Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Debt Collector Harus Ingat, MK Larang Perusahaan Finance Tarik Kendaraan Sepihak
11 Mei 2021 13:03 WIB
ADVERTISEMENT
Kasus pengepungan mobil yang dikendarai Serda Nurhadi oleh 11 debt collector di depan Tol Koja Barat, Jakarta Utara, berujung pidana. Bermula dari video viral yang memperlihatkan sebuah mobil Honda Mobilio dikepung sekelompok debt collector di depan Gerbang Tol Koja.
ADVERTISEMENT
Ketika itu, Serda Nurhadi sedang menolong pengemudi Mobilio yang hendak mengantar keluarganya ke RS. Pada saat yang sama, 11 debt collector tetap mengepung mobil yang disebut menunggak kredit 8 bulan.
Para debt collector tersebut akhirnya ditangkap. Mereka dinilai telah melakukan tindak pidana berupa mengambil barang secara paksa dan pencurian dengan kekerasan. Terlebih para debt collector tak memiliki SPPI atau Sertifikat Profesi Pembiayaan Indonesia.
Sehingga mereka dijerat dengan Pasal 335 ayat (1) KUHP dan Pasal 365 KUHP juncto Pasal 53 KUHP. Dengan jeratan Pasal itu, para debt collector terancam 9 tahun penjara.
Putusan MK soal Aturan Menarik Objek Kredit
Aturan mengenai penarikan objek kredit oleh kreditur atau perusahaan pembiayaan (finance) diatur di UU Jaminan Fidusia, khususnya Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3).
ADVERTISEMENT
Pasal tersebut berbunyi:
(2) Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3) Apabila debitur cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri.
Pasal tersebut kemudian digugat pasangan suami istri, Suri Agung Prabowo dan Aprilliani Dewi, ke Mahkamah Konstitusi (MK ). MK pun mengabulkan sebagian gugatan tersebut.
Dalam putusan nomor 18/PUU-XVII/2019 pada 6 Januari 2020, MK menyatakan kreditur atau finance tidak bisa secara sepihak mengeksekusi atau menarik objek jaminan fidusia seperti kendaraan atau rumah, hanya berdasar sertifikat jaminan fidusia.
MK memutuskan finance yang ingin menarik kendaraan harus mengajukan permohonan kepada pengadilan negeri. Tetapi eksekusi sepihak oleh kreditur tetap bisa dilakukan, asalkan debitur mengakui adanya cidera janji (wanprestasi) dan secara sukarela menyerahkan objek jaminan fidusianya.
"Sepanjang debitur telah mengakui adanya wanprestasi dan secara sukarela menyerahkan benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka menjadi kewenangan sepenuhnya bagi kreditur untuk dapat melakukan eksekusi sendiri," ujar Hakim Konstitusi, Suhartoyo, saat membacakan pertimbangan putusan
ADVERTISEMENT
"Namun, apabila yang terjadi sebaliknya, di mana pemberi debitur tidak mengakui adanya wanprestasi dan keberatan untuk menyerahkan secara sukarela benda yang menjadi objek dalam perjanjian fidusia, maka kreditur tidak boleh melakukan eksekusi sendiri melainkan harus mengajukan permohonan pelaksanaan eksekusi kepada pengadilan negeri. Dengan demikian hak konstitusionalitas debitur dan kreditur terlindungi secara seimbang," lanjutnya.
Suhartoyo menyatakan keputusan itu didasari tidak adanya perlindungan hukum yang seimbang antara debitur dengan kreditur. Suhartoyo menyebut kreditur memiliki hak eksklusif dalam menarik objek jaminan fidusia tanpa memberikan kesempatan kepada debitur untuk membela diri.
Bahkan menurut majelis MK, terkadang kreditur menarik objek jaminan fidusia secara sewenang-wenang dan kurang 'manusiawi', baik berupa ancaman fisik maupun psikis.
Sehingga MK menyatakan norma Pasal 15 ayat (2) dan ayat (3) UU Jaminan Fidusia berlaku konstitusional bersyarat.
ADVERTISEMENT
MK menyatakan Pasal 15 ayat (2), khususnya frasa 'kekuatan eksekutorial' dan 'sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap', tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap'.
Sementara Pasal 15 ayat (3) khusus frasa 'cidera janji' tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'adanya cidera janji tidak ditentukan secara sepihak oleh kreditur melainkan atas dasar kesepakatan antara kreditur dengan debitur atau atas dasar upaya hukum yang menentukan telah terjadinya cidera janji'.
Debt Collector Balik Menggugat di MK
Tak terima dengan putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019, Joshua Michael Djami yang merupakan karyawan perusahaan finance dengan jabatan kolektor internal, menggugat Pasal 15 ayat (2) dan penjelasan Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia.
ADVERTISEMENT
Joshua merasa dirugikan dengan putusan MK nomor 18/PUU-XVII/2019. Joshua mengaku pekerjaannya berkurang imbas putusan MK tersebut.
"Dengan adanya pengaturan a quo, berdampak pada penurunan jumlah kasus yang harus dikerjakan, karena kasus yang Pemohon pegang menjadi berkurang. Dahulu bisa sampai ratusan, tapi kemudian sekarang hanya 25," isi gugatan Joshua.
Selain itu, Joshua menilai putusan MK membuatnya sulitnya melakukan eksekusi terhadap barang jaminan fidusia. Sebab debitur kerap kali mengelak.
Joshua beranggapan sudah menjadi suatu keharusan ketika terjadi cidera janji atau wanprestasi, pihak debitur wajib menyerahkan objek jaminan fidusia kepada kreditur. Sehingga apabila debitur tidak menyerahkan objek jaminan fidusia saat eksekusi dilaksanakan, kreditur berhak mengambil objek jaminan fidusia.
Namun pada akhirnya MK tak menerima gugatan Joshua. MK menilai Joshua salah dalam penulisan kutipan pasal yang menjadi objek gugatan. Joshua menguji Pasal 15 ayat (2) UU Jaminan Fidusia, namun yang dikutip ternyata materi muatan Pasal 15 ayat (3). Sehingga MK menganggap permohonan Joshua kabur.
ADVERTISEMENT