Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Derita WNI Diperbudak Industri Judi Online di Kamboja dan Myanmar
5 Agustus 2024 19:27 WIB
·
waktu baca 15 menitNama samarannya Nesi. Ia korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO ) yang pernah menjadi admin pada sebuah perusahaan judi online di Kamboja . Kepada kumparan, Jumat (2/8), ia menunjukkan fail berisi ribuan nomor telepon yang akan—atau sudah—diberondong iklan judi online. Semua kontak yang tersimpan di Google Drive tersebut berisi nomor berkode +62.
Daftar ribuan nomor itu diterima Nesi sesaat setelah dia tiba di Kamboja dan akan mulai bekerja sebagai admin judol. Fail kontak tersebut merupakan database bagi Nesi dan rekan-rekan di tempat kerjanya.
Nesi kemudian mengirimkan pesan secara brutal alias spam ke nomor-nomor tersebut, berisi penawaran judi slot hingga promosi situs gim berkedok judol. Setiap hari, Nesi akan mengirim sapaan ke nomor-nomor itu layaknya sales mengiklankan produk dengan iming-iming keuntungan dan diskon.
Sebagai admin, Nesi tak akan berhenti mengirim spam chat sampai si pemilik nomor membuka akun judi dan menaruh duit deposit atau depo.
“Kami spam dengan cara menyapa: ‘Halo, gimana kabarnya?’ Otomatis orang penasaran [dan balas], ‘Oh, ini siapa?’” kata Nesi menceritakan isi chat yang ia tebar ke nomor-nomor +62.
Nesi dilatih khusus menjadi admin judi online. Ia diajari cara menyampaikan pesan dan penawaran secara lembut namun meyakinkan. Nesi bahkan menggunakan profil perempuan untuk mengelabui calon pejudi.
“Setelah mereka respons, baru kami gunakan kata-kata marketing, ‘Kak, masih main slot nggak? Aku dari link [judi] ini, menawarkan nih dengan modal Rp 25 ribu, Kakak bisa withdraw atau tarik Rp 1 juta. Gimana, Kak?’” ujar Nesi, mencontohkan caranya merayu calon pelanggan judi, saat bertemu kumparan, Jumat (2/8).
Agar makin meyakinkan, Nesi menggunakan nomor WhatsApp dengan provider Indonesia. Pesan yang dikirim pun dalam bahasa Indonesia.
Pada bulan pertamanya bekerja, Nesi diberi database berisi 2.000 nomor telepon Indonesia. Ia tidak tahu dari mana data-data tersebut diperoleh. Yang jelas, ia kemudian bertugas menyortir nomor-nomor itu: mana yang terdaftar menggunakan WhatsApp, dan mana yang sudah tidak aktif.
Dua ribu kontak itu harus “habis” dalam sebulan. Artinya, Nesi harus menghubungi semua nomor itu untuk mengajak berjudi. Ia bukan cuma menawari dan merayu, tapi juga harus menggaet 8 pengguna baru per hari.
Indonesia, Surganya Judi Online
Bila dihitung kasar, jika Nesi seorang saja setiap harinya memenuhi target 8 pengguna baru per hari, maka dalam sebulan setidaknya ada 240 orang Indonesia yang tergaet judi online. Itu baru Nesi, belum pekerja lainnya yang jumlahnya ratusan.
Nesi bekerja tiga bulan sebagai admin judol sebelum akhirnya kabur. Artinya, dalam tiga bulan itu, setidaknya ada 700-an nomor yang terpapar judi online “berkat” Nesi. Dan Nesi-Nesi lain tersebar di Sihanoukville—kota di Kamboja yang dikenal dengan sebutan Kompong Som (KSP).
Para “Nesi” di Kompong Som berjumlah ratusan. Mereka dipekerjakan tak layak oleh berbagai perusahaan judi online. Tempat kerja Nesi saja punya lebih dari tiga situs judol.
“Total empat bulan kerja, [saya] sudah kontak sekitar ada 3.000–4.000 nomor di database, pakai nomor WhatsApp Indonesia,” kata Nesi.
Situs-situs judi online mengepung Indonesia dalam berbagai macam bentuk. Analisis jejaring media sosial Drone Emprit tahun 2023 bahkan mengungkap Indonesia merupakan negara dengan pemain judol paling tinggi di dunia. Jumlahnya mencapai 201.122 pejudi. Bentuk judol yang dimainkan juga beragam: dari mesin slot, permainan kartu, gim dadu, sampai taruhan olahraga.
Tingginya angka pengguna judol di Indonesia itu sejalan dengan temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bahwa terdapat peningkatan nilai transaksi judol dari tujuh tahun lalu.
PPATK menemukan perputaran dana mencurigakan terkait judol pada 2017 sebanyak Rp 2,01 triliun; tahun 2018 naik jadi Rp 3,98 triliun; tahun 2019 naik lagi ke Rp 6,18 triliun; tahun 2020 jadi Rp 15,77 triliun; tahun 2021 melonjak ke Rp 57,91 triliun; tahun 2022 melesat jadi Rp 104,42 triliun, dan tahun 2023 menyentuh Rp 327 triliun.
Nilai transaksi judi online diperkirakan terus naik. Pada kuartal I tahun 2024 saja, kata Kepala PPATK Ivan Yustiavandana, transaksi judol sudah lebih dari Rp 100 triliun. Yang mencengangkan, judol turut memapar anak-anak. Nilai transaksinya Rp 293 miliar dari 197.000 pengguna anak-anak.
"Secara keseluruhan, [berdasarkan] data terakhir tahun 2024, dari usia kurang dari 11 tahun sampai 19 tahun, ada 197.054 peserta anak dengan total depositnya Rp 293,4 miliar dan transaksi Rp 2,2 juta," kata Ivan di kantor KPAI, Jakarta Pusat, Jumat (26/7).
Pekerja Judi Online = Budak
Masyarakat Indonesia terkena dampak berlapis dari judi online karena dua kali menjadi korban: sebagai pengguna yang terjerat, dan sebagai korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) untuk dipekerjakan pada industri judi online di negara-negara tetangga.
Negara Indonesia juga rugi dua kali: uang masyarakat mengalir ke bandar, dan warganya dipekerjakan secara tak layak bahkan ada yang disiksa.
TPPO yang juga bertalian dengan industri judi online juga menelan banyak korban. Nesi salah satunya. Ia menyebut dirinya dan rekan-rekannya yang bekerja di sektor judi online sebagai korban perbudakan modern.
Nesi datang ke Kompong Som, Kamboja, dengan iming-iming gaji tinggi, bonus melimpah, mes, dan jaminan kerja yang serba-wah. Ia menerima tawaran kerja itu dari kawannya yang juga pernah bekerja di Kamboja.
Tergiur gaji dan bonus besar, Nesi mengikuti wawancara kerja via Zoom. Anehnya, si pewawancara tidak menampilkan wajah di room. Tapi Nesi kadung tergiur dengan iming-iming gaji Rp 17 juta per bulan.
Ia pun mengambil pekerjaan itu dan menyerahkan data pribadi serta KTP-nya melalui grup Telegram sebagai dokumen pembuatan paspor. Seminggu kemudian, paspor Nesi terbit. Ia diarahkan ke salah satu kantor Imigrasi di Jabodetabek untuk mengambil paspor.
Untuk pembuatan paspor, Nesi harus membayar Rp 5 juta. Uang ditransfer ke tim “penerima calon pekerja”. Pada hari keberangkatan, Nesi diarahkan—juga lewat Telegram—untuk berangkat ke Kamboja via Singapura.
Di Bandara Soekarno-Hatta, Nesi dan beberapa orang yang baru ia kenal—sesama calon pekerja di perusahaan yang sama—dipandu seorang laki-laki berpakaian kasual. Nesi menyebutnya “orang suruhan”.
Lelaki itu memandu Nesi dan rekan-rekan barunya masuk ke gate Imigrasi yang sudah ditentukan. Mereka tak boleh lewat gate pemeriksaan yang berbeda.
“Karena orang itu udah janjian. Jadi kami diarahin, ‘Nanti masuk ke gate nomor 07 untuk kasih e-ticket karena [di sana] itu orang kita.’ Nah, makanya kami langsung lewat situ, enggak lewat gate lain,” kata Nesi.
Agar lolos masuk Singapura, Nesi sudah dibekali tiket pergi-pulang dan bukti reservasi hotel untuk menginap semalam di Singapura sebelum lanjut terbang ke Kamboja. Semua berjalan lancar. Keesokannya, Nesi pun terbang ke Phnom Penh, ibu kota Kamboja.
Di Phnom Penh, Nesi dijemput mobil yang disopiri orang Kamboja untuk diantar ke Sihanoukville alias Kompong Som. Di sanalah lokasi mes kantor yang menjadi tempat tinggal Nesi.
“Mes saya itu seperti hotel yang udah enggak dipake, lalu kami pakai,” ujar Nesi.
Mes tersebut dijaga, diawasi, dan tidak bisa diakses secara bebas. Pagarnya tinggi, dan pintu dijaga ketat 24 jam. Sebelum dibagi kamar, Nesi lebih dulu dites urine. Esoknya, ia menjalani pelatihan sebagai pekerja baru.
Jarak kantor Nesi dengan mes sekitar 15 menit bermobil. Ia dan pekerja lainnya diantar-jemput menggunakan minibus ke kantor. Satu mobil berisi 25 pekerja.
Semua pekerja di tempat Nesi adalah orang Indonesia, termasuk petugas keamanan di mes sampai atasannya di kantor.
“Dari bawahan kami sebagai admin, customer service, sampai SPV, manajer, bahkan si master itu orang Indonesia semua,” kata Nesi.
Setelah tiga bulan mengikuti pelatihan, Nesi merasa ada yang salah. Apa yang dijanjikan tak kunjung datang, bonus tidak ada, gaji yang diterima juga hanya sekitar Rp 3 juta per bulan. Keinginan untuk pulang ke Indonesia pun menguat.
Nesi sempat menyampaikan protes ke SPV-nya karena sudah 3 bulan kerja, masa percobaan sudah dilaluinya, tapi gaji Rp 17 juta yang dijanjikan tak kunjung terwujud. Dia lalu meminta dipulangkan ke Indonesia.
Tapi untuk pulang dan menyudahi kontrak, Nesi diminta membayar denda senilai Rp 17 juta. Uang ganti tiket dan penebusan paspornya yang ditahan perusahaan.
“Saya dijanjikan untuk selama training saya dapat gaji full itu sekitar 10 juta. Dan ketika untuk bonusnya, ketika sudah kerja setelah 3 bulan. Tapi yang saya terima ketika saya sudah masuk ke 3 bulan, itu saya terima per bulan cuma di 3 juta lebih,” kata Nesi.
Selain gaji yang tak sesuai yang dijanjikan, kondisi kerja juga menguatkan niat Nesi pulang ke Indonesia. Mereka dipekerjakan selama 12 jam, ini di luar denda tambahan jam kerja bila tak memenuhi target 8 pengguna baru dalam sehari. Nesi pun tidak diberikan libur.
“Tujuh hari full kerja. Pokoknya di sana bener-bener diperbudak,” kata Nesi.
“12 jam [kerja]. Kalau misalkan kita enggak target, enggak dapet 10 new deposit itu bisa ditambah lagi 2 sampai 3 jam bisa sampai 15 jam [kerja],” tambahnya.
Selain kerja yang tak manusiawi, Nesi juga dibatasi geraknya. Ia hanya bisa mengakses mes dan kantor tempat kerja. Bahkan untuk makan saja harus menitip ke penjaga mes dan bila di kantor maka minta bantuan office boy.
“Enggak ke mana-mana. Hanya di sana, pulang kerja pulang ke mes, besok kerja lagi,” ujar Nesi.
Ia tinggal di sebuah kamar dengan hanya ada kamar mandi dan AC, serta dua kasur tidur. Nesi berdua di kamar tersebut. Tidak ada televisi. Satu-satunya pengharapan Nesi untuk melanjutkan hari adalah karena ponselnya tidak ditahan.
“Cuma sosial media, chat-chat kerabat, ‘apa kabar’, mungkin keluarga-keluarga terdekat tanya-tanya kabar, mereka juga kita telepon-teleponan sama orang tua. Udah, gitu aja setiap hari,” ujar Nesi.
Nesi menjalani hidup dengan kerja 12 jam sehari dan tak menyaksikan dunia luar selama 4 bulan, hingga kemudian nekat melarikan diri ke KBRI Phnom Penh, dan meminta perlindungan.
Ia melarikan diri saat akan berangkat ke kantor, saat semua pekerja masuk mobil penjemputan, Nesi lalu mencuri waktu dengan izin ke toilet, tapi sebenarnya ia keluar mes menuju taksi online yang sudah dipesannya. Dia lari ke KBRI dengan hanya membawa ponsel, pengecas, dan dompet.
Sampai di KBRI Phnom Penh, Nesi langsung membuat pengaduan dan memohon SPLP atau surat pengganti paspor sementara. SPLP itu juga tak sat-set, ia harus menunggu seminggu proses penerbitan.
“Saya langsung bikin laporan bahwa saya ditipu. Atau termasuk perdagangan manusia, TPPO,” kata dia.
Nesi memutuskan kabur karena diminta membayar denda Rp 17 juta. Dia diminta menebus biaya tiket Jakarta-Kamboja dan sebagainya, agar paspornya tak ditahan oleh perusahaan.
Nesi berhasil keluar dari mes yang dijaga 24 jam dan pagar tinggi yang selalu terkunci. Selama proses kabur itu, ia masih sempat mendapatkan ancaman verbal dari kantornya.
“'Kamu enggak bisa kabur, ya, dari kita', 'mending kita ngomong baik-baik aja, maunya apa'. Di situ saya berpikir enggak mungkin saya baik lagi,” imbuh Nesi.
“Kerja di sana itu yang ada kita diperbudak, kita di-setting, hidup kita di-setting sama mereka. Kita enggak bebas,” ucapnya.
Nestapa Pekerja Scamming Online di Myanmar
Di tempat lain, Adam—bukan nama sebenarnya—juga mengalami hal serupa. Ia menjadi korban perdagangan orang di perbatasan Myanmar-Thailand, dipekerjakan sebagai scammer atau penipuan daring.
Adam mulanya juga mendapatkan informasi lowongan kerja sebagai customer service aplikasi belanja online, Amazon, di Thailand. Dia mendapatkan tawaran itu dari teman. Ia lalu mendaftar, mengikuti petunjuk lowongan kerja tersebut, hingga dinyatakan lolos. Adam lolos berdua dengan satu temannya karena bisa berbahasa Inggris.
Sama seperti Nesi, Adam juga melakukan wawancara kerja melalui Zoom tapi si pewawancara tak menampakkan wajah. Meski begitu, Adam tetap mengikuti perintah dan terbang ke Bangkok, Thailand.
Tiba di sana, Adam dijemput orang Pakistan. Bukannya dibawa ke kantor Amazon sebagaimana dijanjikan, ia malah diangkut ke Mae Sot, sebuah distrik di Thailand yang berbatasan dengan Myanmar.
Adam menyadari bahwa posisinya sudah tidak di Thailand setelah menyeberangi sungai.
“Setelah lewat sungai itu saya kira itu masih Thailand, kan. Terus ada militer yang jaga dan saya lihat tag di dada sebelah kirinya ‘kok ini bukan bendera Thailand’,” kata Adam.
“Jadi saya nyadar itu sudah di Myanmar (Myawaddy) waktu saya melihat si militer-militer,” lanjutnya.
Adam diantar masuk ke lingkungan perusahaan yang dijaga militer. Di sana ia disambut seorang wanita Malaysia dan disodorkan kontrak kerja lalu dibawa ke dalam mes.
Dengan penuh tanda tanya di kepala, berpacu dengan ketakutan dan mencari cara kembali pulang ke Indonesia, Adam dihampiri sesama pekerja, orang Malaysia lagi. Ia lalu curhat ingin pulang karena tempat yang dituju tak sesuai yang dijanjikan. Adam tersadar bahwa tempatnya bekerja bukanlah perusahaan Amazon.
“Saya ingin pulang aja, ingin balik lagi aja, karena ini bukan Thailand. Terus dia [pekerja lain] ngomong, ‘sebenarnya saya juga nggak pengen bekerja di sini tapi karena kalian lihat sendiri kan di depan banyak orang yang pegang senjata, lebih baik kalian cari aman aja, lakukan yang terbaik terus tebus diri kalian untuk pulang’, katanya,” ujar Adam menceritakan hari pertamanya yang mencekam.
Sejak di pintu gerbang masuk lingkungan perusahaan tadi, tangis Adam sudah jatuh. Iaa sesekali memperhatikan sekitar perusahaan yang dijaga menggunakan pos militer. Semua anggotanya menenteng senjata.
“Setelah nyampe itu, nunggu dulu di office militernya mereka, jadi kita diam terus di situ. Saya nangis, sambil gimana [berpikir] cari jalan untuk bisa keluar. Sementara di depan penjaganya sangat ketat dan setiap orang membawa senjata api,” kata dia.
Adam tak ada pilihan lain. Ia mengikuti perintah kerja, berusaha memenuhi target scam yang dibebankan kepadanya. Setiap bulan Adam dan pekerja lain diharuskan menghasilkan USD 200 ribu atau setara Rp 3,2 miliar melalui scammer online.
Adam berada di Thailand dan perbatasan Myanmar selama 5 bulan. Bekerja 20 jam setiap hari tanpa diberi makan.
“Perlakuannya itu kerja saya 20 jam jadi masuk jam 9 [malam] selesai jam 5 sore, dan enggak dikasih makan. Terus tiap jam makan kami mendapatkan punishment cuma dikasih telur satu. Tiap jam 12 siang itu turun ke lapangan parkir untuk olahraga lagi selama 2 jam dan enggak dikasih makan juga,” ungkap Adam.
Hidup 5 bulan Adam diawasi militer. Bila tak sesuai waktu, telat bangun, telat mandi, dan sebagainya maka siap-siap mendapatkan hukuman. Adam tidur di mes dengan tempat tidur tingkat bersama dengan pekerja dari berbagai negara.
“Ada beberapa orang yang kena cambuk, orang-orang Indonesia itu enggak justru. Yang kena, orang Nepal terus orang-orang Afrika itu kena, Srilanka juga kena,” kata Adam.
Setelah beberapa bulan kerja secara terpaksa di wilayah Myawaddy, Myanmar, itu, Adam diam-diam mengirimkan peta posisi dirinya kepada orang tuanya di Indonesia. Diam-diam karena mereka tidak bebas menggunakan alat komunikasi.
Hampir genap 5 bulan berlalu, bantuan dari Jawa Barat, daerah asalnya tak kunjung tiba. Orang tua Adam melapor ke BP2MI Bandung, tapi tak ada tindak lanjut. Bantuan dari Disnaker Pemkab juga tidak ada.
Usaha Adam pulang ke Tanah Air tak direspons pemerintah. Hingga kemudian muncul momentum melarikan diri, yaitu saat orang-orang Afrika yang juga jadi pekerja di sana melakukan demo ke perusahaan.
“September [2023] itu kita melakukan demo karena orang-orang Afrika bilang ‘kenapa kita diperlakukan seperti ini. Ini sama halnya seperti nenek moyang saya yang dulu jadi korban perbudakan’,” kata Adam bercerita.
Mereka memprotes ke tuan tanah, pemilik perusahaan, dan mengancam bahwa para pekerja sudah melapor ke kedutaan masing-masing. Gerakan bersama itu membuat si tuan tanah janji memulangkan Adam dan beberapa pekerja lain.
Tapi janji itu sekadar iming-iming belaka. Perusahaan Adam malah menjual beberapa pekerja ke perusahaan lain yang bergerak di bidang sama, scamming. Adam dan kawan-kawan dibawa ke wilayah Chiang Rai.
“Kami direncanakan untuk dijual ke perusahaan lain … saat itu kami ditransfer ke Mae Sot. Lalu akan diberangkatkan ke Chiang Rai,” kata Adam.
Dalam perjalanan dari Mae Sot ke Chiang Rai, Adam bersama teman Malaysia-nya bersiasat melarikan diri. Setibanya di hotel di Chiang Rai, Adam dan rekannya kabur. Mereka lalu buru-buru membeli ponsel dan menelpon bantuan.
Ia menghubungi orang tua dan meminta bantuan ke KBRI setempat. Mereka lalu dijemput di Chiang Rai oleh sebuah organisasi Amerika Serikat lalu menyelesaikan administrasi pemulangan.
Ribuan WNI Jadi Korban Perdagangan Orang
Nesi dan Adam hanya dua dari ribuan WNI yang jadi korban TPPO untuk bekerja di perusahaan judi online dan online scamming. Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan menyebut, pada periode 2020 sampai Maret 2024 ditemukan ada 3.703 WNI yang menjadi korban TPPO yang dipekerjakan di sektor judi online dan penipuan online.
"Statistik kasus online scamming dari periode 2020 sampai Maret 2024 totalnya 3.703 orang,” kata Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kemenko PMK Woro Sri Hastuti Sulistyaningrum, di Jakarta beberapa hari lalu, dikutip dari Antara
Rinciannya, 1.914 orang dipekerjakan di Kamboja, 680 orang di Filipina, Thailand 364 orang, dan Myanmar ada 332 orang. Korban TPPO penipuan online ini berasal dari usia produktif, usia 28-35 tahun, berpendidikan tinggi: sarjana, melek teknologi, bahkan ada yang S2.
Data lain diungkapkan Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Benny Ramdhani, bahwa total WNI yang tinggal di Kamboja mencapai 89.440 orang, berdasarkan catatan Imigrasi. Yang tercatat sebagai pekerja hanya 17.883 orang, lalu 1.914 dipulangkan karena jadi korban TPPO yang dipekerjakan sebagai operator judi online.
Data ini, bagi Benny, menunjukkan bahwa sekarang pihaknya tak hanya fokus ke judolnya. Tapi bagaimana melawan sindikat penempatan pekerja secara ilegal.
Sebagai korban yang dipekerjakan di perusahaan judol dan online scamming, Nesi dan Adam berpesan agar tak ada lagi yang mengikuti jejaknya. Keduanya mengimbau agar selalu selektif dan selalu mempertanyakan iming-iming gaji besar.
“Jangan mau dan jangan tergoda oleh uang walaupun memang masalah terbesar kita itu kan adalah uang,” kata Adam.
“Teman-teman yang pengen ke sana, jangan berharap bahwa situ bakal enak. Yang ada kalian disiksa di sana,” ujar Nesi.
Di sisi lain, Adam menyadari bahwa fenomena WNI mudah tergiur ke negara tetangga karena di Indonesia sendiri sulit mencari pekerjaan. Banyaknya syarat atau kualifikasi dalam lowongan kerja dianggap menyulitkan warga negara mendapatkan pekerjaan.
“Makanya mereka lebih memilih untuk pergi,” kata Adam.
“Indonesia tidak punya kerja sama penempatan pekerja migran ke Kamboja, Myanmar, atau Laos. Jadi, ketika masyarakat mendapat informasi pekerjaan harus memastikan itu valid dan bisa dipastikan pemerintah Indonesia melarang penempatan di sektor judi online maupun scam,” ucap Koordinator Divisi Bantuan Hukum Migrant Care, Nur Harsono.