Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Waktu hamil, ia bukannya didampingi suami mengontrol kehamilan ke dokter, malah disuruh mengaborsi janinnya oleh suaminya itu—yang juga ayah si bakal bayi.
Waktu hamil, Mirna kehabisan uang sampai menumpang makan ke rumah orang tuanya, sementara suaminya sibuk seharian dengan game online-nya. Waktu hamil, Mirna semalaman di rumah sendirian, sedangkan suaminya mabuk-mabukan di luar.
Mirna menerima kekerasan psikis dan fisik dari suaminya, namun masih mencoba bertahan. Begini kisah Mirna kepada kumparan:
Bagaimana awal suami kamu melakukan KDRT?
Dari pacaran. Awalnya cuma emosi dan berkata kasar. Tapi tahun kedua pacaran mulai main fisik, kadang karena masalah sepele. Pernah aku minta jemput dari kampus, dia bilang “Iya,” tapi pas aku sampe halte, dia enggak datang-datang. Aku telepon gak angkat-angkat. Pas datang, dia marah-marah, bilang “Aku kan lagi main game, lu bisa gak sih diem dulu?!”
Jadi waktu itu dia tetap jemput, tapi emosi di jalan. Itu mulai KDRT. Kami berantem hebat di rumah. Dia geregetan sama aku, terus cekik aku. Habis itu minta maaf. Karena persoalan jemput tadi.
Jadi kekerasan fisik sudah sejak pacaran dari zaman kuliah?
Iya, aku dicekik. Sebetulnya jarang main fisik, kebanyakan marah di mulut. Tapi sekalinya parah sampai nyekik.
Waktu pacaran empat tahun, aku merasa kayak aku yang salah terus. Karena dia selalu bilang “Gara-gara lu, gue kayak gini. Lu sih gak bisa diem. Coba lu diem. Lu tuh diem dulu kalau gue lagi marah.”
Aku baru sadar sekarang kalau selama ini ternyata dia yang salah.
Ada upaya untuk menyudahi hubungan?
Sebetulnya sempat putus sebelum menikah. Pas putus, aku dapat kabar dia stres. Aku nengok ke rumahnya. Di sana banyak botol minuman [alkohol]. Aku kasihan, terus balik sama dia lagi. Akhirnya menikah.
Sempat cerita atau konsultasi ke teman atau keluarga sebelum menikah?
Iya, ke teman-teman. Banyak yang kasih saran untuk pikir ulang, tapi [ujung-ujungnya bilang], “Ini kan hidup lu, pilihan lu. Terserah lu karena lu yang jalanin.”
Apakah waktu sudah menikah, dia jadi lebih agresif?
Kelihatan banget sifat aslinya, misal dia minum-minum (mabuk-mabukan). Aku enggak pernah tahu [kebiasaan itu] pas pacaran. Cuma tahu pas sempet putus, di rumahnya banyak botol minuman. Selain itu, setelah nikah, aku selalu ditinggal malam-malam. Dia nongkrong di luar dan baru pulang subuh. Hampir setiap hari begitu.
Terus kalau main game kalah, dia marah, omong kasar. Kalau mulai begitu, aku takut. Aku omong apa juga, dia bakal marah.
Pas pacaran kan pernah mencekik, nah waktu sudah menikah, KDRT-nya seperti apa?
[Sama,] nyekik kencang. Dia sempat kepal tangan [kayak mau nonjok]. Terus aku bilang, “Lu mau tonjok gue? Tonjok aja nih sekarang.”
Dia langsung diem, enggak sampai mukul. Terus minta maaf sedikit. Tapi kebanyakan aku yang minta maaf. Setelah itu dia bilang lagi, “Lagian lu sih kayak gitu.”
Jadi selalu nyalahin aku. Makanya aku pikir, “Oh iya, gue kali yang salah.”
Awalnya kupikir dia (suami) ada sisi baiknya, tapi setelah dipikir-pikir lebih banyak buruknya.
Ketika kamu mengalami kekerasan fisik maupun psikis, siapa yang pertama kali kamu hubungi untuk minta pertolongan?
Teman.
Jadi keluarga kamu enggak pernah tahu?
Awalnya iya. Orang tuaku tahunya dia (suami) baik karena aku enggak pernah omong jelek-jelek tentang dia. Cuma setelah menikah, menunjukkan sisi buruknya sendiri ke orang tua aku. Bukan aku yang duluan cerita.
Misalnya pas bulan puasa, keuanganku kan belum stabil. Jadi aku numpang sahur di rumah orang tua, sedangkan dia (suami) di rumah seharian dengan santainya cuma nge-game, duduk-duduk nunggu beduk. Kayak raja yang dilayani. Bukannya bantu-bantu apa, gitu.
Orang tua aku yang sudah anggap dia anak, lama-lama ngelihat kok kayak gitu terus di rumah, kayak raja, duduk-duduk doang nggak ngapa-ngapain. Ngobrol pun enggak. Main game aja.
Suami enggak kerja?
Enggak, cuma main game online, live streaming. Tapi live streaming-nya belum ada penghasilan. Streaming awalnya dari hape doang, terus beli kamera meja pas mau nikah, utang pinjol.
Suami enggak punya penghasilan?
Dia sebenarnya punya kontrakan [dari orang tuanya] di Jakarta. Rumah yang kami tinggali itu punya orang tuanya. Jadi ada beberapa rumah kontrakan. Cuma orang tuanya udah nggak percaya sama dia, jadi nggak pernah kasih uang hasil kontrakan ke dia.
Jadi suami enggak ada pekerjaan?
Pernah kuajak jualan karena butuh uang. Aku paksa dia jualan donat di depan rumah. Awalnya dia nggak mau, tapi sempat mau karena kami kan butuh uang. Apalagi aku waktu itu lagi hamil.
Suami nggak pernah inisiatif cari duit selain berharap pada live streaming game-nya?
Iya.
Nah, untuk biaya kontrol kehamilan kamu ke dokter, uangnya dari mana?
Teman. Jadi, dia (suami) kayaknya memang nggak mau ada anak ini. Dari awal aku disuruh [aborsi]. Tapi aduh, aku kalau soal anak kayaknya nggak bisa [aborsi] begitu.
Mirna menangis dan percakapan dihentikan sementara.
Setelah sekian lama mencoba bertahan, titik balik apa yang membuat kamu akhirnya memutuskan berpisah?
Karena dia menyakiti anak aku. Kalau enggak, mungkin aku masih bertahan, karena dari zaman pacaran pun aku selalu mencoba bertahan sama dia.
Menyakiti bagaimana?
Waktu itu aku lagi gendong anak aku yang tidur. Usianya dua bulan.
Kami (Mirna dan suaminya) bertengkar karena dia pulang subuh sehabis nongkrong dan minum [alhokol]. Aku bilang, “Ya sudah, pulangin aja gue ke orang tua kalau memang kamu kayak gini terus.”
Terus dia kesel dan usir aku. Aku didorong sampai mepet tembok. Aku lagi gendong anak. Jadi aku jagain anakku pas didorong. Aku peluk anakku. Karena didorong, badan anakku juga jadi merah-merah.
Lalu aku jambak dia (suami) sampai jatuh, karena aku kesel didorong. Barang-barangku juga dibuang [keluar rumah]. Aku didorong, aku jenggut [rambutnya], dia bales jenggut.
Saat itu suami mabuk?
Dia bilangnya, kalau nggak sempoyongan ya nggak mabuk. Itu menurut dia. Cuman kan aku nggak bego, ya. Bau minuman [alkohol]nya kan ada. Terus aku juga konfirmasi ke temannya [yang juga tetangga kami].
Jadi saat kamu dan anakmu didorong, kamu mulai berani terbuka soal KDRT itu?
Iya, kasih tahu keluarga.
Bagaimana respons keluarga setelah tahu hal itu?
Sedih, nggak nyangka, cuma enggak bisa ngapa-ngapain. Orang tuaku mungkin kasihan sama aku. Kan mereka nggak tau aku sering kena KDRT, bahkan disuruh aborsi . Baru setelah berpisah [dengan suami], aku cerita.
Sebetulnya dari pas pacaran, tetangga aku sudah sering liat aku didorong. Akhirnya aku berusaha cerita semua ke ortu.
Keluarga dan teman saranin aku fokus sama anak, enggak usah mikir dia (suami) lagi.
Adik aku malah berantem sama dia karena aku disuruh bayar Rp 14 atau 15 juta buat ambil barang-barang aku yang masih di kontrakan. Aku dilarang ambil barang-barang itu. Ada kasur, kompor, dan lain-lain.
Sempat lapor Komnas Perempuan?
Iya, aku browsing, terus chat [Komnas Perempuan], dan disuruh isi data lewat WhatsApp. Aku tanya bagaimana prosesnya. Mereka respons, menyarankan aku pisah dulu, lalu enam bulan lagi balik [konsul].
Kamu sudah pisah berapa lama dengan suami?
Sekitar 7–8 bulan. Mulai 28 Oktober 2023, waktu aku pergi dari kontrakan.
Sekarang kamu sedang mengurus perceraian?
Mulai tanya-tanya. Kemarin aku ke Pengadilan Agama. Aku tanya, aku harus apa setelah kejadiannya kayak gini.
Bagaimana perasaan kamu sekarang setelah pisah dari suami?
Lebih bahagia. Awalnya aku mikir, gimana nih cara aku nafkahin anak, karena kerjaan aku cuma gitu-gitu doang (tidak menghasilkan banyak uang). Tapi setelah aku jalani, ternyata rezeki anak ada saja.
Aku juga bisa beli ini itu. Sesimpel aku bisa beli skin care sendiri. Padahal pas sama dia (suami), aku nggak pernah dibeliin apa-apa.