BPS: 61,8% Biaya Kesehatan Dibayar Sendiri, 3 Kali Lebih Tinggi dari Anjuran WHO

30 Januari 2024 6:26 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Calon pasien menunjukkan kartu BPJS Kesehatan saat menyelesaikan proses administrasi di RSUD Jati Padang, Jakarta, Senin (7/1/2019). Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
zoom-in-whitePerbesar
Calon pasien menunjukkan kartu BPJS Kesehatan saat menyelesaikan proses administrasi di RSUD Jati Padang, Jakarta, Senin (7/1/2019). Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
ADVERTISEMENT
Debat terakhir Pilpres 2024 akan diselenggarakan pada Minggu, 4 Februari 2024. Kali ini para calon presiden akan adu gagasan mengenai kesejahteraan sosial, kebudayaan, pendidikan, teknologi informasi, kesehatan, ketenagakerjaan, sumber daya manusia, dan inklusi.
ADVERTISEMENT
Nah, berbicara isu kesehatan tak lepas dari Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan. Melalui program ini masyarakat Indonesia ditargetkan lebih mudah dalam menikmati layanan kesehatan karena memiliki asuransi nasional.
Berdasarkan data BPJS Kesehatan, jumlah peserta jaminan di 2023 sudah mencapai 93,6 persen. Pemerataan peserta BPJS Kesehatan pun terus digenjot untuk mencapai Universal Health Coverage (UHC) yang ditargetkan RPJMN 2020–2024, yaitu sedikitnya 98 persen dari total populasi.
Selama 10 tahun beroperasi, peserta BPJS terus meningkat. Ditambah lagi pada tahun 2022 Presiden Jokowi mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022, tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program JKN. Isinya instruksi agar kementerian dan lembaga terkait menjadikan kepesertaan BPJS Kesehatan sebagai syarat wajib bagi masyarakat yang ingin mengakses fasilitas publik.
ADVERTISEMENT
Inpres tersebut juga mengatur bahwa BPJS Kesehatan, kementerian/lembaga dan seluruh pemerintah daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota agar bersinergi dan berupaya secara optimal untuk memastikan seluruh penduduk dilindungi dalam Program JKN.
Berdasarkan publikasi BPS yang berjudul 'Profil Statistik Kesehatan 2023' Aceh menjadi provinsi dengan peserta BPJS Kesehatan tertinggi di Indonesia. Sebanyak 96,27 persen penduduk Aceh sudah memiliki BPJS Kesehatan. Di sisi lain, Papua adalah provinsi paling sedikit yang masyarakatnya memiliki BPJS Kesehatan, ysitu 41,98 persen dari total populasi.

Cakupan Luas, tapi OOP Tinggi

Salah satu prinsip utama dalam mencapai UHC adalah melindungi individu dari beban keuangan. Artinya individu tidak harus merogoh kocek pribadi untuk menerima layanan kesehatan.
Persoalannya, biaya yang dikeluarkan seseorang untuk menikmati layanan kesehatan rupanya lebih banyak dari kantong sendiri (OOP atau Out of Pocket).
ADVERTISEMENT
Berdasarkan hasil survei ekonomi nasonal (Susenas) yang dilakukan BPS, OOP bahkan terus meningkat dalam tiga tahun terakhir. Susenas sendiri dilaksanakan terhadap 345 ribu orang yang tersebar di Indonesia.
Pasien peserta BPJS akan melakukan pemeriksaan di RS Bahteramas, Kendari, Sulawesi Tenggara, Selasa (31/7). Foto: ANTARA FOTO/Jojon
Pada 2023, misalnya, proporsi pengeluaran kesehatan per kapita dalam sebulan rupanya lebih banyak berasal dari OOP. Nilainya bahkan mencapai 61,8 persen. WHO sendiri merekomendasikan angka OOP tak lebih dari 20 persen.
OOP merupakan indikator untuk melihat proteksi finansial. Secara konseptual, kepemilikan JKN akan mencegah terjadinya pengeluaran kesehatan secara berlebihan oleh peserta lantaran biayanya sudah ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
BPS mencatat bahwa biaya pengeluaran rata-rata masyarakat Indonesia untuk kesehatan Rp 31.445 per bulan. Sementara di kota, pengeluaran masyarakat untuk kesehatan mencapai Rp 39.115.
ADVERTISEMENT
Meski begitu, ada perbedaan data antara OOP yang dirilis BPS dan WHO. Dalam situs WHO, angka OOP di Indonesia pada 2021 mencapai 27,49 persen. Angkanya juga jauh lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai 31,7 persen. Data 2021 yang dirilis WHO adalah data terbaru, sebab data 2022 dan 2023 belum tersedia.

Kenapa Masih Jauh dari Rekomendasi WHO?

Dalam laporannya di tahun 2023, BPS mengutip kajian yang dilakukan Lembaga Penelitian dan Advokasi Kebijakan "Prakarsa" 2018. Di sana dijelaskan bahwa alasan tingginya OOP di era JKN dengan kontribusi sebesar 75,16 persen adalah banyaknya obat yang belum terjamin.
Praktis, ini mendorong penduduk untuk mengeluarkan uang dari kantong sendiri. Tujuannya mendapatkan jenis obat yang lebih mahal maupun layanan kesehatan yang lebih baik
ADVERTISEMENT
Selain mencari alternatif obat yang lebih baik, ada dua alasan lain kenapa pasien harus mengeluarkan biaya tambahan untuk membeli obat. Pertama, distribusi obat yang tidak merata di rumah sakit dan tidak dijaminnya jenis obat tertentu oleh BPJS. Kedua, buruknya rencana pengajuan permintaan obat oleh apotek rumah sakit.
Seorang pedagang mengambil obat untuk konsumennya di Pasar Pramuka, Jakarta, Selasa (3/1/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Dalam jurnal yang sama dijelaskan bahwa OOP mempengaruhi ekonomi rumah pasien JKN. Sebanyak 50,5 persen pasien JKN terpaksa berutang guna menutupi biaya tambahan layanan kesehatan, sisanya dengan cara meminta sumbangan, menjual harta pribadi, terpaksa tidak membeli obat, dan lain-lain. Alhasil, sebanyak 71,9 persen pasien JKN merasa OOP layanan kesehatan JKN masih menyulitkan kondisi ekonominya.
Menteri Kesehatan sebetulnya sudah mengeluarkan Keputusan Menkes RI Nomor HK.01.07/Menkes/1970/2022 yang mengatur acuan obat yang diberikan kepada peserta BPJS Kesehatan. Memang tidak semua obat ada dalam daftar tersebut.
ADVERTISEMENT
Anggaran kesehatan di tahun 2024 naik 8,05 persen dibandingkan pada outlook APBN 2023. Total anggaran sebanyak Rp186,4 triliun atau 5,6% dari total seluruh rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024.
Anggaran kesehatan 2024 ditujukan untuk meningkatkan akses dan kualitas layanan primer dan rujukan, menjamin tersedianya fasilitas layanan kesehatan, serta mengefektifkan program JKN.