Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Bukan Memecat, PDIP Malah Bela Dua Kadernya yang Jadi Tersangka KPK
12 Juni 2018 12:41 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:08 WIB
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan, penetapan tersangka terhadap dua kadernya itu, bermuatan politis. Dia menyebut, hal itu terindikasi kuat dengan rivalitas dalam pilkada di Blitar dan Tulungagung.
“Ketika kami turun ke Blitar, sepertinya ada pihak-pihak tertentu yang ingin jadi wasit dalam pilkada. Kemudian menggunakan berbagai upaya termasuk menggunakan hukum sebagai alat kekuasaan. Dan ketika kami bertemu rakyat di Tulungagung, mereka mengatakan ini bagian dari rivalitas pilkada,” kata Hasto usai melepas pemudik di Stasiun Senen, Jakarta Pusat, Selasa (12/6).
Oleh karena itu, lanjut Hasto, PDIP percaya bahwa Samanhudi dan Syahri tidak bersalah. Bahkan, kata Hasto, PDIP akan memberikan bantuan hukum kepada mereka.
“Karena itu kami lebih percaya apa yang dikatakan rakyat itu, karena elektabilitas Pak Syahri Mulyo itu mencapai 63 persen, dan Pak Samanhudi Wali Kota Blitar 92 persen. Artinya basis legitimasi sangat kuat,” tegas Hasto.
ADVERTISEMENT
“Kami tetap memberikan dukungan, dengan melakukan advokasi di Tulungagung dan Blitar, karena ada politisasi di situ. Ada agenda-agenda tersembunyi di mana rakyat menyuarakan itu, ini ada hal yang aneh. Kalau daerah lain kami langsung pecat seketika, tapi kali ini kami bisa pastikan ini berdasar suara rakyat yang kami temui, ini tentang rivalitas pilkada,” imbuhnya.
Terlebih, menurut Hasto, penetapan tersangka oleh KPK juga sangat ganjal. Sebab, dalam aksi Operasi Tangkap Tangan tersebut, dilakukan bukan kepada Samanhudi maupun Syahri, melainkan hanya pihak swasta.
“Jadi dua hari sebelum hari H terjadi OTT ada tim kampanye lawan yang mengatakan akan terjadi kejadian hal yang luar biasa. Dan kami tahu siapa orangnya itu, yang akan mengubah peta poltik di Tulungagung. Apalagi tidak ada OTT terhadap Samanhudi dan Syahri Mulyo,” terangnya.
ADVERTISEMENT
Hasto khawatir, jika pemberantasan korupsi dilakukan tanpa mengedepankan aspek pencegahan, maka bisa terjadi suatu benturan di masyarakat.
“Karena di masa lalu itu oknum-oknum KPK tidak terlepas dari kepentingan politik di luarnya. Siapa yang bisa memastikan bahwa tidak ada pesanan terkait hal tersebut? Karena prosesnya betul menyolok dan betul tidak terlepas dari dinamika pilkada,” tutup Hasto.
Dua kader PDIP tersebut sebelumnya diduga melarikan diri saat akan ditangkap. Beberapa hari setelahnya, Samanhudi dan Syahri menyerahkan diri dan ditahan usai diperiksa KPK.
Dalam kasusnya, Syahri diduga menerima suap sebesar Rp 1 miliar dari pengusaha bernama Susilo Prabowo. Susilo merupakan sosok yang diduga turut menyuap Samanhudi.
Uang sebesar itu, diduga merupakan suap ketiga yang diterima Syahri terkait proyek infrastruktur peningkatan jalan pada Dinas PUPR Kabupaten Tulungagung. Sebelumnya dia diduga telah menerima uang sebesar Rp 1,5 miliar. Suap Susilo kepada Syahri diduga melalui seseorang bernama Agung Prayitno.
Sementara Samanhudi, diduga menerima suap terkait ijon proyek pembangunan sekolah lanjutan pertama di Blitar dengan nilai kontrak sebesar Rp 23 miliar. Diduga, uang yang diterimanya, adalah fee 8 persen dari nilai proyek yang akan diberikan Susilo.
ADVERTISEMENT
Kasus tersebut terungkap dalam OTT yang dilakukan KPK terhadap Susilo pada Rabu (6/6). Namun, KPK tidak berhasil menangkap Samanhudi dan Syahri dalam rangkaian OTT tersebut.
Sebab, keduanya sudah tidak berada di lokasi pada saat akan ditangkap. KPK hanya berhasil menangkap empat di antaranya, termasuk Susilo.