Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Carina Joe, Ilmuwan Indonesia di Balik Vaksin AstraZeneca
12 Februari 2022 15:06 WIB
·
waktu baca 8 menitAda perempuan Indonesia di balik penemuan vaksin AstraZeneca . Ia adalah Carina Citra Dewi Joe, Senior Scientist di Jenner Institute, Oxford University. Vaksin COVID-19 temuannya itu kini sudah diproduksi sebanyak 3 miliar dosis pada akhir tahun lalu.
Selama 17 tahun Carina memang sudah malang melintang di dunia riset luar negeri. Tapi jauh sebelum itu, ia sebetulnya sempat mengikuti sekolah Commercial Cookery di Melbourne, Australia , lantaran ingin berkarier sebagai seorang professional chef.
Namun belum sampai menjajal dunia koki profesional, Carina langsung mengambil keputusan untuk banting setir dan memilih jalannya kembali menjadi seorang scientist. Gelar S1 Carina ia peroleh di University of Hongkong ilmu Biotechnology. Kemudian, ia melanjutkan gelar master dan Ph.D dengan ilmu yang sama di Royal Melbourne Institute of Technology (RMIT).
"Saya senang sebenarnya bekerja di restoran atau tempat makan, tapi itu bukan passion saya. Ternyata passion saya ada di science, biotechnology. Saya mau pekerjaan yang saat ini saya lakukan bisa membawa perubahan. Jadi, bukan masalah pekerjaan bidang chef atau apa," kata Carina Joe saat berbincang dengan kumparan secara virtual melaui Microsoft Team, Selasa (8/2).
Sejak masih berada di bangku perkuliahan master-nya, Carina Joe sudah bekerja sebagai seorang internship di salah satu lembaga penelitian industri terbesar dan tertua di Australia, yaitu Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisastion (CSIRO).
Awal Perjalanan Carina di Dunia Riset
Keyakinan Carina untuk menjadi seorang ilmuwan begitu kuat. Saat masih berjuang memperoleh gelar master di RMIT, misalnya, Carina mendapatkan nasihat dari supervisor-nya untuk melanjutkan gelar S3 dalam bidang biotechnology.
Tak tanggung-tanggung, ia ditawari sponsor oleh supervisor-nya untuk melanjutkan S3. Tanpa berpikir panjang, ia pun langsung mengiyakan tawaran tersebut.
"Saya pikir ya mungkin setelah S3 kerja di perusahaan itu aja, tapi pimpinannya bilang, kayaknya kamu selesai S3 dan udah 7 tahun di sini, sudah kamu pelajari semua. Dia memberikan saran, 'keluarlah kamu sebagai post-doctoral scientist'. Jadi, setelah scientist S3, ada yang namanya post-doctoral research scientist. Waktu itu, saya disuruh keluar ke benua lain, biar di benua lain saya bisa lihat teknologi seperti apa yang mereka punya. Maksudnya belajar dari sisi yang lain, bukan di satu tempat saja," kata Carina.
Akhirnya, Carina memutuskan untuk mendaftar post-doctoral scientist di Oxford University dengan bidang large scale manufacturing. Bidang ini sama seperti yang pernah ia geluti saat bekerja sebagai scientist di CSIRO.
Menemukan Vaksin AstraZeneca
Setelah masuk ke proses wawancara kedua, Carina mendapat kabar dari Oxford bahwa dirinya merupakan kandidat terbaik. Mereka pun meminta Carina untuk bisa langsung saja datang ke Jenner Institute, Oxford University.
Awal mulai berkarir menjadi seorang post-doctoral scientist, Carina bekerja untuk penanganan proyek vaksin rabies, MERS, dan meningitis.
Namun baru 2 hingga 3 bulan bekerja, pandemi pun datang. Praktis, pimpinan memutuskan untuk mengganti fokus dan mulai memformulasikan vaksin COVID-19. Status dari proyek vaksin COVID-19 yang dikerjakan oleh Carina pun masuk dalam keadaan darurat. Carina harus memproduksi dengan jumlah yang banyak hanya untuk uji klinis.
"Dari vaksin rabies, kita perlu vaksin COVID-19 dalam jumlah yang banyak untuk uji klinis dan untuk komersial keadaan darurat. Expertise-nya waktu itu cuma saya. Di satu universitas dan satu Jenner Institute ini, pas pandemi juga tidak bisa rekrut orang. Satu-satunya yang harus kerjakan proyek itu ya saya. Jadi, supervisor bilang ‘bisa gak mengganti fokus dari pasien rabies, ke vaksin covid? karena vektornya sama, pakainya viral vektor'," kata Carina menceritakan suasana saat itu.
Tekanan yang didapatkan Carina untuk bisa menemukan formulasi memperbesar skala vaksin COVID-19 sangatlah besar. Tidak hanya itu, Carina juga harus bekerja seorang diri dalam laboratorium, lantaran tak memungkinkan untuk rekrut orang baru di tengah kondisi yang berisiko.
Di sana Carina memiliki tim inti yang berisi 3 orang. Satu bertanggung jawab untuk funding dan meeting di luar, satu lagi bertanggung jawab sebagai project manager yang mengurus administrasi dokumen-dokumen. Sementara Carina, bertanggung jawab penuh mengurus hal-hal yang berhubungan dengan lab.
Awalnya Carina memang harus seorang diri mengerjakan semuanya dalam lab, tetapi akhirnya ada beberapa orang yang membantunya selama proses penelitian berlangsung. Meski begitu, semua proses tetap harus ditangani oleh Carina, ia memberikan instruksi kepada rekan kerjanya dan apa saja yang perlu dilakukan.
"Jadi virus viral vector ini diproduksi dalam sel. Sedikit demi sedikit saya harus tahu apa yang dibutuhkan sel ini untuk bisa membuat vaksin dengan lebih maksimum. Jadi kita memberikan nutrient yang tepat yang digunakan oleh sel ini. Banyaklah zat-zat yang harus di-optimisasi, kadarnya seberapa banyak, zat apa yang dibutuhkan, seberapa banyak yang dibutuhkan," kata Carina.
Carina harus bekerja dengan tenggat waktu super singkat. Hal ini membuatnya harus rela bekerja 7 hari dalam 1 minggu dengan waktu 18 jam sehari. Ia tidak boleh melakukan kesalahan sedikit pun, karena waktu uji klinis yang sudah ditetapkan dan tidak bisa diundur.
Bahkan, Carina Joe sempat berpikir pengembangan vaksin ini akan terasa mustahil, lantaran ia harus bekerja sendiri dengan tugas yang sangat banyak.
"Jadi ada tekanan yang besar, karena uji klinisnya sudah ditetapkan dan gak bisa diundur lagi. Jadi saya tidak bisa melakukan kesalahan sedikitpun. Setiap eksperimen itu jadwalnya sangat mepet. Eksperimen ini harus berhasil, untuk bisa melanjutkan eksperimen yang setelahnya," jelas Carina Joe.
Dari kerja kerasnya tersebut, ia hanya membutuhkan satu bulan untuk menyelesaikan formula vaksin covid, dengan total kira-kira 1,5 tahun sampai ia berhasil memformulasikan vaksin AstraZeneca agar bisa beredar di seluruh dunia.
Keraguan Masyarakat terhadap Vaksin AstraZeneca
Setelah vaksin AstraZeneca berhasil diformulasikan oleh Carina, keberadaan vaksin ini sempat ramai di tengah masyarakat Indonesia . Mulai dari keraguan terhadap vaksin, lantaran harganya yang murah hingga isu keamanan.
Carina pun ikut angkat bicara soal isu yang beredar ini. Ia mengaku, alasan di balik AstraZeneca bisa menerapkan harga yang murah karena vaksin tersebut tidak mengambil profit.
"Saat Oxford bekerja sama dengan AstraZeneca, mereka membuat satu close brief di perjanjiannya. Kalau selama pandemi, untuk pendistribusian vaksin ini tidak mengambil profit. Jadi yang dijual hanya harga pokok vaksinnya saja dan ongkos untuk didistribusi, storage, penyimpanan, dan gak mengambil profit selama pandemi. Jadi yang gak diambil margin profitnya, hanya breakeven saja. Semua cost yang dikeluarkan dari perusahaannya itu dikenakan dalam vaksin. Tetapi, mereka tidak mengambil keuntungan," jelas Carina.
Sementara itu, Carina mengaku dapat memahami soal keraguan vaksin di tengah masyarakat. Selama ini vaksin COVID-19 memang dituding tak aman lantaran dikembangkan dalam waktu singkat, tidak seperti vaksin-vaksin lain yang butuh waktu 10 sampai 20 tahun.
"Tapi kita tidak mengambil shortcut atau jalan pintas. Yang dilakukan adalah kita salurkan semua tenaga funding, distribusi, research, resource yang ada ke dalam satu proyek ini. Karena darurat, semua prosedur kita lakukan, tapi dengan cara paralel," jelas Carina.
Oleh sebab itu, Carina menegaskan bahwa semua vaksin yang disetujui oleh WHO dan sudah diedarkan di masyarakat merupakan vaksin yang aman. Menurutnya, tidak mungkin WHO akan menyetujui vaksin AstraZeneca beredar apabila dinilai tidak aman. Bagi Carina, penting untuk mencari informasi yang benar, baik dari situs Pemerintah, Badan Kesehatan, maupun Dokter spesialis vaksin.
Catatan bagi Ekosistem Riset di Indonesia
Menurut Carina, ekosistem riset di Indonesia masih perlu dibenahi. Apalagi, kata dia, menjadi seorang ilmuwan di Tanah Air belum menjadi profesi yang jelas dan diperhitungkan.
Masalah lain adalah birokrasi di Indonesia yang menurutnya perlu dibenahi. Jadi supaya segala eksperimen atau proyek yang dilakukan bisa berjalan lebih cepat dan mampu berkompetisi dengan riset-riset di luar negeri.
"Kalau dibandingkan dengan Indonesia, ya, masih perlu dibentuk ekosistemnya supaya bisa terbentuk ekosistem researcher sendiri sebagai scientist. Mereka bisa melihat, kalau scientist adalah profesi yang bisa mereka pilih untuk menjadi karier mereka. Kalau di sini (Inggris) kan sudah establish. Kalau kerja seperti ini profesinya seperti ini dan jalurnya seperti ini. Jadi jelas antara industri, antara akademia, mungkin antara keduanya," jelas Carina.
"Saya enggak menutup kemungkinan untuk kembali ke Indonesia, tapi harus jelas dulu apa yang harus saya lakukan di Indonesia. Proyeknya seperti apa, apakah bermanfaat, apakah ada gunanya dan bekerja untuk siapa. Itu yang harus jelas, kalau ada gunanya dan proyek-proyeknya bagus, saya akan consider," jelas Carina Joe.