Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Lima tiang pancang berdiri tegak di wilayah Walini, Cikalong Wetan, Bandung Barat . Tingginya kurang dari 10 meter. Sekitar 100 meter dari area konstruksi, ada 15 backhoe terparkir, namun hanya satu yang beroperasi. Masih di sekitar area itu, tampak sceleton scope di kedua sisi sebuah terowongan. Ini adalah lokasi proyek kereta cepat Jakarta–Bandung.
Calon rel kereta cepat membelah kawasan Walini tepat di mulut terowongan yang sudah rampung. Di kanan-kirinya terlihat rangka tiang dan pondasi yang bakal menjadi stasiun perhentian kereta cepat Walini—seharusnya.
Nyatanya, rangka tiang dan pondasi itu belum dicor. Walini—yang berjarak sekitar 500 meter dari mulut terowongan—batal menjadi stasiun kereta cepat. Hujan bulan November, membuat lubang-lubang tergenang, dan pekerja pun beralih fokus menggali drainase.
“Fokus kami sekarang pertama bikin saluran air karena ini elemen penting dari konstruksi. Yang kedua, agar air mengalir dan tidak menggenangi area proyek,” ujar Kresna, salah seorang pekerja di lokasi proyek, Rabu (17/11). Ia meminta nama aslinya tak disebut.
Para pekerja juga tampak memperbaiki sistem drainase di lokasi proyek. “Kalau tidak begitu, nanti banjir, kena warga,” kata Budi, salah satu rekan Kresna.
Walini semula dirancang untuk menjadi transit-oriented development (TOD) atau kawasan berorientasi transit Kereta Cepat Jakarta–Bandung. Namun, belakangan diputuskan bahwa Walini belum akan menjadi TOD atau stasiun. Terjadi perubahan stasiun perhentian kereta cepat dari Halim-Karawang-Walini-Tegalluar menjadi Halim-Karawang-Padalarang-Tegalluar.
Perubahan ini sudah didengar Budi sejak setahun lalu. Ini pula yang membuat beberapa pekerja bingung, sebab desain pembangunan proyek yang mereka kerjakan adalah TOD dan stasiun namun kemudian berubah.
Sebagian besar material yang ada di Walini adalah untuk pembangunan stasiun. Saat ini, para pekerja sibuk menjaga agar air hujan tidak merusak material yang masih ada di sana.
Salah satu pekerja bercerita, lahan khusus tengah disiapkan di Walini untuk menyimpan besi dan material agar tak rusak. Pengerjaannya masih tahap awal. Lokasi penyimpanan material itu berjarak 200 meter dari bekas calon stasiun Walini.
Sementara itu, di sisi utara, terowongan telah terbangun sempurna. Sekitar 400 meter bantalan rel kereta telah terpasang di mulut terowongan itu. Dan pada jarak satu kilometer antar-tunnel, pengerukan tanah masih berlangsung.
Hal serupa ditemui di mulut tunnel bagian selatan. Beberapa kendaraan berat seperti stoom masih bergerak meratakan material timbunan untuk bantalan rel kereta. Beberapa pekerja mengatakan, proyek agak melambat karena penundaan pembangunan stasiun dan TOD.
Area proyek tersebut paling cepat dicapai melalui pintu keluar gerbang tol Cikamuning yang berjarak 13 kilometer dari Walini. Kawasan itu hanya bisa dicapai melalui Jalan Bojong Mekar yang berada 2–3 kilometer dari Jalan Raya Purwakarta. Sementara perkampungan terdekat berjarak sekitar 4 kilometer dari lokasi proyek.
Pada desain awal proyek kereta cepat Jakarta–Bandung, empat calon stasiun Halim-Karawang-Walini-Tegalluar akan menjadi kawasan TOD. Dikutip dari keterbukaan informasi PT Wijaya Karya (WIKA) tahun 2016 yang saat itu menjadi leading konsorsium BUMN proyek kereta cepat, empat wilayah tersebut akan dikembangkan menjadi area bisnis dan komersial, apartemen, tempat tinggal, hotel murah, fasilitas parkir, dan lain-lain.
Pembangunan area bisnis di empat lokasi itu meliputi lahan seluas 663 hektar, terdiri dari 11.660 kamar hotel, 14.520 apartemen, 5.893.920 meter persegi fasilitas komersial, dan 5.536.200 meter persegi fasilitas kantor. Modalnya untuk dua tahun pertama sebesar Rp 3 triliun.
Khusus Walini, area ini diharapkan menjadi sentra ekonomi dan kawasan hunian baru yang akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi regional di koridor Jakarta–Bandung. Tak pelak, sejumlah spekulan tanah di Cikalong, Bandung Barat, mulai menjual lahan mereka dengan harga fantastis.
Maret 2020, tanah kavling di Walini dihargai sekitar Rp 1,5 juta rupiah per meter untuk skema bertahap atau Rp 1,2 juta rupiah per meter untuk skema tunai keras. Namun setahun kemudian setelah Walini batal menjadi stasiun, harga tanah turun drastis menjadi Rp 350 ribu per meter.
“Ada yang jual 1.400 meter persegi dengan harga Rp 350 ribu per meter. (Lahannya) di sepanjang jalur (proyek kereta),” kata Asep, warga setempat, kepada kumparan.
kumparan melihat harga tanah di Cikalong melalui aplikasi online marketplace OLX. Harga tanah rata-rata masih Rp 1–1,5 juta per meter. Sebagian besar iklan masih menyebut bahwa lokasi tanah di sana dekat dengan calon stasiun kereta cepat Jakarta-Bandung.
Terlepas dari soal harga tanah yang terdampak, apa sesungguhnya yang membuat Stasiun Walini tak jadi dibangun?
Direktur Utama PT KCIC Dwiyana Slamet Riyadi menegaskan, pembangunan TOD dan stasiun di Walini bukan dibatalkan, tapi ditunda. Menurutnya, di empat stasiun yang dilewati kereta cepat Jakarta-Bandung, pembangunan TOD memang ditunda karena pembengkakan biaya (cost overrun). Sementara itu, stasiun dipindah dari Walini ke Padalarang karena faktor komersial dan finansial.
Semula, berdasarkan desain awal kereta cepat Jakarta–Bandung yang mencakup 4 stasiun Halim-Karawang-Walini-Tegalluar, penumpang yang hendak ke Bandung bakal turun di Tegalluar kemudian menyambung dengan kereta reguler sampai Kota Bandung.
Namun, ketika pemerintah melakukan akselerasi dengan menghitung serta mengkaji ulang proyek, ternyata biaya untuk menghubungkan Stasiun Tegalluar dengan stasiun lain yang akan mengangkut penumpang kereta cepat ke Kota Bandung terhitung besar. Padahal KCIC diminta berhemat karena adanya potensi pembengkakan biaya senilai USD 1,6–2 miliar atau Rp 27 triliun.
Sehingga, jika KCIC memaksakan Stasiun Tegalluar menjadi stasiun yang menghubungkan dengan stasiun kereta biasa, tambahan cost overrun akan besar pula. Awal 2021, ditemukan solusi dengan memunculkan Stasiun Padalarang. Biaya pembangunan untuk menghubungkan kereta cepat dari Stasiun Padalarang ke jalur atau stasiun kereta existing menuju kota Bandung tidak sebesar dengan Tegalluar.
"Masalahnya, Stasiun Padalarang harus dibangun, perlu dana juga," kata kata Dwiyana atau yang akrab disapa Edo pada kumparan di kantor PT KAI , Juanda, Rabu (17/11).
KCIC putar otak. Untuk menekan cost overrun, KCIC akhirnya menunda sementara pembangunan stasiun di Walini. Sehingga penempatan stasiun berubah menjadi: Halim-Karawang-Padalarang-Tegalluar. Walini kini harus menunggu.
"Jadi bukan disetop, bukan di-delete, tapi di-postpone untuk nanti dikembangkan dalam tahap berikutnya," jelas Edo.
"Kita putuskan memang akhirnya Walini yang kita postpone karena memang dari aspek komersial dan aspek teknis operasional. Ini juga arahan dari kementerian terkait," lanjut dia.
Sehingga, biaya yang seharusnya membangun Walini dialihkan untuk membangun Stasiun Padalarang. Termasuk, biaya untuk membangun akses ke kereta existing dari Walini dialihkan ke Padalarang. "Intinya, bagaimana kita bisa menekan cost overrun tapi demand forecast tidak berpengaruh atau berkurang," kata dia.
Jadi, akses kereta existing juga dipindahkan dari Tegalluar. Penumpang yang hendak ke Kota Bandung akan turun di Stasiun Padalarang. Padalarang akan menjadi stasiun hub yang menghubungkan dengan kereta existing.
"Kita butuh akses ke pusat kota. Kalau kita paksakan trasenya ke Bandung, bisa cost overrun tambah gede lagi karena pengadaan lahannya besar," jelas dia.
Menunda pembangunan stasiun Walini bisa menghemat anggaran sebesar 60 juta USD, ini hanya stasiun, belum dihitung dengan penundaan TOD.
Terkait alasan komersial, Edo menjelaskan bahwa berdasarkan perhitungan demand forecast, pertumbuhan penumpang lebih tinggi di Padalarang dan Tegalluar dibandingkan di Walini yang merupakan lahan milik PTPN VIII ini. "Kita juga butuh interkonektivitas dengan layanan KAI existing yang tentu saja lebih murah," kata Edo.
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Septian Hario Seto menilai perencanaan awal penentuan stasiun termasuk Walini kurang pas. "Oversimplify, soal analisis, TOD tidak detail. Walini harusnya tidak dibangun stasiun, kita bisa menghemat," kata Seto pada kumparan.
Edo juga menegaskan pembangunan TOD untuk 4 stasiun pemberhentian tidak akan dilakukan saat ini karena pengadaan lahan makin mahal. "Butuh biaya besar," kata Edo.
KCIC membantah Walini tak jadi stasiun karena struktur tanah yang lunak. Menurut dia, sudah ada analisa teknis yang menyebut Walini layak. Tapi, memang dibutuhkan treatment khusus. Dari 13 tunnel kereta cepat Jakarta-Bandung, Edo mengatakan KCIC sudah merampungkan 10 tunnel.
"Tinggal 3, ini (Walini) memang paling sulit, karena tanah liat. Tunnel 2 itu di Purwakarta, tunnel 6 ini panjangnya 4,4 km, mungkin tunnel terpanjang di Indonesia. Jadi memang karena tanah liat bergerak," kata dia.
Salah satu lembaga yang diminta membuat kajian soal kereta cepat, Pusat Pengujian, Pengukuran, Pelatihan, Observasi, dan Layanan Rekayasa Universitas Indonesia (POLAR UI) mengatakan, di rancangan awal Walini didesain menjadi sebuah kota. Sehingga investasi yang dibutuhkan besar.
"Kita saja sudah ngomong cost overrun berapa miliar dolar, bangun kota lagi, siapa yang mau nutupin?," kata Wakil Ketua POLAR UI Andyka Kusuma pada kumparan.
Selain itu, menurut kajian POLAR UI, dari segi permintaan, bakal lebih besar jika stasiun berada di Padalarang daripada di Walini. Gampangnya, tak perlu membangun banyak di Padalarang untuk dapat banyak penumpang seperti di Walini.
Andyka menyoroti perencanaan dari awal yang tidak rigid. "Ternyata tidak semudah itu, siapa yang mau bangun? Supaya ada integrasi, ada supporting system yang sudah siap. Ada KRD Padalarang-Bandung via Cimahi," jelas dia.
Pembangunan di Padalarang cenderung lebih maju daripada Walini. Lokasi pembangunan Stasiun Padalarang berada tepat di samping jalan raya. Kendaraan proyek dengan mudah lalu lalang ke lokasi proyek.
Pantauan kumparan, tunnel di Padalarang dengan area stasiun Padalarang, landasan untuk bantalan rel kereta sudah selesai dibangun. Jarak dari stasiun ke tunnel sekitar 800 hingga 1 kilometer. Stasiun berada dekat dengan pemukiman penduduk, sekira 20 meter dari bakal stasiun sudah pemukiman penduduk.
Sejumlah pekerja di Stasiun Padalarang tampak tengah meratakan material di bagian yang paling atas. Landasan ini dibangun dengan timbunan setinggi 8 meter. Timbunan itu terdiri dari bahan material seperti grid gravel, dan geo grid. Dua material ini saling melapisi, sebelum ditutup dengan material GCS.
Sejauh ini, kendala pembangunan di Padalarang adalah hujan yang turun setiap hari. Bisa dibayangkan, bahwa para pekerja harus menunggu lapisan tanah kering dulu baru mereka bisa beraktivitas.
Namun, jika hujan kembali turun pada siang dan malam, maka pekerjaan pun akan kembali tertunda.
Jika sudah rampung, penumpang kereta cepat bakal turun di Padalarang, kemudian melanjutkan perjalanan ke Kota Bandung dengan Kereta Rel Diesel (KRD) yang sudah ada saat ini.
KCIC membuat asumsi, perjalanan Halim-Padalarang ditempuh dalam waktu kira-kira 30 menit. Kemudian, estimasi Padalarang-Bandung adalah 18 menit. Kereta feeder dijadwalkan jalan tiap 20 menit pada jam sibuk dan tiap 30 menit di luar jam sibuk.
Namun, Pengamat Kebijakan Publik, Agus Pambagio ragu metode pindah kereta ini bakal cocok dengan masyarakat Indonesia. Inilah yang membuat Agus ragu kereta cepat Jakarta-Bandung bakal menarik banyak peminat, selain harganya yang terbilang mahal.
“Coba bayangkan, bawa satu anak dan nenteng kardus indomie. Terus turun kereta dan bawa 1 anak lagi terus harus naik kereta lagi. Terus nunggu lagi, kan tidak mungkin. Maka orang mending naik Argo Parahyangan atau bawa mobillah,” kata Agus.
KCIC yakin penumpang tidak akan keberatan karena harus berganti moda di Padalarang untuk mencapai kota Bandung. Selain itu, POLAR UI menilai seamless adalah konsep transportasi modern dan masyarakat pasti akan terbiasa dengan berpindah moda.
"Jadi ini berada di dalam satu bangunan, cuma pindah sepur saja. Dari kereta cepat lalu turun di stasiun, lalu nyambung. Tidak turun ke jalan, naik lagi ke atas," kata Andyka.
Ekonom INDEF Faisal Basri mengkritisi perencanaan kereta cepat yang tidak benar sejak awal. Termasuk penentuan stasiun serta rencana bahwa seluruh stasiun akan dibangun menjadi TOD.
"Ini silly, desain awal, semua TOD terus sekarang semua tidak TOD. Desain awal sudah enggak benar, minta Walini. Nah, enggak benarnya dibayar dengan APBN," kata dia.
"Pemerintah hitung-hitungannya enggak benar dari awal, konsorsium enggak benar," tutup dia.
Apa yang sebetulnya terjadi pada proyek kereta cepat?