Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Bertemu Yusuf, Mantan Teroris yang Sukses Bisnis Kuliner
18 Juni 2018 9:04 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
ADVERTISEMENT
Jika tidak pernah salah, manusia tidak akan pernah belajar. Begitulah siklus hidup hampir dialami semua orang, termasuk Yusuf Adirima (42).
ADVERTISEMENT
Sore itu orang lalu lalang memasuki Dapoer Bistik yang berada di Jalan Kebangkitan Nasional No. 62, Solo. Mereka memesan berbagai olahan makanan, salah satunya adalah iga yang menjadi andalan. Dua belas orang pegawai Dapoer Bistik satu persatu melayani puluhan orang yang datang.
Di tengah-tengah mereka, duduk seorang laki-laki berbaju koko abu-abu gelap tengah memainkan ponselnya. Tak lama setelah kumparan menginjakkan kaki di Dapoer Bistik, senyumnya mengembang menyambut kedatangan kami.
Dia adalah Yusuf Adirima, mantan teroris yang kini sukses berbisnis kuliner. Berada di tengah keramaian pengunjung, Yusuf mulai menceritakan jalan panjang kehidupannya.
"Jadi kalau terlahir di daerah Jawa Timur ya. Ya sama dengan teman-teman lahir dari keluarga petani di kampung desa kecil kemudian kita di lingkungan NU ya kebetulan Jombang itu kuat NU-nya," cerita Yusuf, Rabu (6/6).
ADVERTISEMENT
Masuk SMA, nalar Yusuf mulai mengembang untuk membandingkan wacana-wacana Islam. Dia begitu tertarik dengan konflik Muslim di Bosnia, Eropa. Ketika film itu dilarang diputar di sekolah-sekolah, Yusuf tak habis akal untuk nekat ke Departemen Agama untuk meminjam kaset film tersebut.
Haus pengetahuan tentang Islam, Yusuf kemudian berburu pesantren selepas lulus SMA. Pilihannya jatuh ke Pondok Pesantren Wali Songo di Ponorogo. Tak begitu lama di sana, dia lantas mulai melirik Pondok Pesantren Ngruki. Kala itu ketertarikan Yusuf akan konflik Poso-Ambon tengah membuncah.
"Ah enggak usah ke Ngruki, datanglah ke pesantrennya Amrozi di Lamongan itu," kata senior Yusuf kala niatnya mulai tumbuh.
Yusuf kemudian berpindah ke pesantren yang ada di Lamongan. Di sana dia melihat, banyak para santri memiliki akses untuk berjihad ke Poso.
ADVERTISEMENT
Dengan persiapan yang minim dan berbekal uang menjual motor, akhirnya Yusuf diberi lampu hijau untuk berangkat di Poso. Namun, karena tidak memiliki kemampuan berperang, Yusuf yang saat itu baru berusia 22 tahun tidak diterima untuk ‘berjihad’ di Poso.
Berkelana ke Filipina
Perjalanan waktu kemudian membawa Yusuf sampai ke Malaysia hingga Filipina. Dia masuk dalam komplotan teroris Jamaah Islamiyah. Di sanalah, skill berperang Yusuf benar-benar mulai diasah. Padahal, tidak pernah terbesit dalam pikirannya untuk sampai ke dua negeri seberang itu.
"Nah sampai Filipina kok ada perang ada gerilya, baru pendidikan itu saya terima. Di situ yang menyeleksi yang mengoreksi saya tidak tahu yang jelas saya termasuk kelompok itu yang bisa ke Filipina Selatan. Itu mengalir apa adanya, tidak didoktrin, dipaksakan." ungkap Yusuf.
ADVERTISEMENT
Dua tahun berada di sana, Yusuf akhirnya kenal betul dengan suluk beluk dunia perang. Dia menjadi akrab dengan bom dan senjata.
Pada 2002, Yusuf memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Dia begitu kaget ketika melihat adanya bom Bali 1 saat itu.
"Ada bom Bali 1, kekagetan lho di sini ternyata juga ada bom. Itu pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab juga. Kok bisa. Kalau di koflik ada bom saya wajar, ini sampai Bali sampai Jawa," ungkap Yusuf.
Selama itu, Yusuf terus dibujuk untuk terlibat dengan aksi terorisme. Akhirnya Yusuf bergabung dengan kelompok teroris yang ada di Jawa.
"Cuma begitu saya pulang itu ada yang memperhatikan saya. Saya termasuk aset. Akhirnya saya gabunglah sama kelompok yang di Semarang itu. Dengan bahan peledak kemudian dengan senjata api di situlah delik hukum yang menjerat saya," kata Yusuf menjelaskan.
ADVERTISEMENT
Vonis 10 tahun dan mencoba bangkit
Yusuf kemudian divonis 10 tahun penjara setelah terbukti menyembunyikan bahan peledak kasus bom Semarang 2003. Dia sempat bersyukur tidak divonis mati ataupun seumur hidup. Namun, dia sempat merasa janggal karena otak dari bom Semarang hanya divonis 7 tahun penjara.
Dia kemudian menjalani hari-hari di penjara bersama 3 orang rekannya. Baru, setelah tahun ketiga, Yusuf mulai mendapat remisi.
Berada di penjara, Yusuf tersadar bahwa apa yang dia lakukan sebelumnya adalah keliru. Dia teringat dengan keluarganya yang ada di Jombang."Nah dari situ mulai berbicara jujur pada keluarga, berbicara apa adanya. Dan itu membuat saya semakin terpanggil bahwa keluarga itu juga tanggung jawab besar buat saya," jelas Yusuf.
ADVERTISEMENT
Karena menjalani masa hukuman dengan baik dan jarang berulah, Yusuf dibebaskan setelah menjalani 6 tahun masa penjara.
Dia mulai berkelana ke sana ke mari mencobai bangkit. Dimulai dengan menjadi pegawai restoran, dia perlahan mulai merangkak mendalami suluk beluk dunia kuliner.
Berbekal piawai memasak dan dibantu Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP), sebuah yayasan penelitian tentang terorisme, Yusuf memberanikan untuk membuka usaha sendiri. Dengan menyewa sebuah tempat, dia menamai bisnis kulinernya dengan nama Dapoer Bistik.
Dalam berbisnis Yusuf tak luput mengajak rekan sesama mantan teroris. Anak-anak muda yang kondisi ekonominya lemah juga ditarik Yusuf untuk membantu usahanya.
Bisnisnya itu terbilang berkembang pesat meski mengalami pasang surut.
"Omzetnya ya naik turun, naik turun. Kadang kalau kita normal ya kalau bersih satu hari satu juta ya Alhamdulillah. Tadi malam dapat 3,5. Tanggal-tanggal tua menyusut itu sudah biasa," jelas Yusuf.
Terlepas dari kondisi tersebut bagi Yusuf, ada satu nilai penting yang telah terpenuhi dari usahanya selama ini.
ADVERTISEMENT
"Poin dari kami agar karyawan ini mendapatkan penghasilan mereka juga menanggung nafkah keluarganya, itu yang utama," pungkas Yusuf.
-------------------------------------------------------
Ikuti kisah Yusuf keluar dari belenggu terorisme selengkapnya di topik Yusuf Mantan Teroris .