Dari Pelukan Keluarga ke Hiruk Pikuk Jakarta: Mereka yang Kembali Mengadu Nasib

5 April 2025 14:13 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Suasana saat H+5 Lebaran di Stasiun Pasar Senen, Jakarta, Sabtu (5/4/2025).  Foto: Zamachsyari/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Suasana saat H+5 Lebaran di Stasiun Pasar Senen, Jakarta, Sabtu (5/4/2025). Foto: Zamachsyari/kumparan
ADVERTISEMENT
Suasana Stasiun Pasar Senen, Sabtu (5/4), begitu riuh, seolah tak pernah lelah menampung pulang dan perginya lautan manusia. Ini hari kelima usai Lebaran, dan denyut arus balik mulai terasa kencang. Penumpang datang dan pergi seperti gelombang pasang yang bergantian mengisi peron, ruang tunggu, dan lorong-lorong stasiun.
ADVERTISEMENT
Kursi-kursi masih padat oleh mereka yang menanti keberangkatan atau baru saja tiba dari kampung halaman—dengan mata sembab bekas pelukan terakhir, atau dengan wajah tabah yang kembali akan menghadapi rutinitas.
Sejumlah pemudik menunggu kedatangan Kereta Api di Stasiun Pasar Senen, Jakarta, Kamis (4/3/2025). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Tak ada antrian panjang di mesin cetak boarding pass, tetapi di pintu keluar, aroma arus balik menyeruak—dari kotak kardus berisi oleh-oleh, dari koper dan tas jinjing yang penuh sesak, dari suara porter yang saling sahut menawarkan jasa angkut, dari langkah-langkah berat yang membawa pulang kenangan ke kota yang tak pernah benar-benar memberi jeda.
Di antara ratusan wajah, ada Amin (33), yang sejak 2008 menggantungkan hidup di Jakarta. Lebaran 2025, ia pulang ke kampung halaman di Kebumen, bertemu orang tua yang tinggal di sana.
ADVERTISEMENT
"Saya [mudik] dari tanggal 26," ucapnya sambil menunggu jemputan di pojok ruang tunggu.
"Cuti itu, cuti," tambahnya, sambil tersenyum seakan membenarkan bahwa waktu bersama keluarga kadang butuh dicuri dari kesibukan yang tak mengenal belas kasihan.
Pemudik, Amin (33) tiba di Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat, Sabtu (5/4/2025). Foto: Zamachsyari/kumparan
Anak dan istrinya belum bersamanya saat itu, karena 'war ticket' yang sudah kehabisan.
"[Anak dan istri menyusul] Karena tiketnya enggak dapet," katanya.
Amin berharap hari esok segera datang membawa istri dan anaknya ke Cikarang. Tempat mereka mencicil rumah. Tempat masa depan sedang ia bangun dari peluh pekerjaan.
"Istri sama anak nyusul," lanjutnya.
Amin menceritakan, sejatinya sejak awal tak ada keinginan untuk "bertarung" di Jakarta. Namun, keadaan memaksanya untuk mencari kehidupan di kota metropolitan. Tak mudah baginya di tahun pertama untuk bertahan di Jakarta.
ADVERTISEMENT
"Ngerantaunya mah awalnya enggak pengin ngerantau, cuma keadaan yang bikin merantau. Makanya, awalnya jadi tukang parkir dulu, di Daan Mogot dulu saya mah," kenangnya.
"Terus masuk pabrik," lanjut dia.
Kini, ia ingin kembali ke Jawa. Tapi kehidupan sudah telanjur membawanya ke barisan para pejuang yang tinggal di pinggiran kota—mengadu tenaga di pabrik-pabrik yang jarang libur dan tak kenal waktu.
Pemudik, Slamet (46) tiba di Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat, Sabtu (5/4/2025). Foto: Zamachsyari/kumparan
Di sisi lain pintu keluar, Slamet (46) baru saja tiba dari Kutoarjo, kampung halamannya. Bersama anak dan istrinya, ia menghabiskan tujuh hari Lebaran di rumah orang tuanya.
"Pulang kampung itu adalah tradisi, ya, tradisi buat terutama orang-orang Indonesia untuk menikmati momen-momen bertemu dengan keluarga, dengan orang tua terutama, ya. Keluarga, orang tua dan lain juga karena buat silaturahmi. Supaya nggak lupa sama kampung lah, sama tradisi yang ada di Indonesia," ujar Slamet dengan senyumannya.
ADVERTISEMENT
Meski saat berangkat ia naik bus, pulangnya ia pilih kereta demi menghindari macet. Tangannya menenteng kardus oleh-oleh berisi klanting dan makanan khas Jawa Tengah.
"Saya pulangnya naik bus, kalau ke sininya naik kereta. Kalau kenapa balik ke sini naik kereta, supaya enggak macet di jalan," terangnya.
Stasiun Pasar Senen siang itu terlihat seperti tempat orang-orang menyimpan sementara bahagianya sebelum kembali berjibaku. Jakarta menunggu mereka dengan janji dan tekanan yang sama. Tapi mereka pulang—karena tahu bahwa hidup, seberat apa pun, masih harus diperjuangkan.
Dari pelukan keluarga di kampung halaman, kembali ke hiruk pikuk Jakarta—mereka kembali "bertarung" untuk mengadu nasib. Karena cinta pada keluarga, karena tanggung jawab, karena hidup memang tak bisa terus bersembunyi dalam tenang.
ADVERTISEMENT