Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Grup percakapan beranggotakan ratusan mahasiswa lintas universitas di ponsel Kalis tiba-tiba riuh pada pekan kedua bulan puasa, Maret 2024. Keriuhan itu bukan karena ajakan buka bersama, melainkan karena tersiar kabar bahwa Bareskrim Polri mengumumkan kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO ) bermodus program magang di Jerman (Ferienjob ).
Kalis—yang meminta namanya disamarkan—merupakan mahasiswi 20 tahun di sebuah universitas di Jawa Tengah. Sementara grup chat di ponselnya yang mendadak gempar itu berisi para mahasiswa yang pernah mengikuti program Ferienjob ke Jerman pada Oktober-Desember 2023.
Mahasiswa-mahasiswa itu tak menyangka, dua bulan setelah kepulangan mereka, Bareskrim menyidik program Ferienjob dan menetapkan 5 orang sebagai tersangka TPPO. Mereka adalah Direktur PT Sinar Harapan Bangsa (SHB) Enik Waldkonig, bos CV-GEN Amsulistini Ensch, Guru Besar Universitas Jambi Sihol Situngkir, dan dua perwakilan universitas negeri peserta Ferienjob—AJ dan MZ.
Mereka dijerat Pasal 4, Pasal 11, dan Pasal 15 UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, serta Pasal 81 UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia
“Hasil yang didapatkan dari KBRI [Berlin], program ini dijalankan oleh 33 universitas yang ada di Indonesia dengan total mahasiswa yang diberangkatkan sebanyak 1.047 mahasiswa yang terbagi di 3 agen tenaga kerja di Jerman,” ujar Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro, Rabu (20/3).
Ferienjob, sesuai Pasal 14 ayat (2) Ordonansi Ketenagakerjaan Jerman, merupakan program kerja di masa libur semester. Berdasarkan keterangan KBRI Berlin, Ferienjob mencakup jenis-jenis pekerjaan yang mengandalkan tenaga fisik, seperti pengangkut barang, pencuci piring, atau porter.
Meski Polri menyebut Ferienjob diikuti mahasiswa dari 33 universitas, informasi yang dihimpun kumparan menunjukkan bahwa program tersebut diikuti pelajar dari 40 universitas lebih yang tersebar di Sumatera, Jawa, Bali, dan Sulawesi.
Penyidikan kasus tersebut membuat para mahasiswa yang mengikuti Ferienjob serasa dianggap sebagai korban TPPO. Alhasil sejumlah mahasiswa yang merasakan manfaat Ferienjob buka suara di media sosial. Mereka merasa tudingan TPPO berlebihan.
Di sisi lain, mahasiswa yang menjadi korban dan mendapat kesan buruk saat mengikuti Ferienjob, sependapat dengan Polri.
“Ada yang pro dan kontra [soal TPPO di Ferienjob]. Kami (para mahasiswa) juga mulai jarang bertukar pesan dan bertukar pendapat karena pasti akan jadi saling serang,” ujar Kalis kepada kumparan, Sabtu (30/3).
KBRI Berlin menjelaskan, Ferienjob sebetulnya bertujuan untuk mengisi kekurangan tenaga kerja fisik di berbagai perusahaan di Jerman. Itu sebabnya fokus Ferienjob bukanlah pada pengalaman budaya dan keterampilan bahasa yang akan didapat para mahasiswa. Namun, peserta Ferienjob akan mendapatkan keuntungan dengan mendapatkan uang tambahan (gaji).
Kalis menjelaskan, pro-kontra soal TPPO sebenarnya sudah terjadi sejak akhir Oktober 2023. Ketika itu, beberapa mahasiswa yang mendapat kesan buruk saat Ferienjob melapor ke KBRI di Jerman. Sejak itu, pendapat mahasiswa terbelah walau tak semua paham apa yang dimaksud dengan TPPO.
“Dari awal sudah mulai agak pecah. Ada yang merasa ini bukan TPPO, ada tim yang menganggap ini TPPO,” kata Kalis.
Mahasiswa RI Ikut Ferienjob Sejak 2022
Keikutsertaan mahasiswa Indonesia dalam Ferienjob telah berlangsung sejak 2022. Hal itu sesuai dengan penawaran program Ferienjob oleh pemerintah Jerman kepada mahasiswa Uni Eropa dan non Uni Eropa.
Mahasiswa RI yang ikut Ferienjob tahun 2022 (batch 1) salah satunya adalah Melly asal Sulawesi. Melly tahu soal Ferienjob dari temannya yang punya kerabat dosen dan kenalan di Jerman.
“Ada pamflet-pamfletnya. Di batch 1 nggak ada sosialisasi langsung ke kampus,” kata Melly yang meminta namanya disamarkan, Jumat (29/3).
Juni 2022 itu, ia tertarik dengan Ferienjob yang disebut program magang, dan mengontak CV-GEN selaku agensi penyalur. Melly lantas berhubungan dengan Amsulistini alias Ami.
Sesuai petunjuk pada pamflet yang ia terima, Melly melengkapi berkas-berkas yang diminta seperti surat keterangan aktif kuliah. Ia pun mengurus dan membayar sendiri paspor serta visa.
Adapun yang ia bayar ke CV-GEN hanya sebatas pengurusan Letter of Acceptance (LoA). Total biaya yang dikeluarkan Melly untuk mengurus berkas-berkas tersebut sekitar Rp 5 juta, di luar tiket pesawat pulang pergi ke Jerman senilai Rp 15 juta.
Sembari menunggu keberangkatan, Melly bertanya ke Ami mengenai detail pekerjaannya selama di Jerman. Namun ia diminta menunggu dulu kepastian penempatannya ketika sudah tiba di Jerman.
“Katanya, ‘Nanti tahunya [pekerjaannya] kalau sudah di Jerman,’” kata Melly menirukan ucapan Ami.
Setelah lima bulan menunggu, Melly mendapat kepastian berangkat ke Jerman pada awal Desember 2022. Keberangkatnya itu terlambat karena visanya tak kunjung keluar dan ada kendala dari Kemendikbud terkait periode Ferienjob (Oktober–Desember) yang tak sesuai dengan waktu libur semester di Indonesia yang baru dimulai akhir Desember.
Toh akhirnya Melly bisa berangkat. Total mahasiswa di batch 1 yang ikut Ferienjob sekitar 50 orang. Melly dan peserta lain tiba di Frankfurt dan ditemui Ami. Setelahnya, mereka menuju Hanover dan bertemu agensi rekanan CV-GEN. Mereka ditempatkan di apartemen di kota Walsrode.
Di Walsrode, barulah Melly dan teman-temannya diberi tahu akan bekerja di sebuah perusahaan pertanian sebagai penyortir buah beri. Jarak apartemen di Walsrode dengan tempat kerja mereka di kota Buchholz (Aller) sekitar 30 km atau 30–45 menit perjalanan.
Sebelum bekerja, mereka diminta menandatangani kontrak berisi pemotongan gaji untuk biaya akomodasi, transportasi, dan lain-lain.
Oleh karena baru tiba di Jerman pada awal Desember padahal Ferienjob dimulai sejak dua bulan sebelumnya, Melly hanya bisa bekerja selama sebulan. Alhasil, untuk menutupi biaya pribadi yang sudah ia keluarkan, termasuk tiket pesawat, agensi outsourcing yang menaunginya berupaya mengatur agar Melly mendapat jam lembur dan jadwal kerja malam hari yang bayarannya lebih besar.
“Tapi enggak tiap hari dapat [sif malam dan lembur],” ucapnya.
Selama sebulan, Melly rata-rata bekerja sekitar 10 jam, termasuk istirahat 1 jam, dengan jadwal libur 2 kali seminggu. Pada akhir masa kerja, Melly menerima gaji €2110 atau Rp 36 juta. Gaji itu dikirim perusahaan pertanian ke perusahaan outsourcing yang menaungi Melly.
Namun sesuai kontrak, jumlah itu harus dipotong untuk biaya akomodasi, transportasi, dan uang saku yang lebih dulu Melly terima dari perusahaan outsourcing. Setelah pemotongan tersebut, gaji bersih yang Melly kantongi dari perusahaan outsourcing menyusut separuhnya menjadi €1.055 atau Rp 18 juta.
Sepulangnya ke Indonesia, Melly tak mengonversi pengalaman kerjanya menjadi kuliah 20 SKS dalam program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).
Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy pun menegaskan bahwa Ferienjob bukan magang lantaran pekerjaan yang ditawarkan tidak cocok dengan jenis keahlian, bidang studi, dan kompetensi para mahasiswa yang mendaftar.
Ferienjob Meluas ke Banyak Kampus
Ferienjob yang hanya diikuti sekitar 50 mahasiswa pada 2022, mengalami kenaikan signifikan pada 2023 karena CV-GEN dan PT SHB menyosialisasikannya ke kampus-kampus dibantu oleh Guru Besar Universitas Jambi, Sihol Situngkir. Salah satu kampus yang didatangi adalah Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Sihol mendatangi UNJ pada Februari 2023. Ketika itu Sihol diterima Wakil Rektor IV UNJ Bidang Perencanaan dan Kerja Sama, Fahrurrozi. Kepada Fahrurrozi, Sihol bercerita keberhasilan program Ferienjob di beberapa kampus lain seperti Universitas Pelita Harapan, Universitas Atma Jaya, Universitas Jayabaya, dan Universitas Binawan.
“SS (Sihol Situngkir) pertama kali datang bulan Februari 2023, langsung menawarkan program magang internasional di Jerman,” ujar Sekretaris Edura UNJ, Syaifuddin, kepada kumparan, Rabu (27/3).
Sihol tak cuma sekali ke UNJ. Ia kembali lagi ke universitas itu pada 6 Mei 2023 sembari memperkenalkan PT SHB dan CV-GEN, serta mengajak salah satu mahasiswa asal Jerman untuk bercerita tentang Ferienjob.
Saat presentasi di depan para dekan prodi tersebut, Sihol dan Enik Waldkonig dari PT SHB menegaskan bahwa mereka adalah perusahaan berbadan hukum. Mereka juga menyebut Ferienjob sebagai program magang internasional yang telah diakui pemerintah Jerman dan Indonesia
Demi meyakinkan UNJ, Sihol dalam materi presentasinya juga mencantumkan jabatannya sebagai Staf Ahli Mensesneg.
UNJ teryakinkan dengan presentasi itu dan menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan PT SHB pada 19 Mei 2023, yang dilanjutkan dengan sosialisasi kepada mahasiswa. Di situ Sihol menyebut Ferienjob sebagai program magang sembari menyitir kebijakan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).
Ia pun mengiming-imingi konversi progam setara 20 SKS, plus imbalan gaji bersih Rp 30–40 juta per bulan bagi para mahasiswa yang mengikuti Ferienjob. Ini membuat ratusan mahasiswa UNJ mendaftar ikut seleksi Ferienjob, dan 93 di antaranya lolos tes kemampuan dasar bahasa Inggris.
Mahasiswa yang lolos kemudian membayar biaya pendaftaran dan perizinan kerja ke CV-GEN dan SHB sejumlah €350 atau Rp 6 juta. Di luar itu, mereka juga harus membayar sendiri biaya paspor, visa, dan tiket pesawat Rp 25 juta.
Sambil menunggu diberangkatkan, para mahasiswa itu diberi pendampingan serta pelatihan bahasa dan budaya oleh UNJ. Sebulan sebelum berangkat, 12 September 2023, UNJ meminta jaminan kepada PT SHB agar para mahasiswanya selamat dan tak mengalami tindak kekerasan selama bekerja.
Seminggu kemudian, 12 September 2023, PT SHB memberikan jaminan bahwa tidak akan ada unsur kekerasan seksual, kekerasan fisik, maupun perdagangan manusia terhadap para peserta Ferienjob.
Tak cuma ke UNJ, PT SHB dan CV-GEN juga melakukan sosialisasi Ferienjob ke kampus-kampus lain, termasuk di Jawa Tengah. Kalis merupakan salah satu mahasiswa di Jateng yang ikut sosialisasi melalui Zoom pada Mei 2023.
Sama seperti di UNJ, di Jateng Ferienjob pun diperkenalkan sebagai program magang. Namun, dari penjelasan dalam sosialisasi itu, Kalis menyadari bahwa Ferienjob sebetulnya benar-benar untuk bekerja, bukan magang.
“Bahasanya diperhalus jadi magang. Padahal kalau mendengar secara saksama, sangat jelas itu untuk bekerja,” ucap Kalis.
Menurut Kalis, total mahasiswa kampusnya yang ikut Ferienjob tak sampai 50 orang. Mereka pun membayar biaya izin kerja ke PT SHB dengan nominal yang sama, €350. Mereka juga membayar biaya paspor, visa, sampai asuransi sekitar Rp 7–10 juta di luar tiket pesawat.
Sebelum berangkat, Kalis dan teman-temannya diminta mengisi formulir untuk mengetahui pengalaman dan kemampuan yang mereka miliki.
Kalis yang berpikir formulir tersebut layaknya tes penempatan, berharap bisa bekerja di perusahaan terkait makanan karena ia punya pengalaman sebagai juru masak. Sementara rekannya yang punya kemampuan berkendara berharap bekerja sebagai sopir. Nyatanya formulir itu sekadar formalitas.
“Akhirnya mayoritas peserta ditempatkan ke perusahaan-perusahan logistik. Ada juga yang ditempatkan di kafe, toko bahan makanan atau parfum,” kata Kalis.
Kejanggalan Mulai Menyeruak
Informasi perusahaan tempat Kalis dan teman-temannya bekerja diumumkan saat mereka masih di Indonesia. Namun rincian pekerjaannya belum disebutkan. Detail itu baru diinfokan setibanya mereka di Jerman.
“Kami hanya tahu bekerja di sini, gajinya segini. Untuk detailnya nanti ketika sudah tanda tangan kontrak dengan perusahaan [di Jerman], baru dijelaskan oleh supervisor atau manajernya,” kata Kalis.
Di Jerman, Kalis dan kawan-kawannya dibagi-bagi oleh PT SHB ke tiga agensi rekanannya, yakni Runtime, RAJ, dan Brisk.
UNJ kemudian mendapat laporan bahwa dalam penandatanganan kontrak di Jerman—yang hanya tersedia dalam bahasa Jerman, terdapat klausul bahwa PT SHB memotong gaji para mahasiswa. Selain itu, honor yang diterima juga tidak sesuai dengan sosialisasi program.
“Mahasiswa dapat Rp 15 juta, dipotong [PT SHB] jadi hanya 10 juta,” ujar Syaifuddin. Angka itu jauh dari jumlah yang dijanjikan sebesar Rp 20-30 juta.
Kalis juga merasakan pemotongan gaji itu. Awalnya ia mengira pemotongan tersebut hanya untuk mengganti biaya akomodasi sebesar €19–20 per hari plus uang saku per minggu. Namun ternyata ada komponen pemotongan yang tidak jelas seperti uang tukang, dan lain-lain.
“Karena memang perusahaan di Jerman mengirim gajinya semua ke agensi, nggak ada yang langsung ke mahasiswa. Itulah celah mereka (agensi) bisa potong-potong,” kata Kalis.
Menurutnya, kekisruhan yang disebabkan agensi sudah tampak saat peserta program masih di Indonesia, sewaktu pengumuman penempatan kerja. Ada mahasiswa yang namanya tidak tercantum sehingga ia tidak tahu akan bekerja di perusahaan apa.
Saat protes ke PT SHB dan CV-GEN, mahasiswa-mahasiswa itu diminta “yang penting datang dulu ke Jerman, baru nanti akan dibagi pekerjaan tetapnya.”
Mengikuti saran agensi itu, para mahasiswa yang tidak muncul namanya banyak yang nekat pergi lebih dulu ke Jerman.
Ada pula kasus manajer perusahaan yang meminta agar mahasiswa datang lebih cepat untuk mengisi kuota. Alhasil mahasiswa yang seharusnya mendapat slot bekerja di perusahaan tersebut dan datang sesuai jadwal yang diminta, harus tergeser oleh mahasiswa yang datang duluan.
“Jadi acak-acakan, chaos. Ini yang akhirnya menyebabkan ada mahasiswa yang luntang-lantung. Ada beberapa teman yang sampai Jerman itu nganggur 2–3 minggu baru akhirnya dapat kerja. Pihak-pihak agensi di Jerman dan Indonesia memperparah kondisi dengan slow response,” jelas Kalis.
Pengalaman luntang-lantung ini dialami Ramayana Monica, mahasiswi 22 tahun asal Universitas Jambi. Monica yang tiba di Frankfurt, Jerman, pada 11 Oktober 2023 harus menganggur selama tiga minggu sampai 30 Oktober.
Ia pun diminta berpindah-pindah tempat tinggal sekitar 4–5 kali. Baru pada 31 Oktober, Monica mendapat kontrak kerja di sebuah perusahaan logistik.
“Saya waktu itu bertugas mengambil barang dari rak-rak. Berat paketnya mulai 5–30 kilogram. Saya harus naik turun tangga. Durasi kerja dalam sehari 8–10 jam. Pekerjaannya berat, membutuhkan tenaga yang besar,” ujar Monica.
Belum tuntas masa kerjanya, Monica diputus kontrak pada 2 Desember. Ia kemudian disalurkan ke pekerjaan baru di bidang pertanian. Lokasinya di perbatasan Jerman. Namun ia merasa janggal karena tidak ada aktivitas pertanian pada musim salju. Selain itu, ia pun tidak memiliki akomodasi di sana.
Akhirnya Monica dipindah kerja lagi. Kali ini ke Hanover, di sebuah tempat penyortiran buah. Di situ ia diberi akomodasi dan transportasi. Namun jarak apartemen yang ia tinggali dengan tempat kerjanya mencapai 3 jam perjalanan dengan transportasi publik. Saat bekerja 8–10 jam tiap harinya, Monica pun harus berdiri berjam-jam di tengah cuaca yang dingin.
Keadaan itu tak berlangsung lama. Monica hanya beberapa hari di penyortiran buah. Ia kembali dipindah kerja ke Frankfurt. Kali itu, selama beberapa hari di akhir Desember, ia diminta membantu renovasi apartemen milik salah satu pimpinan agensi. Menurut Monica, kerjanya seperti kuli bangunan.
“Saya mengorek dinding, mengorek wallpaper, mencabut lantai,” ucapnya.
Monica kembali ke Indonesia pada 30 Desember. Namun ia masih punya masalah, sebab ia diminta melunasi dana talangan €450 atau Rp 7,6 juta.
Ferienjob: Perdagangan Orang atau Penipuan?
Saat Monica dan beberapa mahasiswa lain luntang-lantung, Kemendikbud Ristek mengendus ketidakberesan Ferienjob. Akhir Oktober 2023, Plt Dirjen Diktiristek Nizam mengirim surat ke seluruh perguruan tinggi agar menghentikan program Ferienjob setelah berkoordinasi dengan KBRI Berlin.
Dalam suratnya, Kemendikbud Ristek menyatakan bahwa mahasiswa yang mengikuti Ferienjob tidak mendapat aktivitas yang mendukung proses pembelajaran. Sebaliknya, “justru banyak ditemukan pelanggaran terhadap hak mahasiswa. Program Ferienjob juga tidak memenuhi kriteria untuk dapat diketegorikan dalam aktivitas MBKM.”
Setelah surat Dirjen Dikti Ristek terbit, UNJ langsung mengirim dua dosennya untuk mengetahui kondisi para mahasiswa. UNJ juga berkoordinasi dengan KBRI Berlin pada 3 November 2023, dan mendapat kepastian bahwa Ferienjob bukanlah magang, tetapi bekerja.
Dalam pernyataan tertulisnya, KBRI Berlin menegaskan bahwa Ferienjob tidak ada hubungannya dengan kegiatan akademis; dan bahwa kontrak kerja harus dibuat dalam bahasa yang dipahami calon peserta, diteken sebelum berangkat ke Jerman, serta memuat perkara penting seperti jam kerja, gaji, masa kerja, dan jenis pekerjaan.
Persyaratan kontrak kerja seperti yang disebut oleh KBRI Berlin sama sekali tidak dialami oleh Monica. Ia meneken kontrak baru di Jerman (bukan di Indonesia) dalam bahasa Jerman yang tidak ia mengerti. Monica bahkan berkali-kali diputus kontrak dan berganti kontrak selama di Jerman.
Setelah Ferienjob tercium bermasalah, KBRI Berlin menyerahkan soal kepulangan mahasiswa ke pihak kampus. Universitas kemudian bertanya ke para mahasiswanya. Hanya 14 mahasiswa yang ingin pulang lebih cepat pada November 2023, sedangkan mayoritas sisanya mengaku menikmati Ferienjob dan pulang sesuai jadwal pada 30 Desember.
“Mahasiswa UNJ mereka happy, enjoy, bisa kenalan sama mahasiswa dari berbagai negara,” tutur Syaifuddin.
Ia pun berkonsultasi dengan rekannya di lembaga bantuan hukum mengenai pelanggaran dalam Ferienjob, dan menilai kasus ini lebih kental unsur penipuannya dari pihak Sihol, PT SHB, dan CV GEN lantaran beberapa hal yang diterima mahasiswa tidak sesuai sosialisasi.
“Kalau TPPO unsurnya eksploitasi, dalam arti dipekerjakan tanpa bayaran, tempat kerja, dan makanan yang layak; kemudian disekap, ada kekerasan. Sementara mahasiswa kami tidak mengalami eksploitasi, kekerasan, penyiksaan, dan penyekapan selama magang di Jerman,” papar Syaifuddin.
Kalis mengamini hal itu. Meski ia merasa agensi bermasalah, namun secara keseluruhan ia menikmati program Ferienjob. Kalis diperlakukan perusahaan tempatnya bekerja dengan baik, misalnya dengan tidak membebaninya paket-paket berat untuk diangkat, dan menempatkannya di kantin khusus muslim. Itu sebabnya Kalis tak merasa dieksploitasi.
Direktur Eksekutif Migrant Watch Aznil Tan juga tak sependapat dengan label TPPO pada Ferienjob. Menurutnya, unsur TPPO terpenuhi apabila korban merasa dieksploitasi, teraniaya, dan menderita psikis berat.
“Ada mahasiswa melapor bahwa dia mendapat pekerjaan yang cukup berat. Bisa jadi mahasiswa tersebut tidak tahu bahwa Ferienjob adalah program kerja buruh kasar di pabrik, restoran, bandara, kargo, atau tempat lainnya. Bisa juga mereka tidak siap secara fisik untuk bekerja di suhu musim dingin,” kata Aznil.
Aznil pun meminta polisi menjernihkan hal ini. “Jika memang ada agensi menjanjikan mahasiswa bekerja dan belajar di Jerman, atau ada pelanggaran prosedur, itu yang mesti ditelusuri kepolisian. Bukan ujug-ujug melabeli TPPO.”
Di sisi lain, Monica sebagai korban dan pelapor jelas merasa dieksploitasi dan tertekan. Menurutnya, “Yang dijanjikan [agensi] adalah pekerjaan yang sangat mudah. Bahasa mereka, anak TK saja bisa.”
Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Erdi A. Chaniago menjelaskan, penggolongan kasus ke tindak pidana perdagangan orang (TPPO) ialah karena “empat mahasiswa peserta Ferienjob yang melapor ternyata dipekerjakan secara nonprosedural sehingga menyebabkan mahasiswa tersebut tereksploitasi.”
Hal itu sesuai dengan UU No. 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, bahwa tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan—antara lain—penipuan yang mengakibatkan orang tereksploitasi adalah termasuk perdagangan orang .
Kombes Erdi menyatakan, fokus penyelidikan dan penyidikan TPPO terkait Ferienjob adalah terhadap empat mahasiswa yang melapor ke KBRI Berlin, bukan terhadap seluruh mahasiswa peserta Ferienjob. Namun, untuk mengantisipasi adanya kasus serupa dengan meminta polda di sejumlah wilayah untuk melakukan penyelidikan, termasuk ke kampus-kampus.
Koordinator Advokasi Migrant Care Siti Badriyah menyatakan, kasus Ferienjob tak bisa digeneralisasi bahwa semua pesertanya merupakan korban TPPO. Perlu dipilah-pilah untuk menentukan siapa saja peserta Ferienjob yang terindikasi TPPO dari beberapa faktor berikut:
Dari butir-butir pertanyaan tersebut, apabila ditemukan ketidaksesuaian, maka mahasiswa peserta Ferienjob tersebut terindikasi mengalami TPPO walaupun secara psikologi merasa baik-baik saja.
“Tapi kalau dia menerima informasi sesuai dengan yang dijanjikan, ya tidak termasuk TPPO. Mungkin mayoritas korban tidak sadar bahwa dia menjadi korban TPPO,” kata Siti.
Meski Ferienjob tercoreng, Menko PMK Muhadjir menilai program tersebut sesungguhnya bermanfaat bila dijalankan sesuai prosedur, dengan mematuhi ketentuan pemerintah Indonesia dan Jerman, serta menghindari hal-hal yang mengarah ke TPPO.
“Ferienjob bisa memberi pengalaman kerja kepada anak-anak muda untuk membentuk mental kerja dan belajar etos kerja kepada pekerja bangsa lain yang lebih dulu maju,” tutup Muhadjir.
***
Laporan dari Jambi oleh M. Sobar Alfahri.