Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
“Setiap orang kan punya standar nilai dan standar keyakinan. Nah, mereka (beberapa menteri) memandang, ‘Loh, orang yang saya bantu ini ternyata bukan [bekerja] semata-mata untuk kepentingan nasional, tapi juga kepentingan pribadi.’ Mereka mulai terusik dan kecewa,” kata ekonom senior INDEF Faisal Basri yang menyebut mendapat informasi akurat soal itu dari orang dalam pemerintahan dan elite partai.
Salah satu menteri yang memendam kekecewaan, menurut Faisal, adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani. Ucapan Faisal itu senada dengan informasi yang diperoleh kumparan dari sumber-sumber di lingkaran Istana dan Kemenkeu. Salah satu dari mereka berkata, gelombang mundur sejumlah menteri bisa terjadi bila ada pemicunya.
Salah satu pemicu itu, misalnya, adalah mundurnya Mahfud MD dari kabinet seperti yang sudah ia rencanakan. Menurut Faisal, total ada 15 menteri yang berpotensi hengkang dari kabinet. Mereka berlatar profesional maupun parpol.
Bagimana andai menteri-menteri itu nantinya benar-benar mundur dari kabinet? Adakah dampaknya terhadap pemerintahan Jokowi dan situasi politik-ekonomi negara?
Netralitas Pemilu Diragukan
Direktur Lembaga Kajian Nusakom Pratama, Ari Junaedi, melihat ada kans menteri-menteri yang tak lagi sepaham dengan Jokowi bakal ikut mengundurkan diri jika Mahfud MD telah resmi mundur dari kabinet.
Terlebih, menurut Ari, sejumlah menteri saat ini sudah tak fokus lagi bertugas karena merasa hanya digunakan sebagai alat untuk membantu mencapai ambisi politik Jokowi.
Bila Mahfud dan beberapa menteri lain mundur, maka hal itu bisa memicu ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah. Netralitas pemilu pun akan diragukan.
“[Mundurnya menteri] pasti akan memberikan pukulan telak kepada Presiden… Publik akan menilai ini bentuk deligitimasi netralitas Presiden di Pilpres 2024,” kata pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno.
Faisal Basri smenyatakan, kian hari manuver yang mengindikasikan adanya ketidaknetralan dalam pemilu makin terbaca. Pernyataan-pernyataan Jokowi pun berubah-ubah pada beberapa kesempatan.
Ucapan Jokowi teranyar yang jadi sorotan adalah soal presiden boleh berkampanye dan memihak. Ini membuat masyarakat sulit membedakan ketika Jokowi berkunjung ke daerah-daerah, apakah dalam rangka tugas negara atau terkait/disisipi kepentingan pribadi/kelompok.
“Mana mungkin seseorang pada saat yang sama bertindak sebagai presiden sekaligus warga yang ingin hak-hak pribadinya juga dihargai. Sangat mustahil,” kata Faisal di Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (25/1).
Upaya Pemakzulan Jokowi Berlanjut
Pakar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menilai perilaku Jokowi akhir-akhir ini semakin menambah panjang daftar dugaan pelanggaran terkait pemilu.
Bivitri pun mengkritik Jokowi karena hanya menyandarkan ucapannya soal presiden boleh berkampanye ke Pasal 299 ayat 1 UU Pemilu. Padahal, ujar pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan itu, Pasal 299 tidak bisa hanya dibaca satu ayat, melainkan harus komplet tiga ayat, plus Pasal 301 yang juga terkait.
“Kalau kita baca semua itu secara lengkap, kita akan paham bahwa Presiden atau Menteri bisa kampanye kalau: 1) Berjuang untuk dirinya sendiri, semisal petahana yang nyalon lagi, seperti Jokowi pada 2019 dan SBY pada 2009; 2) Berkampanye untuk parpolnya sendiri; 3) Bergabung dengan tim kampanye resmi dari kandidat tertentu,” jelas Bivitri.
Lebih lanjut, Bivitri menilai ucapan kontroversial Jokowi tersebut telah memenuhi syarat baginya untuk dimakzulkan atau diberhentikan dari jabatan presiden sesuai Pasal 7A UUD 1945 yang berbunyi:
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Berdasarkan pasal tersebut, menurut Bivitri, Jokowi melakukan perbuatan tercela karena melakukan hal yang tidak patut dalam jabatannya sebagai presiden.
Senada, Faisal Basri menyebut bahwa upaya pemakzulan Jokowi bisa berlanjut, bahkan memiliki alasan makin kuat usai lontaran ucapannya soal presiden boleh berkampanye. Hanya saja, pemakzulan butuh waktu cukup lama, sebab banyak proses yang harus dilalui, yakni: 1) Harus ada bukti kuat pelanggaran berat oleh presiden; 2) Harus disetujui minimal ⅔ dari total anggota DPR untuk kemudian digelar penyelidikan atau hak angket; 3) Argumen DPR harus lolos uji di Mahkamah Konstitusi.
Potensi Guncangan Ekonomi
Jika Menkeu Sri Mulyani ikut mundur dari kabinet, maka Faisal memprediksi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan semakin anjlok. Padahal, pada 25 Januari 2024 saja, nilai tukar rupiah telah menyentuh Rp 15.779 per dolar AS—yang tertinggi sejak 2 November 2023 saat sempat mencapai Rp 15.751 per dolar AS.
Rupiah bisa makin anjlok karena orang berbondong-bondong menarik uang tunai di bank menjelang pemilu. Lebih lanjut, kepercayaan investor untuk menanamkan modal di Indonesia akan ikut turun.
“Sekarang investor sudah banyak yang keluar kan, tapi akan lebih masif lagi [bila menteri-menteri mundur] dan bisa menimbulkan guncangan ekonomi buat Indonesia,” jelas Faisal.
Skenario terburuk apabila Jokowi semakin mempertontonkan akrobat politiknya di luar batas adalah adanya reaksi keras di kalangan masyarakat. Namun, menurut Ari Junaedi, Jokowi telah bersiap dari jauh-jauh hari untuk menghindari situasi terburuk. Salah satunya dengan meletakkan orang-orang kepercayaannya di TNI dan Polri.
“Karena Jokowi copy paste-nya Soeharto, bahkan jauh lebih hebat, tentu Jokowi memperhatikan faktor penentu di TNI Polri. Mereka sudah dalam genggaman. Pergantian Panglima TNI, KSAD, Geng Solo, ini kan sedemikian luar biasa,” jelas Ari.
Pun begitu, sampai hari ini, belum ada menteri yang hengkang dari kabinet Jokowi.
“Ini semacam bisul di tubuh manusia. Meledak di dalam, tapi nggak sampai keluar,” tutup Adi Prayitno.