Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Cerita Kehidupan Perajin Kapal Kayu di Utara Jakarta
9 Februari 2017 10:23 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
ADVERTISEMENT
Sebuah perahu sopek usang samar-samar terlihat terdampar dari kejauhan, kayunya lapuk, lambungnya bolong di mana-mana. Keadaannya memprihatinkan seperti ditinggalkan pergi begitu lama oleh sang empunya kapal.
ADVERTISEMENT
Keadaan ini memang sering terlihat di beberapa tempat pembuatan kapal tradisional. Tumpukan kayu tua, tergeletak begitu saja di pinggir pantai bersama sampah dan limbah. Mereka ditinggalkan lantaran tak mampu lagi dibawa ke laut oleh pemiliknya. Para nelayan biasanya menjual kayunya yang masih layak pakai untuk menambal kapal lain yang datang kepada perajin kapal.
Langit Ibukota ditemani teriknya matahari senja Rabu (8/2) sore. Tak disangka cahaya terang itu perlahan terbungkus awan hitam nan pekat, tanda rerintik hujan sebentar lagi turun. Di dalam sopek tua itu nampaknya ada Heri (32) yang sedang giat mengetok palu dan gergaji mesinnya dengan semangat. Rupanya Heri sedang memperbaiki sopek rekannya yang sudah tua.
Di sini semua kapal bisa dibuat secara tradisional dan sederhana. Mulai dari yang kecil seperti sampan dayung, sopek, perahu but tempel, hingga yang besar ala pinisi kecil dan perahu 'johnson' seperti acara mancing mania sanggup Heri buat dengan kurun waktu dua bulan penuh, tergantung pesanan sang 'bos'.
ADVERTISEMENT
Jangan harapkan suasana pembangunan kapal seperti di galangan modern dengan berbagai bentuk lempengan besi dan ahli kapal yang biasa ditemui. Pengedokan di Cilincing, Jakarta Utara ini terlihat sangat kecil, hanya seluas sekitar 3/4 lapangan futsal. Itupun harus berbagi dengan derasnya ombak dari lepas pantai.
Sopek itu kemudian berdiri di atas gundukan pasir yang meninggi akibat limbah, pasir dan sampah cangkang kerang yang dibawa air laut ke bibir pantai.
Heri tak memiliki kecakapan khusus. Berbekal pengetahuan turun temurun dari orang tuanya inilah yang dia bawa dari tempat kelahirannya Indramayu hingga kini. Prinsipnya hanya satu: keyakinan yang kuat untuk membangun kapal besar. Inilah yang membuat rekan-rekan sesama nelayannya percaya dapat mengais kejayaannya di laut lepas.
ADVERTISEMENT
"Kalau enggak yakin ya enggak bisa-bisa," ujar pria asal Indramayu ini.
Heri sudah sedari dulu terampil membuat perahu. Keahliannya ini sudah terlatih sejak dirinya menginjak bangku kelas 5 Sekolah Dasar. Keterbatasan keuangan keluarga Heri membuatnya putus sekolah dan memutuskan untuk membantu sang ayah membangun perahu.
Membuat perahu bisa dimulai dari pemilihan kayu. Heri menjelaskan, perahu-perahu terbaik biasanya terbuat dari kayu bengkirai, ulin, mada hirang yang berasal dari tanah Borneo. Selain kayu di atas, jati bisa jadi pilihan dominan para nelayan di sini. Semakin tua semakin bagus. Ongkos pembuatan kapal pun beragam, kayu dan lebar perahu yang jadi faktor utama penentu mahal tidaknya harga.
“Rp 20 juta saja masih kurang, belum cukup, paling mahal pernah saya buat Rp 300 juta belum sama mesin," lanjutnya.
ADVERTISEMENT
Kapal mulanya dibuat dari satu kayu besar dan panjang di bawah lambung kapal. Selanjutnya, 'gading' (tulang) dibangun, lalu 'pala' (ujung kepala depan dan belakang perahu) bisa dibentuk. Heri kemudian mengukur dan memasang 'golak' (kayu besar buritan) dan papan untuk lambung kapal itu sendiri, istilah umumnya berkembang di kalangan nelayan Indramayu. Tak heran istilah bisa berbeda-beda di satu daerah dengan daerah lain.
Dirinya kemudian bercerita, pernah punya sebuah galangan tradisional di Utara Cilincing. Luasnya tak seberapa 15x10 meter. Namun itu semua tiba-tiba hilang ketika permukiman semakin liar menggila berdiri hingga menyentuh bibir pantai. Galangan kecilnya terpaksa hilang.
"Enggak bisa buat perahu lagi, masa saya harus ngerubuhin rumah orang dulu. Haha," canda pria dua anak ini.
ADVERTISEMENT
Reklamasi jadi kekhawatirannya kini. setelah air limbah yang terus menggerus pantai dan mata pencaharian keduanya sebagai nelayan kini terancam hilang.
"Percuma lah kecewa, kita berdebat sama orang-orang kaya itu, pasti kita kalah, ujung-ujungnya ya kita juga yang ngalah," sesalnya.
Isu reklamasi teluk Jakarta memang sudah bergulir sejak beberapa tahun silam. Tamin salah satunya, merasa dirinya semakin sulit mencari ikan setelah reklamasi dan limbah industri menghantam ekosistem laut pesisir Pantai Jakarta.
"Pendapatan sekarang beda dengan dulu. Jelas, waktu itu 10-20 kilo tergantung ikan aja bisa dapet, sekarang cuma 5 kilo aja saya dapet. Orangnya juga rebutan, apalagi perusahaan besar. Kita nyari ikannya harus jauh dulu ke pulau-pulau," sesalnya.
Heri dan Tamin adalah dua dari ribuan nelayan dan perajin kapal yang menggantungkan hidup keluarganya dari laut. Keduanya kini hanya bisa pasrah dengan segala keterbatasan dan keadaan yang membuat kejayaannya di laut semakin hilang.
ADVERTISEMENT