Bukan Kerja Paksa, PPI Ungkap Derita Mahasiswa Indonesia di Taiwan

5 Januari 2019 7:53 WIB
clock
Diperbarui 15 Maret 2019 3:50 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Taipei, Taiwan. (Foto: jaboczw/Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Taipei, Taiwan. (Foto: jaboczw/Pixabay)
ADVERTISEMENT
Taiwan memang membantah ada praktik kerja paksa dalam program kuliah-magang yang diikuti ribuan mahasiswa Indonesia. Namun, tidak berarti mahasiswa Indonesia bebas dari kesusahan. Ada berbagai pelanggaran dalam program itu yang jadi derita tersendiri bagi pelajar Indonesia.
ADVERTISEMENT
Hal ini terungkap dalam hasil investigasi oleh Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Taiwan ke beberapa kampus peserta Program Industry Academia Collaboration yang merupakan bagian dari kebijakan New Southbound Policy (NSP).
Hasil penyelidikan menyebutkan, beberapa kondisi bertentangan dengan pernyataan pejabat Taiwan yang diwakili Kantor Dagang dan Ekonomi Taiwan (TETO) di Indonesia ketika menanggapi laporan China Times soal kerja paksa terhadap mahasiswa.
"Adanya kelebihan jam kerja di luar aturan pemerintah Taiwan untuk internship. Kadang mahasiswa dijemput agen untuk kerja di waktu libur, tempat kerja di kota lain yang jauh, dan ada kalanya mempekerjakan mahasiswa di malam hari, di mana itu juga dilarang," kata Ketua PPI Taiwan, Sutarsis, kepada kumparan Jumat (4/1).
Kelebihan Jam Kerja
Konferensi pers terkait dugaan mahasiswa Indonesia dipaksa jadi buruh di Taiwan, di Taipei Economic and Trade Office, Gedung Artha Graha, Jakarta, Jumat (4/1). (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Konferensi pers terkait dugaan mahasiswa Indonesia dipaksa jadi buruh di Taiwan, di Taipei Economic and Trade Office, Gedung Artha Graha, Jakarta, Jumat (4/1). (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
Soal jam kerja, Ketua TETO di Jakarta John C Cheng sebelumnya mengatakan mahasiswa program kuliah-magang hanya bekerja 20 jam selama empat hari dalam sepekan. Mahasiswa boleh mengambil part time dengan tambahan waktu hingga 20 jam.
ADVERTISEMENT
Namun menurut Sutarsis kenyataan di lapangan tidak seperti itu. Mahasiswa S3 jurusan Material Science and Engineering di National Central University ini mengatakan, banyak kampus yang melanggar peraturan itu, ada kelebihan jam kerja, memakai waktu libur untuk mempekerjakan mahasiswa, hingga kerja di jam malam.
"Proporsi kuliah harus tetap lebih besar dari kerja. Karena di sini kalau kerja pasti ada working permit, jadi tidak bisa seenaknya. Ketika mahasiswa bekerja di luar, ketentuannya seharusnya diketahui," kata dosen di ITS Surabaya ini.
China Times juga memberitakan bahwa mahasiswa Muslim Indonesia yang bekerja di Taiwan terpaksa makan daging non-halal selama bekerja. Menurut Sutarsis, laporan itu kurang tepat.
Kepala perwakilan KDEI, Chen Chung (John C. Chen) memaparkan keterangan kepada awak media terkait mahasiswa Indonesia dipaksa jadi buruh di Taiwan. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Kepala perwakilan KDEI, Chen Chung (John C. Chen) memaparkan keterangan kepada awak media terkait mahasiswa Indonesia dipaksa jadi buruh di Taiwan. (Foto: Nugroho Sejati/kumparan)
"Makanan non-halal itu kurang betul. Tapi yang terjadi kadang kurang sesuai dan mereka kesulitan komunikasi soal ibadah bagi Muslim karena jam istirahat ketat dan pendek," jelas dia.
ADVERTISEMENT
Bekerja dengan Murah
Selain itu banyak agen nakal dalam pencarian peserta program kuliah-magang di Taiwan. Sutarsis mengatakan, banyak agen yang tidak memenuhi hal-hal yang dipromosikan, seperti jurusan yang berbeda, ketepatan waktu dapat kerja, hingga informasi yang tidak jelas soal biaya-biaya yang harus ditanggung oleh peserta.
Menurut Sutarsis, mahasiswa program ini harus membiayai kuliahnya secara mandiri dari hasil bekerja tersebut. John dari TETO sebelumnya mengatakan, mahasiswa kuliah-magang digaji secara UMR yaitu 23 ribu Taiwan dolar, sekitar Rp 10,7 juta, dalam sebulan.
Namun kata Sutarsis, jumlahnya tidak sebesar itu. Para mahasiswa dalam penyelidikan PPI mengatakan gaji mereka sekitar 11 ribu Taiwan dolar (Rp 5 juta) per bulan. Sementara mereka harus membayar ongkos kuliah 35-40 ribu Taiwan dolar per semester, belum lagi ditambah biaya asrama sekitar 10 ribu Taiwan dolar per tahun dan asuransi.
ADVERTISEMENT
"Banyak yang mengeluh sangat minim untuk biaya hidup dan kuliah," kata Sutarsis.
"Mereka bekerja murah, uang banyak kembali ke Taiwan lagi untuk biaya kuliah. Namun mereka tidak dapat porsi belajar yang bagus," lanjut pria yang tengah melakukan riset super kapasitor ini.
PPI mengakui terminologi "kerja paksa" kurang tepat dalam kasus ini. Karena pada kenyataannya para mahasiswa mendapatkan gaji. Dalam pernyataan PPI sebelumnya disebutkan bahwa "ada beberapa mahasiswa yang mengeluh capek dan ada juga yang menikmati hal ini."
Sutarsis mengatakan aduan soal kasus ini telah datang ke PPI sejak awal 2018 lalu dan telah dilaporkan ke perwakilan Indonesia di Taiwan. Akibat kasus ini, pemerintah Indonesia menghentikan sementara program pelajar ke Taiwan.
ADVERTISEMENT
Menurut data Kementerian Luar Negeri RI, saat ini ada 6.000 mahasiswa Indonesia di Taiwan, 1.000 di antaranya peserta skema kuliah-magang.
Sutarsis mengatakan ada banyak program beasiswa yang dibuka di Taiwan dari berbagai jurusan pada 2019. Dia sendiri kuliah dengan melamar langsung ke universitas dan mengontak profesor studi yang diinginkannya.
"Melamar langsung ke universitas atau profesor, lebih aman dan murah," kata Sutarsis.