Budaya Viralisme dan Pemberantasan Korupsi

30 Agustus 2024 19:51 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kaum millenial bermain sosial media. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kaum millenial bermain sosial media. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Memakai jaket dan masker hitam, Rafael Alun Trisambodo sudah berada di Gedung Merah Putih sejak pagi hari.
ADVERTISEMENT
Kantor KPK itu masih sepi. Para pegawai masih baru berdatangan untuk masuk kerja.
Namun, Rafael Alun sudah duduk di sofa ruang tunggu lobi. Bahkan lebih cepat dari resepsionis KPK yang bertugas menerima tamu.
Jumat itu (1/3), Rafael Alun diminta datang oleh KPK untuk diklarifikasi soal LHKPN. Ia datang lebih pagi diduga sebagai strategi menghindari sorotan kamera wartawan.
Rafael Alun Trisambodo tiba untuk penuhi panggilan KPK, di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (1/3/2023). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Upaya Alun berhasil. Saat itu Alun tak begitu dikenali awak media karena ia memang bukan pejabat yang kerap tersorot kamera atau mejeng di media. Kala itu, jabatannya ‘hanya’ sebagai Kabag Umum Kanwil DJP Jakarta Selatan II, golongan eselon III. Meski begitu, hari itu jadi awal Rafael Alun, sebagai pejabat pajak di Kementerian Keuangan, menuju jeruji. Sesuatu yang tak pernah diperhitungkan dalam hari-hari sial.
ADVERTISEMENT
Alun bisa jadi tak pernah membayangkan dirinya akan tersandung kasus korupsi dan berurusan dengan KPK. Hari apesnya bermula ketika anaknya, Mario Dandy (21 tahun), menganiaya David Ozora lalu ramai di media, khususnya media sosial.
Terdakwa kasus penganiayaan Mario Dandy Satriyo bersiap mengikuti sidang di PN Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (22/8/2023). Foto: Akbar Nugroho Gumay/Antara Foto
Kasus tersebut riuh lantaran Mario Dandy ternyata kerap memamerkan hartanya di media sosial. Berbagai kendaraan mewah dari mulai mobil jeep Rubicon hingga Motor Harley Davidson, dia pamerkan.
Belakangan, terungkap bahwa Mario Dandy merupakan anak dari Rafael Alun, seorang pejabat pada Ditjen Pajak.
Momen Rafael Alun peluk-cium putranya, Mario Dandy, di PN Jakarta Pusat, Senin (6/11/2023). Foto: Dok. Istimewa
Masalahnya, kendaraan-kendaraan yang dipamerkan Mario Dandy tersebut tidak tercantum dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) Rafael Alun yang tercatat senilai total Rp 56 miliar.
Dalam LHKPN per 28 Februari 2023 itu, hanya ada 4 kendaraan yang dilaporkan. Yakni Toyota Camry 2008, Toyota Kijang 2018, Toyota Jeep FJ40RV 1980 (Land Cruiser Hardtop), dan Toyota Jeep Land Cruiser 2008. Total nilainya sekitar Rp 1 miliar.
ADVERTISEMENT
Tidak ada motor Harley Davidson. Tidak ada mobil Rubicon. Hal yang berujung viral di media sosial. Viral yang membuat Rafael Alun berurusan dengan KPK.
Jeep Rubicon di Polsek Pesanggrahan dengan pelat nomor yang belum diganti, yakni B 120 DEN. Foto: Dok. Istimewa
Pada 1 Maret 2023, Rafael Alun datang ke KPK untuk diklarifikasi mengenai sumber kekayaannya. Pada klarifikasi itu, tim LHKPN dari Deputi Pencegahan dan Monitoring, menemukan kejanggalan terkait sumber kekayaan Alun. Aset yang dimiliki tak sesuai profil alias tak sesuai penghasilan sebagai seorang pejabat pajak eselon III.
Temuan tersebut lalu diserahkan ke bidang penindakan. Dan hanya dalam 30 hari, Rafael Alun resmi ditetapkan sebagai tersangka dugaan penerimaan gratifikasi selama 12 tahun, dari 2011 sampai 2023. Alun kemudian ditahan dan diadili dengan dakwaan menerima gratifikasi senilai Rp 16,6 miliar, juga dugaan pencucian uang atau TPPU bersama istrinya, Ernie Meike Torondek, sebesar Rp 5,1 miliar serta penerimaan lainnya sejumlah Rp 31,7 miliar.
ADVERTISEMENT
Ujungnya, Hakim menilai perbuatan Rafael Alun terbukti. Rafael Alun dihukum 14 tahun penjara dengan denda Rp 500 juta. Ia juga dijatuhi hukuman tambahan berupa pembayaran uang pengganti senilai Rp 10 miliar lebih.

Viral Berujung Sel

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Selasa (9/7/2024). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata tak membantah bahwa kasus Alun Trisambodo dipengaruhi banyak oleh partisipasi masyarakat. Termasuk dalam bentuk pemberitaan dan upaya memviralkan di media sosial.
“Jadi yang berkembang di medsos, ya tentu itu menjadi salah satu sumber informasi juga di KPK, apalagi kemudian setelah kita klarifikasi, kita verifikasi,” kata Alex saat ditemui di kantornya beberapa waktu lalu.
Alex mengakui viralnya gaya hidup mewah pejabat yang dikaitkan dengan LHKPN efektif membuka kejanggalan sumber kekayaan penyelenggara negara. Meskipun, tambah Alex, semua laporan masyarakat — termasuk yang viral di medsos — harus berbasiskan data untuk kemudian bisa ditindaklanjuti.
ADVERTISEMENT
“Jangan hanya karena viral, tetapi base on data,” kata dia.
Khusus kasus Rafael Alun yang terbilang mendapat respons cepat, kata Alex, karena memang datanya saat itu sudah ada. “Enggak juga [cepat bukan karena viral], ya karena datanya saja memang ada. Kalau datanya yang sulit, ya susah juga kita,” ungkap Alex.
Alex menambahkan, viral di media sosial sama dengan laporan masyarakat pada umumnya yang disampaikan langsung ke KPK atau melalui surat elektronik, telepon, dan sebagainya. Jenis sama: sama-sama melibatkan partisipasi masyarakat.
“Dalam UU pemberantasan korupsi, KPK itu kan melibatkan seluruh elemen bangsa kan, termasuk peran serta masyarakat di situ. Jadi apa yang disampaikan masyarakat, entah dalam laporan langsung email, surat, telepon, WA dan sebagainya,” jelas Alex.
ADVERTISEMENT
“KPK kan juga tidak menutup mata terhadap berbagai pemberitaan yang berkembang di masyarakat, baik itu lewat medsos atau media-media lokal dan sebagainya,” imbuhnya.

Literasi Publik dan LHKPN

Proses Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) di KPK. Foto: Adhim Mugni/kumparan
Perkara Rafael Alun merupakan kasus pertama KPK yang diusut berdasarkan analisis LHKPN. Usai Rafael Alun, sejumlah pejabat negara menyusul diperiksa LHKPN-nya karena ada indikasi janggal.
Ada mantan Kepala Bea Cukai Makassar Andhi Pramono, mantan Kepala Bea Cukai Yogja Eko Darmanto, mantan Kepala BPN Jakarta Timur Sudarman Harjasaputra, hingga rekan Rafael Alun di DJP Kementerian Keuangan bernama Wahono Saputro.
Selain itu, KPK juga pernah mengklarifikasi Kepala Dinas Kesehatan Lampung Reihana, Wakil Gubernur Lampung Chusnunia Chalim, hingga Gubernur Lampung Arinal Djunaidi.
Beberapa di antaranya diperiksa lantaran flexing kehidupan mewah di media sosial. Flexing oleh dirinya sendiri maupun keluarganya.
Deputi Bidang Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan, saat memberikan keterangan pers di Ruang Konferensi Pers Gedung KPK, Jakarta, Rabu (5/2/2020). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan menyebutkan, sepanjang 2023-2024, pihaknya sudah mengklarifikasi 120 penyelenggara negara terkait LHKPN janggal. Termasuk dari laporan masyarakat lewat viralnya.
ADVERTISEMENT
Dari ratusan yang diklarifikasi, lima laporan kemudian sudah masuk tahap penyelidikan karena ditemukan kejanggalan dan ketidaksesuaian profil dalam laporan LHKPN yang disampaikan. Menurut Pahala, kelimanya adalah: Rafael Alun, Wahono, Pramono, Darmanto, dan Sudarman.
“Itu yang 5 itu yang masuk [penindakan], diputuskan pimpinan untuk dilidik. Walaupun kemajuannya [kasusnya] beda-beda,” kata Pahala saat ditemui terpisah.
Pahala menilai, pengungkapan kasus lewat LHKPN ini adalah hal baru. Belum pernah terjadi sebelumnya. Ia menganggap bahwa fenomena viral dengan dikaitkan LHKPN adalah bukti literasi publik serta keterlibatan masyarakat dalam kerja KPK.
“Ternyata LHKPN ini orang jadi literasinya lumayan, kan itu dulu ya, setelah dia tahu bahwa seluruh, katakan lah hampir seluruh pejabat pemerintah ternyata harus masukin laporan gitu ya, nah mungkin juga, begitu mereka dicek di e-announcement, ‘eh ada lho’,” kata Pahala.
ADVERTISEMENT
Literasi yang dimaksud Pahala adalah keterlibatan masyarakat dalam mengecek atau pencocokan profil aset yang dilaporkan di LHKPN dengan kehidupan yang diunggah di media sosial. Juga, tambah Pahala, media selalu mengaitkan isi laporan LHKPN dengan pejabat yang mendapatkan promosi atau penyelenggara negara yang saat itu ramai diperbincangkan.
“Perlahan-lahan literasi itu kebentuk, nah kalau sudah kebentuk gitu, di dugaan kita nih jalan ya, sudah kebentuk. Lantas, mulailah dilihat di media sosial orang-orang yang tidak sinkron dengan LHKPN, tapi literasinya sudah tahu ya kalau pejabat itu gajinya segini, gitu kan, hartanya segini, orang melihatlah ketidakseimbangan itu di media sosial dan itu diviralkan sama dia,” tutur Pahala.
“Kebetulan, dipicu sama kasusnya anaknya Rafael Alun, sebenarnya kan enggak ada urusan sama korupsi awal, tapi begitu dia tahu dia punya mobil segitu mahal, dan ini PNS, literasi ini membantu, berarti enggak wajar nih kekayaan, gitu kan, diviralkan lah,” tambah Pahala.
ADVERTISEMENT
Pahala membenarkan bahwa viral LHKPN sangat membantu timnya dalam memantau laporan kekayaan para penyelenggara negara. Juga dianggap sebagai cara baru dalam pengembangan kasus, walaupun bukan satu-satunya jalan.
“Berkontribusi, iya. Tapi kalau dibilang utama, enggak juga. Sulit ternyata membangun kasus dari individu. Sulit. Karena dia cuma individu dan cenderung keputus, keputus, ya cuma dia aja. 'nerima dari ini?', 'iya'. Dia enggak akan bilang lagi, 'oh teman saya juga terima, Pak Gubernur nerima', enggak juga,” kata Pahala.
ADVERTISEMENT
Kasus yang berangkat dari viral LHKPN ini memang cenderung hanya individu, Alun pun hanya didakwa sendirian. “Kasusnya enggak lebih dari gratifikasi,” ungkap Pahala.
Pahala mengatakan ketertiban masyarakat lewat LHKPN yang bisa diakses publik bisa cara lain melakukan pengawasan. Publik turut aktif dalam pemantauan kejanggalan profil — penghasilan dan gaya hidup mewah — penyelenggara tertentu.
ADVERTISEMENT
“Bisa [cara penindakan baru], tapi memang kalau dibilang menjanjikan apa enggak, kurang menjanjikan. Karena dia banyak cara keluarnya,” jelas Pahala.
Cara lain yang dimaksud Pahala adalah penggunaan transaksi tunai dan pemindahan aset menggunakan nama orang lain alias nomine. Cara ini merupakan modus penyelenggara negara menyembunyikan asetnya. Oleh karena itu, Pahala dan tim saat ini tak lagi hanya fokus memperhatikan ketaatan dalam melaporkan LHKPN, tapi lebih kepada ketepatan isi yang disampaikan.
“Sekarang, makanya kita bilang, problemnya bukan kepatuhan lagi, kebenaran isi sekarang,” jelas Pahala.
Fenomena viral flexing yang tak sesuai laporan LHKPN dalam hal ini Rafael Alun dkk, kata Pahala, membuat penyelenggara negara lain tiarap. Tak ada lagi berani memamerkan mobil mewah, perjalanan dan liburan luar negeri, hingga hidup mewah lainnya.
ADVERTISEMENT
“Sesudah itu [viral Alun dkk], reaksinya yang kita lihat di media sosial, semua pejabat pemerintah menarik diri. Jadi kalau sekarang kenapa enggak ada, karena mereka sudah tahu juga, akhirnya enggak ada lagi itu yang pamer-pameran,” kata Pahala.
Bukan tak ada, tapi tidak dipamerkan. Pahala mengatakan, masih banyak penyelenggara negara yang punya hidup hidup bermewah-mewahan, pejabat punya kendaraan mewah tapi mereka belajar pada kasus Rafael Alun.
“Jadi kita pikir secara substantif tidak berubah tapi penampilannya jadi berubah, bahwa orang tidak berani lagi memamerkan,” imbuh Pahala.