Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai revisi UU Polri yang saat ini digodok di DPR RI bukanlah merupakan bentuk reformasi institusi kepolisian. Menurutnya, apa yang harus dibenahi yakni terkait aspek institusional.
ADVERTISEMENT
"Memang ada urgensi reformasi kepolisian, tapi revisi UU Polri 2024 bukan reformasi kepolisian," kata Bivitri dalam diskusi 'RUU Polri Melenggang, Impunitas Melanggeng' yang digelar oleh PSHK, Rabu (3/7).
Dalam pemaparannya, Bivitri menegaskan pentingnya berbicara soal aspek institusional terkait reformasi polri. Bukan lagi bicara soal persepsi.
"Bagaimana pun yang dipotret adalah persepsi masyarakat, saya khawatir kalau kita pegangannya persepsi, maka bisa jadi kalau kita mau dorong perbaikan institusi arahnya kalau persepsi kita perbaiki hanya di permukaan, yang timbulkan persepsi baik atau buruk," kata Bivitri.
"Padahal sebenarnya yang dibutuhkan adalah kita bicara substansinya, masalah nyatanya seperti apa, akar masalahnya seperti apa, baru bicara reformasi," sambungnya.
Bivitri kemudian membeberkan masalah nyata yang ada di tubuh kepolisian saat ini.
ADVERTISEMENT
"Kebanyakan perkara-perkara etik dan hukum yang melingkupi kepolisian: kekerasan terhadap aktivis, korupsi, kekerasan seksual dan lain-lain," kata dia.
Menurutnya, jika revisi UU hanya berbasis persepsi saja, maka hanya akan berujung kepada pencitraan karena hanya memperbaiki persepsi publik. Beda jika yang dibenahi adalah aspek institusionalnya.
"Jangan dijadikan dasar melakukan reformasi, keinginan dan langkah reformasi harus didasarkan pada masalah nyata, bukan persepsi. Reformasi yang didasarkan pada persepsi hanya akan berujung pada pencitraan karena tujuannya memperbaiki persepsi publik," kata dia.
Kembali ke Titik Nol
Menurut Bivitri, dibandingkan dengan revisi UU Polri dengan draf saat ini, lebih baik reformasi menyeluruh dari nol.
"Intinya adalah kita langsung saja membicarakan bahwa harusnya kita mendorong ada titik nol reformasi kepolisian, sebenarnya dengan istilah titik nol, kita reformasi beneran yuk menyeluruh yuk, ketimbang tadi menaikkan usia pensiun itu kan potongan-potongan yang enggak menjawab reformasi kepolisian," kata dia.
ADVERTISEMENT
"Kenapa saya juga bilang titik nol? enggak sekadar bilang reformasi kepolisian, karena kita harus membongkar juga tuh aktor-aktornya, sehingga warga masyarakat sipil harus dilibatkan supaya menjadi penyeimbang antara polisi dan aktor politik," sambungnya.
Dia menekankan, dalam proses reformasi Polri ini tiga hal yang harus diperhatikan. Pertama, adalah kewenangan harus diikuti dengan pengawasan. Kedua, kewenangan penegak hukum harus berada di dalam koridor hukum acara, yang basisnya perlindungan HAM. Ketiga, masalah utama politik perundang-undangan adalah pengunaan kata yang punya makna ganda.
Terkait substansi, Bivitri menyebut bahwa revisi UU Polri dengan draf yang sekarang, akan membuat kewenangan Polri makin besar. "Tanpa telaah mendalam terlebih dulu mengenai bagaimana menyeimbangkan kewenangan dengan pengawasan," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, Bivitri juga menyoroti proses legislasi UU Polri ini yang dinilainya tak jelas.
"UU Polri ini tidak ada dalam prioritas tahun ini, entah masuknya dari mana, kadang-kadang mereka dalihnya diizinkan untuk nyelak itu putusan MK atau perjanjian internasional, kadang-kadang putusan MK ini tidak ada kaitannya dengan apa yang mau direvisi kemudian dijadikan alasan," ucapnya.