Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
***
Abdullah Azwar Anas, kader PDIP dan Menteri Pendayagunaan Aparatur dan Reformasi Birokrasi, hanya tersenyum dan berlalu saat ditanya wartawan terkait dirinya yang tak ikut dipanggil ke kediaman Prabowo di Kertanegara, Jakarta Selatan. Azwar menerima pertanyaan itu saat datang ke Istana Negara untuk menghadiri acara makan siang bersama Jokowi, Jumat (18/10), dua hari sebelum Prabowo dilantik sebagai presiden.
Dua hari sebelumnya, 14 dan 15 Oktober 2024, Prabowo Subianto memanggil seratusan tokoh dan politisi ke Kertanegara dalam rangka mempersiapkan pemerintahannya. Orang-orang itulah yang kemudian dilantik sebagai para pembantunya. Tak ada Azwar Anas di antara mereka.
Nama Azwar Anas sebelumnya masuk dalam bursa menteri kabinet. Bupati Banyuwangi periode 2016–2021 itu disinyalir akan tetap mengampu Kementerian PANRB di kabinet Prabowo.
Seperti dimuat dalam liputan khusus kumparan edisi Atur-atur Nomenklatur dan Menteri Kabinet Prabowo, Azwar Anas digadang-gadang menjadi perwakilan PDIP di pemerintahan Prabowo. Selain dia, ada pula nama kader PDIP lain yang mencuat, yakni Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey.
Satu lagi tokoh yang disebut akan menjadi representasi PDIP di kabinet ialah Jenderal (Purn) Budi Gunawan yang kala itu masih menjabat sebagai Kepala Badan Intelijen Negara. Budi Gunawan dikenal dekat dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri karena pernah menjadi ajudannya semasa Mega menjabat Presiden RI pada 2001–2004.
Nyatanya, sampai tuntas Prabowo memanggil calon-calon pembantunya dan memberikan pembekalan di Hambalang dua hari penuh, 16 dan 17 Oktober, tak ada satu pun kader PDIP yang tampak di sana. Hanya ada Budi Gunawan yang kemudian diumumkan Prabowo sebagai Menko Politik dan Keamanan. Namun, Budi Gunawan bukanlah kader PDIP meski pernah jadi ajudan Mega.
“Pak Budi Gunawan bukan pemilik KTA (kartu tanda anggota) PDIP sehingga beliau bukan anggota PDIP,” kata Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.
Dengan demikian, bila ditilik berdasarkan kader partai di kabinet, PDIP tak punya perwakilan di Kabinet Merah Putih. Mereka berdiri di luar kabinet.
Megawati dan Prabowo Gagal Bertemu
Sinyal batalnya PDIP masuk kabinet ialah gagalnya pertemuan Megawati dan Prabowo yang semula direncanakan berlangsung sebelum pelantikan Prabowo sebagai presiden pada 20 Oktober. Padahal, konon pertemuan kedua tokoh politik yang punya sejarah panjang ini bisa jadi penentu peta politik ke depan.
Semula, pertemuan Mega-Prabowo itu diyakini akan segera terealisasi, sebab Pramono Anung, Sekretaris Kabinet periode 2015–2024 yang juga eks Sekjen PDIP, datang ke Kertanegara berbarengan dengan pemanggilan para calon menteri dan wamen, Selasa (15/10), sebagai utusan Megawati.
Pramono disebut menjadi perantara pesan yang dipercaya mengatur pertemuan Megawati dan Prabowo yang direncanakan berlangsung Rabu malam, 16 Oktober. Nyatanya pertemuan tersebut tersendat sehingga dijadwalkan kembali keesokannya, Kamis, 17 Oktober, bertepatan dengan ulang tahun Prabowo.
Desas-desus soal lokasi pertemuan lantas mengemuka: antara kediaman Megawati di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat; atau di Istana Batu Tulis, Bogor; atau di sebuah resto di Jakarta Pusat.
Namun, lagi-lagi, rencana tinggal rencana. Pertemuan Prabowo dan Megawati urung terwujud. Seperti disinggung dalam liputan khusus edisi Kabinet 109 Anggota , rencana silaturahmi kedua tokoh itu tak kunjung terjadi karena Megawati disebut-sebut belum bersedia. Padahal utusan PDIP dan Gerindra telah saling bertemu dan intens membahas rencana pertemuan tersebut.
Beberapa sumber bahkan menyebut bahwa Puan Maharani, Ketua DPP PDIP yang juga putri Megawati, mencoba membujuk ibunya bertemu Prabowo. Kamis malam (17/10), Puan Maharani sempat datang ke Teuku Umar. Tapi niat meluluhkan hati Megawati tak menuai hasil. Pertemuan Mega dan Prabowo tetap urung terwujud sampai Prabowo dilantik.
Di sisi lain, menurut seorang kader PDIP, rencana pertemuan Mega dan Prabowo bukannya batal, melainkan tertunda. Nantinya akan ada penjadwalan ulang.
Hal serupa sempat dikatakan Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah, bahwa Megawati sudah mengagendakan pertemuan dengan Prabowo, meski belum disebutkan persis waktunya.
Pada akhirnya, PDIP melepas kursi di Kabinet Merah Putih bentukan Prabowo meski kesempatan bergabung telah terbuka. Menurut Juru Bicara PDIP Chico Hakim, pihaknya sejak awal tak kasak-kusuk minta masuk kabinet Prabowo, sebab mereka memang mempersiapkan diri sebagai penyeimbang pemerintah.
“Memang ada pembicaraan sebelumnya untuk kami turut bergabung [ke kabinet]. Apalagi banyak kader kami yang memang memiliki kompetensi, teruji, dan terbukti di banyak bidang pada level jabatan menteri. Namun, pada akhirnya, kami memilih untuk tetap berada di luar kabinet,” kata Chico kepada kumparan, Rabu (23/10).
Keputusan PDIP tak masuk kabinet bukannya tanpa perbedaan pandangan di internal partai. Beberapa sumber mengatakan, perkara kabinet ini bikin internal PDIP terbagi tiga: menolak masuk kabinet, setuju masuk kabinet, dan moderat.
Kelompok yang disebut ingin bergabung dengan kabinet adalah Puan Maharani yang dianggap punya kedekatan dengan Prabowo. Puan pula—bersama Said Abdullah dan Ahmad Basarah—yang sebelumnya intens bertemu elite Gerindra Sufmi Dasco Ahmad dan Ahmad Muzani untuk menjajaki bergabungnya PDIP ke kabinet Prabowo.
Situasi demikian membuat Mega memercayakan penugasan pembawa pesan untuk Prabowo kepada Pramono Anung yang dianggap lebih netral. Itulah sebabnya Pram muncul di Kertanegara di tengah kesibukan Prabowo memanggil calon-calon menteri dan wamen, 15 Oktober.
Chico menjelaskan, perbedaan pandangan sebelum menentukan sikap politik adalah hal biasa yang terjadi di semua organisasi. Namun, ujarnya, “Karakter PDIP adalah ketika satu sikap sudah diambil resmi dan menjadi keputusan, apalagi itu sudah menjadi keputusan dari Ibu Ketum, [maka diikuti].”
Sikap PDIP yang akhirnya memutuskan berada di luar kabinet disinyalir karena beberapa faktor. Salah satunya, menurut sumber parpol, adalah karena masih banyak menteri Jokowi yang bertugas kembali dalam kabinet Prabowo. Ini membuat pemerintahan Prabowo untuk saat ini masih dianggap kental dengan nuansa Jokowi.
Faktor lainnya diduga karena saat pembentukan kabinet, PDIP masih dalam status menggugat KPU di PTUN Jakarta. Gugatan tersebut mempermasalahkan administrasi dan landasan aturan pencalonan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, sebagai wakil Prabowo.
Gugatan ke PTUN itu baru diputus empat hari usai pelantikan Prabowo-Gibran, 24 Oktober; padahal seharusnya diputus sebelum pelantikan, tepatnya 10 Oktober sebagaimana permohonan Tim Hukum PDIP. Alasan mundurnya tanggal putusan itu ialah karena hakim sakit. Dan putusannya adalah: gugatan PDIP tidak dapat diterima.
Ketua Tim Hukum PDIP Gayus Lumbuun mengatakan, berdasarkan asas veritate habetur, mereka menghargai putusan pengadilan kendati mempertanyakan integritas hakim.
Gayus belum membeberkan apakah akan ada upaya hukum lanjutan atau tidak dari PDIP. Ia hanya mengatakan, “Semangat kami: Prabowo yes, Gibran no.”
Status gugatan di PTUN yang disinyalir memengaruhi putusan PDIP tak masuk kabinet juga diucapkan Ketua DPP PDIP Deddy Yevri Hanteru Sitorus.
“Kami masih berpendapat bahwa keputusan KPU yang merevisi PKPU, yang meloloskan Gibran tanpa mematuhi prosedur yang diatur oleh regulasi yang ada, bermasalah. Dan masih menjadi sengketa hukum yang belum selesai,” ujar Deddy dalam keterangannya.
Pengamat komunikasi politik Universitas Brawijaya, Prof. Anang Sujoko, memiliki analisis serupa. Menurutnya, faktor penghambat PDIP bergabung secara utuh ke kabinet Prabowo adalah Jokowi dan Gibran—wakil presiden yang sejak awal tak dikehendaki, yang lahir dari putusan bermasalah.
Sementara terkait hubungan Mega dan Prabowo, Anang melihat tak ada problem komunikasi antara keduanya. Terlebih, mereka punya sejarah sebagai pasangan capres-cawapres dalam Pilpres 2009.
“Karakter PDIP sebetulnya tergantung Megawati. Sementara kalau kita lihat komunikasi Megawati dengan Prabowo, sebetulnya tidak ada masalah. Tetapi ada barrier politik yang masih cukup mengganggu [bagi PDIP], yaitu track record hubungannya dengan Jokowi,” kata Anang.
Alasan lain, ujar Deddy Sitorus, nomenklatur pemerintahan baru cukup besar sehingga akan menambah kompleksitas jika PDIP bergabung ke kabinet saat ini. Toh, menurut Deddy, meski di luar kabinet, PDIP akan tetap membantu pemerintahan Prabowo lewat parlemen.
“Dukungan itu tidak harus dilakukan dengan menjadi anggota kabinet, tetapi bisa dengan memberikan kontribusi melalui pandangan/masukan yang konstruktif [di DPR],” kata Deddy.
Tidak masuk kabinet saat ini bukan berarti tidak bisa masuk kabinet sepanjang pemerintahan Prabowo. Kans PDIP untuk bergabung disebut masih terbuka dan hanya tertunda.
Sumber parpol mengatakan, PDIP berpeluang bergabung melalui perombakan kabinet usai evaluasi setahun pemerintahan Prabowo. Penundaan ini disebut karena Megawati ingin sikap politik partai ditetapkan secara resmi melalui Kongres PDIP yang direncanakan digelar April 2025.
PDIP Diharapkan Jadi Oposisi
Posisi PDIP yang memilih berada di luar kabinet kemudian dikaitkan dengan ketidakhadiran Megawati pada pelantikan Prabowo dengan alasan kurang sehat. Namun Deddy membantah absennya ketua umumnya di pelantikan presiden sebagai sinyal oposisi.
Namun sebagian kader PDIP menilai diksi “oposisi” sebetulnya tepat, karena artinya mereka tetap mendukung pemerintahan cara pengawasan di parlemen.
“Kami dukung pemerintahan Pak Prabowo dengan cara yang benar dalam persepsi politis ideologis … Kami ingin fungsi checks and balances, terutama dalam hal legislasi, anggaran, dan pengawasan [bisa berjalan],” kata politikus PDIP Aria Bima di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Minggu (20/0).
Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis Agung Baskoro menilai, PDIP yang memiliki sejarah panjang dan kental dengan prinsip ideologis, mestinya tetap jadi penyeimbang pemerintah dan tak terlalu merapat ke pemerintahan.
“Dalam konteks pilpres atau konteks sekarang, saya melihat posisi PDIP ini [pasnya] di tengah sebagai penyeimbang. Jadi tidak di dalam, tapi juga tidak terlalu di luar, melainkan di tengah untuk memastikan checks and balances berjalan,” kata Agung kepada kumparan.
PDIP disebut Agung berada di “tengah” karena meski tak ada perwakilan kadernya yang bergabung di kabinet, tapi ada orang-orang yang terafiliasi dan dekat secara historis dengan PDIP, misalnya Menko Polkam Budi Gunawan dan Menkeu Sri Mulyani. Meski mereka bukan anggota PDIP, tapi punya kedekatan dengan Megawati.