Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Cerita Pengetok Magic Jalanan yang Kucing-kucingan dengan Satpol PP
22 Februari 2018 19:02 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:11 WIB
ADVERTISEMENT
Kesenjangan ekonomi masih jadi fenomena yang kerap dijumpai di Ibu Kota. Tak sedikit warga dari luar Jakarta yang datang mengadu nasib di DKI dengan beragam ekspektasi tinggi, justru kalah dalam persaingan mengumpulkan pundi-pundi rupiah.
ADVERTISEMENT
Tarsono salah satunya. Pria 44 tahun itu bekerja menjajakan jasa pengecatan duco kepada para pengendara mobil yang berseliweran di sepanjang Jalan Kramat Raya, Senen, Jakarta Pusat. Pekerjaan itu tentu bukan cita-citanya.
Pengecatan duco adalah teknik mengecat untuk memperindah dan memperbaiki goresan atau lecet (dikenal dengan ketok magic) pada material kayu dan besi, seperti beragam furniture dan bagian-bagian badan kendaraan.
Sekitar 27 ahun lalu, pria yang akrab disapa Tawer ini bermigrasi dari rumahnya di Kecamatan Kajen, Pekalongan, Jawa Tengah. Ia mencoba peruntungan dengan melamar ke sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa pengiriman barang, namun gagal.
"Saya dulu merantau dari Pulau Jawa (red: Pekalongan), mau kerja di sini (DKI) ada perusahaan, tapi jadinya enggak diterima. Jadi saya cari pekerjaan yang lain," ujar Tawer kepada kumparan (kumparan.com) di trotoar Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Selasa (22/2).
ADVERTISEMENT
Tak diterima kerja di perusahaan tersebut, tak lantas melunturkan semangat juang Tawer untuk tetap bertahan hidup di Ibu Kota. Ia lalu bekerja menjadi kuli angkut beberapa tahun, sebelum akhirnya menjadi pengecat duco mobil serabutan.
Sepuluh tahun sudah Tawer menggantungkan nasibnya kepada mobil-mobil yang butuh jasa pengecatan duco. Pantauan kumparan di lokasi kerjanya sekitar pukul 15.00 WIB, Tawer tak sendirian menjajakan jasanya.
Puluhan orang pengecat duco lainnya juga berjejer di sepanjang trotoar Jalan Kramat Raya sore itu, tepatnya di seberang Kantor Polres Metro Jakarta Pusat. Mereka melambaikan tangan kepada para pengendara mobil yang melintas.
" Ayo ayo Pak, cat duco, cat duco," ucap Tawer dan rekan-rekannya sambil sesekali mengelap keringat.
ADVERTISEMENT
Tawer dan para pengecat duco di sana, mengerjakan proses pengecatan secara berkelompok. Satu kelompok biasanya terdiri dari tiga hingga lima orang. "Grup saya ada 3 orang. Terus hasilnya kita bagi modal dulu dan sisa modal hasilnya dibagi," ucap Tawer.
"Modalnya ya peralatan dempul (duco), kompresor, tepung dempul dan yang lainnya," imbuh Tawer yang merupakan lulusan SMP itu.
Pekerjaan ini adalah satu-satunya sumber penghasilan Tawer untuk menghidupi istri dan kedua anak perempuannya. Uang yang didapat tak menentu, berkisar antara Rp 100 ribu sampai dengan Rp 300 ribu per hari, kadang juga tak dapat sama sekali.
"Tergatung borongannya. Kalau biasanya sih kita mau dapatnya Rp 300 ribu per borongan (kelompok) terus dibagi tiga jadi Rp 100 ribu per orang," ujar Tawer.
ADVERTISEMENT
"Ya kalau rezeki enggak tentu, ini dua hari ini kita enggak dapat apa-apa. Kalau pun dapat misalnya selalu untuk kebutuhan anak saya yang lagi sekolah," imbuhnya.
Setiap hari, Tawer berangkat dari rumahnya ke jalanan sekitar pukul 08.00 WIB dan pulang ke rumah sekitar pukul 17.00 WIB.
Sejak awal menjalani pekerjaan tersebut di tahun 1994, Tawer mengaku kerap ditertibkan oleh petugas Dinas Perhubungan (Dishub) dan Satpol PP. Namun ia tetap bertahan melakoni pekerjaan itu, demi anak-anaknya yang butuh biaya sekolah.
"Pernah digeser Satpol PP, Dishub ya iya pernah, sering dilarang. Kalau (petugas) datang ya kita pergi atau kalau enggak kita masuk (sembunyi) ke gang-gang. Ya kita mau apa kita cuma bisa makan dari sini," ucap Tawer.
ADVERTISEMENT
"Enggak ada harapan kecuali anak-anak bisa sekolah hingga sukses. Saya sering kebagian mengecat mobil anak-anak muda dan punya pekerjaan, saya punya mimpi suatu saat anak saya juga sukses seperti orang itu," pungkasnya.