersebut secara signifikan akan dimiliki oleh partai yang memiliki ‘jas’ capres atau cawapres, dan menguat ketika pemilu legislatif dan eksekutif digelar serempak.
ADVERTISEMENT
Beda hal jika pemilu tak berlangsung serentak. Tokoh tak membawa dampak apa pun pada partai yang mengusungnya di pemilu presiden yang baru dilaksanakan setelah pileg. Ia tak berpengaruh karena koalisi belum terbentuk.
Ketika pemilu berlangsung serentak, wujud koalisi sudah terlihat bersama tokoh yang diusungnya. Sosok calon presiden dan calon wakil presiden itu kemudian diprediksi bisa mendorong perolehan suara partai pengusung utama, atau partai yang memiliki asosiasi paling kuat terhadap capres dan cawapresnya.
“Coattail effect akan terdistribusi secara tidak proporsional ke partai pengusung lain, tergantung seberapa kuat asosiasi masing-masing partai dengan calon presiden,” ucap Djayadi.
Sementara partai yang tidak bisa mencalonkan capres-cawapres, harus bertumpu kepada kekuatan partai dan kekuatan caleg.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks Jokowi, misal, partai pengusungnya mulai berlomba-lomba untuk menunjukkan bahwa mereka pendukung Jokowi. Seruan semacam “Jokowi presidenku, NasDem partaiku”, menurut Djayadi, karena partai itu ingin terasosiasi dengan Jokowi dan memperoleh efek ekor jas tersebut.
Di kubu Prabowo, Gerindra dan PKS dikenal memiliki hubungan yang telah terjalin lama dengan Prabowo. Itu pula yang membuat Prabowo sulit untuk memutuskan : dari partai mana cawapresnya berasal.
PKS dinilai sudah banyak mengalah kepada Gerindra, mulai dari Pilkada DKI Jakarta 2017 hingga Pilkada Jawa Barat 2018.
“PKS merelakan kadernya (Mardani Ali Sera) ditarik dari porsi calon wakil gubernur (Pilkada DKI Jakarta), untuk digantikan Anies Baswedan,” ujar Direktur Pencapresan PKS Suhud Alynudin.
ADVERTISEMENT
Pada Pilkada Jawa Barat, partai yang kini dipimpin oleh Sohibul Iman itu kembali mengalah. “Kerja sama yang sudah terbangun antara PKS dengan Deddy Mizwar yang elektabilitasnya 40 persen, kami ganti dengan calon yang diajukan oleh Gerindra, yang elektabilitasnya jauh di bawah Deddy Mizwar,” tutur Suhud.
“Karena kami melihat ini bagian dari proses kerja sama menuju Pilpres, maka kami ambil opsi yang kurang oke itu untuk menjaga kerja sama politik yang sudah terbangun.”
Berat timbangan untuk PKS tersebut ditambahi rekomendasi GNPF Ulama yang juga menyodorkan nama Salim Segaf Al-Jufri, Ketua Majelis Syuro PKS.
“Faktor ulama sekarang menjadi variabel yang sangat dipertimbangkan oleh Prabowo dalam strategi pemenangannya,” ujar Qodari. Isu keagamaan itu, lanjutnya, ibarat kartu truf yang telah dimainkan oleh Gerindra dan PKS di Pilkada DKI Jakarta.
ADVERTISEMENT
Persoalannya, Prabowo membutuhkan pendamping yang juga bisa mengerek elektabilitasnya. Sementara calon kuat PKS, Salim Segaf Al-Jufri, memiliki tingkat keterpilihan di bawah satu persen saja.
“Percuma kita bikin Ijtima Ulama kalau kita ngomong elektabilitas. Jangan ngomong elektabilitas lagi. Sekarang kita bicara soal kekuatan, keumatan, kebersamaan,” ujar politikus PKS Aboe Bakar Al Habsyi.
Kelebihan yang dimiliki Salim Segaf, menurut Aboe, ada pada mesin PKS yang diklaim tangguh, dan rekam jejak Salim di pemerintahan SBY sebagai menteri sosial. Salim juga disebut memiliki basis massa di Sulawesi.
Di sisi lain, AHY yang muda dengan elektabilitas di angka 7 persen, tampak lebih menjanjikan kemenangan. Selain diklaim bisa menarik suara dari kalangan pemilih milenial yang mendominasi pada pemilu kali ini, AHY tentu membawa serta bekal dari bapaknya.
ADVERTISEMENT
“Demokrat memiliki jaringan logistik, finansial, infrastruktur politik. Dan itu salah satu faktor yang menjadi penentu dalam kemenangan,” ujar Yunarto Wijaya dari Charta Politika kepada kumparan, Sabtu (4/8).
“Lagi pula, tingkat kebutuhan koalisi dari Prabowo terhadap SBY memang tinggi. SBY ketika masuk di koalisi Prabowo, seakan-akan kan dianggap sumber logistik. Sehingga otomatis bargaining position dalam pembagian kekuasaan jadi besar.”
Jika PKS bicara masa depan dan keberlangsungan nasib partainya, begitu pula Demokrat. Apalagi, menurut Qodari, “Pak SBY punya kalkulasi atau kekhawatiran, bahwa kalau tahun ini tidak diambil momentum AHY sebagai wakil presiden dan menunggu 2024, itu keburu tenggelam.”
Maka tahun 2019 dilihat sebagai momentum yang tepat untuk regenerasi Partai Demokrat ke depan, termasuk mengalihkan tongkat estafet klan Yudhoyono.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan yang tersisa: apa yang menjadi pertimbangan utama Prabowo dalam memilih cawapres?
Anggota Badan Komunikasi Gerindra Andre Rosiade menyatakan, “Pak Prabowo butuh calon yang yang mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan milenial .”