Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Dea Onlyfans Ngaku Hamil: Minta Tak Ditahan; Disebut Tak Pengaruhi Proses Hukum
19 Mei 2022 7:42 WIB
·
waktu baca 7 menitADVERTISEMENT
Tersangka kasus pornografi Gusti Ayu Dewanti alias Dea Onlyfans meminta agar dirinya tak ditahan terkait kasus pidana yang sedang dijalani. Dea beralasan dirinya sedang hamil.
ADVERTISEMENT
Hal itu Dea sampaikan saat menjalani wajib lapor di Mapolda Metro Jaya. Bersama pengacaranya, Dea menyampaikan kondisinya yang tengah berbadan dua itu. Dea berhadap dirinya tidak ditahan, baik oleh penyidik kepolisian maupun nanti ketika dilimpahkan ke kejaksaan.
"Kondisinya Mba Dea sekarang lagi hamil," kata kuasa hukum Dea, Abdillah Syarifudin kepada wartawan.
Abdillah menyebut, kliennya telah mengandung selama 23 minggu. Dengan kondisi kliennya itu, dia berharap proses hukum yang tengah dijalaninya bisa diberi keringanan.
Sebab diketahui, saat ini berkas perkara kasus dugaan pornografi yang dijalani Dea bakal segera rampung dan dilimpahkan ke Kejaksaan.
"Kami sampaikan ke pihak kepolisian kami juga titip pesan ke Kejaksaan nanti harapannya semoga tidak ditahan di Kejaksaan ya karena melihat faktor-faktor itu tadi masih perlu perawatan, check up, dan lain-lain," kata dia.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Dea sendiri mengaku bakal bertanggung jawab atas anak yang dikandungnya hingga lahir nanti.
"Saya bakal bertanggung jawab sepenuhnya atas anak ini. Bagaimana pun juga ini anak saya," ujar Dea.
Alami Gangguan Psikis, Dea Onlyfans Ngaku 4 Kali Coba Bunuh Diri
Wanita yang menjual konten porno itu mengaku sempat mengalami gangguan psikis. Bahkan dia sempat melakukan percobaan bunuh diri sebanyak 4 kali.
Namun Dea menegaskan, aksi percobaan bunuh dirinya itu bukan akibat dari proses hukum yang harus dijalaninya.
"Coba bunuh diri 4 kali, sudah 4 kali coba bunuh diri, tapi saya bukan karena terlibat hukum, saya harus pertanggungjawabkan ini. Saya pertanggungjawabkan kesalahan saya," kata Dea kepada wartawan di Polda Metro Jaya, Selasa (17/5).
ADVERTISEMENT
Dea mengakui gangguan psikis yang dialaminya hingga nekat mengakhiri hidupnya itu lantaran anak dalam kandungannya. Dia merasa bingung akan masa depan anaknya.
Kehamilan Dea Onlyfans Diragukan
Dea yang jadi tersangka pembuatan dan penyebaran konten pornografi ini tidak pernah menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Pengacara juga tak pernah menyampaikan bukti kehamilan padahal usianya sudah 23 minggu atau jalan 6 bulan.
Keraguan juga datang dari sejumlah warganet. Dia mengaku pernah berkomunikasi dengan Dea yang menyebut sudah 2 kali hamil.
ADVERTISEMENT
Terkait hal itu, pengacara Dea, Herlambang Ponco, menyebut pihaknya tidak mungkin berbohong. Sebab apabila yang telah disampaikan ke publik adalah kebohongan pasti ada konsekuensi hukum yang harus dihadapinya.
"Gini aja kok dibilang settingan, kita nyetting gimana? Logikanya gitu. Kita kan ngomong ke publik harus bertanggung jawab, tidak berkata bohong. Kalau saya berkata bohong otomatis ada konsekuensi hukumnya," kata Herlambang saat dihubungi, Rabu (18/5).
Menurut dia, sejumlah bukti kehamilan kliennya itu juga telah diserahkan kepada penyidik. Dia memastikan soal pengakuan Dea terkait kehamilannya adalah fakta.
"Kita sejak kemarin itu bukti hamil hasil dari USG kita berikan ke kepolisian seminggu lalu. Jadi wajib lapor sebelum ini. Tapi untuk proses menyeluruh karena proses pemeriksaan kehamilan itu di kedokteran dua minggu sekali, jadi nanti minggu depan bagaimana proses kehamilan janin segala macamnya kita berikan ke kepolisian minggu depan," jelasnya.
ADVERTISEMENT
Terkait permohonan ini, bagaimana tanggapan pihak Kepolisian?
Tak Pengaruhi Proses Hukum
Polda Metro Jaya memastikan pengakuan Gusti Ayu Dewanti alias Dea OnlyFans soal kondisinya yang hamil, tak akan berpengaruh dengan proses hukum penanganan kasus pornografi. Proses pemeriksaan dan pemberkasan terus berjalan.
"Jadi itu tidak mempengaruhi proses penyidikan terhadap kasus yang bersangkutan walaupun sedang hamil," ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Endra Zulpan kepada wartawan, Rabu (18/5).
Zulpan mengatakan, pengakuan Dea yang hamil tidak akan menggugurkan kasus konten pornografi atau statusnya sebagai tersangka.
Namun, alasan itu tetap menjadi pertimbangan penyidik untuk memutuskan tak menahannya usai ditetapkan sebagai tersangka.
"Tetapi tidak dilakukan penahanan hanya unsur pertimbangan kemanusiaan," katanya.
Sementara untuk perkembangan penanganan kasus pornografi, Zulpan menyebut penyidik masih menyusun berkas perkara. Dalam waktu dekat berkas itu akan dilimpahkan ke kejaksaan.
ADVERTISEMENT
"Masih dilengkapi, dalam waktu dekat akan dilimpahkan," tutup dia.
Bagaimana Aturannya?
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan bahwa keputusan untuk menahan atau tidaknya seseorang sepenuhnya menjadi hak subjektif dari penegak hukum yang punya kewenangan.
"Alasan apa pun yang diajukan, pada akhirnya kembali pada instansi yang mempunyai hak," ujar Fickar saat dihubungi kumparan, Rabu (18/5).
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dalam Pasal 1 Angka 21 disebutkan bahwa penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Pengertian yang diberikan KUHAP itu menunjukkan bahwa yang berhak melakukan penahanan adalah penyidik, penuntut umum, atau hakim. Penahanan juga hanya dapat dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, baik penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam melakukan penahanan harus memperhatikan atau didasarkan pada bukti yang cukup dan persyaratan lain yang diatur dalam KUHAP. KUHAP mengenal dua syarat dalam melakukan penahanan, yaitu:
1. Syarat Objektif
Syarat penahanan objektif memiliki ukuran yang secara tegas diatur dalam undang-undang. Pengaturan terkait Syarat Objektif dapat ditentukan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP, yang mengatur bahwa penahanan hanya bisa diberlakukan kepada tersangka maupun terdakwa yang melakukan tindak pidana dan/atau percobaan tindak pidana, serta pemberian bantuan dalam hal:
Tindak pidana yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun atau lebih; atau
Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 KUHAP, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie, Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi, Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika
2. Syarat Subjektif
ADVERTISEMENT
Syarat penahanan subjektif merupakan syarat yang bersumber dari penilaian dan kekhawatiran penyidik bahwa jika terdakwa tidak ditahan maka terdakwa akan kabur, akan merusak atau menghilangkan bukti, dan bahkan akan mengulangi tindak pidana tersebut. Pengaturan syarat subjektif ini dapat ditemukan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan:
“Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.”
Untuk itu, dalam melakukan penahanan pada seseorang, kata Fickar, haruslah melihat urgensi dari penahanan pihak terkait dengan perkara itu. Dari situ baru ditentukan layak atau tidaknya penahanan dilakukan
ADVERTISEMENT
"Yang harus jadi catatan, penahanan pada tingkat penyidikan atau penuntutan itu harus melihat urgensinya. Penahanan pada penyidikan menjadi tidak relevan kalau tersangka tidak mungkin melarikan diri, tersangka tidak mungkin mengulangi perbuatan, atau tersangka tidak mungkin menghilangkan barang bukti karena sudah disita penyidik," ungkap Fickar.
Jadi penahanan itu harus melihat urgensinya. Karena itu, menurut saya, pada kasus yang kerugian perdata per orangannya lebih menonjol ketimbang kerugian atas kepentingan umumnya, maka penahanan tidak relevan," lanjut dia.
Selain itu, Fickar menuturkan bahwa penahanan langsung kepada pihak yang terjerat dalam suatu perkara bisa dilakukan jika yang bersangkutan diancam dengan hukuman di atas 5 tahun penjara.
"Dapat ditahan itu jika ancaman hukumannya 5 tahun ke atas, jika tidak ya tidak bisa ditahan," kata Fickar.
ADVERTISEMENT