Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Cadangan Devisa Hanya Cukup untuk Sebulan, Ini Kronologi Krisis di Sri Lanka
2 April 2022 16:17 WIB
·
waktu baca 4 menitADVERTISEMENT
Di Kolombo, ibu kota Sri Lanka , krisis ekonomi membawa petaka. Harga makanan pokok meroket, ujian nasional siswa dibatalkan sebab kertas habis, dan listrik dipadamkan 13 jam setiap harinya.
ADVERTISEMENT
Obat-obatan pun mulai menipis. Negara kepulauan di Samudra Hindia tersebut merana tengah dilanda salah satu krisis ekonomi terburuk dalam sejarahnya.
Kamis (31/3/2022), kediaman Presiden Sri Lanka Gotabaya Rajapaksa di pinggir Kolombo dikepung massa. Pendemo membakar kendaraan kepolisian dan militer, yang dibalas dengan gas air mata dan meriam air. 53 orang ditangkap, dan Presiden Rajapaksa akhirnya mengumumkan status darurat nasional.
Bencana ekonomi ini disebabkan oleh cadangan devisa Sri Lanka yang telah turun 70 persen sejak dua tahun yang lalu. Kini, tetangga India tersebut hanya memiliki cukup uang untuk kebutuhan satu bulan saja. Bahkan,membayar bahan bakar untuk listrik seharga USD 52 juta per 37,000 ton diesel, pemerintah Sri Lanka angkat tangan.
ADVERTISEMENT
"Kami tidak mempunyai valas untuk membayar," ucap Ketua Komisi Utilitas Publik Sri Lanka Janaka Ratnayake kepada Reuters. "Ini adalah kenyataannya."
Krisis yang terjadi di Sri Lanka tentunya mengundang pertanyaan, kenapa sampai sebegitu parah.
Tentu, wabah COVID-19 memainkan peran yang sangat besar terkait sengsaranya ekonomi Sri Lanka. Tapi masalah finansial ini dimulai jauh sebelum adanya pandemi. Keuangan negara eksportir teh itu mulai merapuh bahkan sebelum lockdown.
Ternyata apa yang terjadi di Sri Lanka bermula pada 2019, berikut rangkumannya yang dikutip kumparan dari berbagai sumber:
Bom Hari Paskah (April 2019)
Pada Hari Paskah, 21 April 2019, tiga gereja dan tiga hotel mewah di Kolombo menjadi sasaran bom bunuh diri sebuah kelompok teroris Islam. Kemudian pada hari yang sama, ledakan-ledakan kecil juga terjadi pada kompleks perumahan di Dermatoga dan sebuah wisma di Dehiwala.
ADVERTISEMENT
Serangkai pengeboman ini menelan sedikitnya 250 jiwa, serta diperkirakan 500 korban luka.
Tragedi nasional tersebut juga menjadi pemicu turunnya industri pariwisata di Sri Lanka. Padahal, Sri Lanka merupakan negara yang sangat bergantung pariwisata. Investasi asing berkurang, dan banyak warga kehilangan pekerjaan.
Dilansir The Diplomat, jumlah turis berkurang lebih dari 70 persen akibat kejadian ini.
"Sri Lanka sedang mengalami krisis ekonomi yang parah saat ini, dan itu terwujud di tingkat individu dan nasional," ujar Mantan Wakil Gubernur Bank Sentral W.A. Wijewardena (31/7/2019).
"Ledakan ini menyebabkan kemunduran kepada ekonomi yang sudah sakit."
Potongan Pajak (Desember 2019)
Di tahun 2019, setelah kemenangannya pada pemilu presiden, Rajapaksa mengumumkan bahwa dirinya akan melaksanakan pemotongan pajak dan reformasi besar-besaran. Kabinet Sri Lanka memutuskan untuk memotong pajak tambahan nilai, dari 15 persen ke 8 persen.
ADVERTISEMENT
Keputusan ini dilakukan untuk membangun kembali ekonomi Sri Lanka yang jatuh akibat aksi teroris pada Paskah silam. Tujuh pajak lainnya, termasuk pajak pembangunan yang sebesar 2%, turut dihapus. Bersamaan, semua lembaga keagamaan dibebaskan pajak.
Pemotongan pajak besar-besaran ini menyebabkan hilangnya miliaran Rupee dalam pendapatan pajak, dan memberatkan keuangan publik yang telah dilanda utang.
"Presiden tahu pendapatan akan hilang, tetapi dia menganggap kehilangan itu sebagai investasi untuk negara," kata Sekretaris Presiden PB Jayasundera di Kolombo Development Forum tahun lalu (4/4/2021), dikutip Economy Next.
"Oleh karena itu, pajak kuno yang sudah ketinggalan zaman telah ditinggalkan. PPN tarif tunggal telah diperkenalkan."
Pandemi Covid-19 (2020-... )
Rencana Rajapaksa untuk membangun ekonomi dengan merelakan pendapatan pajak menjadi bumerang saat wabah COVID-19 mengintai negaranya. Pandemi menjadi pukulan besar bagi sektor pariwisata, yang merupakan 12% dari total output ekonomi nasional.
ADVERTISEMENT
"Pengurangan pajak memperburuk krisis yang tak terhindarkan ini secara signifikan," ucap Ekonom Frontier Research Kolombo Chayu Damsinghe pada media DW hari Senin (28/3/2022)
Selain pariwisata, banyak masyarakat Sri Lanka yang kehilangan pekerjaan mereka. Menurut data World Bank, proporsi orang miskin di Sri Lanka (pendapatan Rp. 45.988 per hari) meningkat dari 9.2 persen di tahun 2019 menjadi 11.7 persen di 2020.
Pemerintah setempat juga telah menyatakan 5 juta keluarga sebagai pemegang status "keuangan rapuh dan berpenghasilan rendah". Sebagai bantuan, rumah-rumah tangga ini diberikan Rs. 5.000 (Rp. 241.443) selama lockdown.
Utang Sri Lanka, yang sebenarnya sudah parah sebelum pandemi, diperkirakan meningkat dari 94% PDB di tahun 2019 menjadi 119% pada 2021.
ADVERTISEMENT
Perang Rusia-Ukraina (2022- )
Keuangan Sri Lanka yang memang telah dalam kondisi sangat rapuh akhirnya hancur seketika karena konflik terjadi di Ukraina. Dilansir dari Straits Times, melonjaknya biaya impor minyak menjadi faktor terbaru yang berkontribusi kepada inflasi di Sri Lanka. Tingkat inflasi yang mencapai 15 persen ini menjadi tingkatan terburuk di Asia.
Tak hanya harga pasokan yang naik gila-gilaan, sekitar 30 persen populasi turis di Sri Lanka berasal dari Rusia, Ukraina, Polandia, dan Belarusia. Konflik yang dimulai Vladimir Putin ini mengancam akan mematikan aliran dana tersebut.
Saat ini, Sri Lanka yang sedang dalam keadaan darurat nasional bergantung kepada dana bantuan dan pinjaman dari luar. Bagaimana mereka akan membayar utang yang menumpuk tersebut masih menjadi misteri. Yang jelas, masyarakat Sri Lanka sedang merana akibat pengaturan finansial yang bobrok bertahun-tahun.
ADVERTISEMENT