Dokter Ahli Obesitas: Orang Indonesia Terobsesi dengan Makanan

3 Februari 2019 12:01 WIB
clock
Diperbarui 21 Maret 2019 0:05 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
dr. Grace Judio-Kahl, Ahli Obesitas. Foto: Dok. Fitria
zoom-in-whitePerbesar
dr. Grace Judio-Kahl, Ahli Obesitas. Foto: Dok. Fitria
ADVERTISEMENT
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan, tren obesitas di Indonesia terus meningkat. Dalam Riskesdas 2007, proporsi obesitas di Indonesia berada di angka 10,5 persen.
ADVERTISEMENT
Sementara dalam Riskesdas 2013, proporsinya mencapai 14,8 persen. Lalu, semakin meningkat di 2018 dengan proporsi 21,8 persen. Salah satu kasus yang menyita perhatian adalah obesitas yang dialami Titi Wati. Perempuan yang berdomisili di Palangka Raya, Kalimantan Tengah itu harus dioperasi karena menderita obesitas. Berat badannya mencapai 220 kilogram.
Titi Wati (kiri), wanita tergemuk di Kalimantan Tengah bersama Herlina (kanan) anak kandungnya saat beraktivitas sehari-hari di kediamannya. Foto: Antara Kalteng/Adi Wibowo
Ahli Obesitas, dr. Grace Judio-Kahl mengatakan, pola makan yang tidak sehat menjadi salah satu penyebab tingginya obesitas di Indonesia. Menurut dia, orang Indonesia kerap lapar mata. Dalam hal ini, makan walaupun sebenarnya tidak lapar.
Penjelasan selengkapnya seputar obesitas, dapat dilihat dalam petikan wawancara dr. Grace Judio-Kahl berikut ini. Berdasarkan laporan Kemenkes, obesitas di Indonesia meningkat. Penyebabnya menurut Anda? Saya melihat ada tren sosial. Kalau di kota-kota kecil insiden gemuk itu tinggi banget. Kota besar iya benar. Saya ke Karawang (Jawa Barat) saja, ternyata orangnya gede-gede. Yang dimakan bukan pizza.
Infografis, Proporsi berat badan lebih dan obese pada dewasa >18 tahun, 2007-2018. Foto: Dok. Kemenkes
Karena orang Indonesia itu dari perubahan ekonomi yang tadinya tidak mampu menjadi mampu. Dan orang Indonesia terobsesi dengan makanan karena 350 tahun dijajah Belanda. Fenomena lain yang membuat tingginya angka obesitas di Indonesia? Yang kedua itu (orang Indonesia) hidupnya takut kelaparan. Orang itu selalu makan, wisata kuliner itu hanya di Indonesia. Toko oleh-oleh isinya makan semuanya.
ADVERTISEMENT
Kalau pacaran ditanya sudah makan atau belum. Makanan itu pusat semuanya di Indonesia. Kalau meeting harus ada makanannya. Harus ada box (makanan), ada yang tanya ada makanan atau enggak (kalau meeting). Bagaimana dengan pola makan orang Indonesia? Makanan orang Indonesia itu kebanyakan digoreng dan lebih banyak karbohidratnya. Karbohidrat itu relatif murah daripada misalnya, protein. Konsumsi protein lebih kecil. Misalnya cireng dan pisang goreng. Pisangnya kecil tepung banyak. Jadi kebentuk habit (kebiasaan). Orang yang katanya miskin juga bisa gemuk. Makannya apa, ya kalau tidak mie, karbohidrat kontribusinya besar. Misalnya, makannya nasi plus bihun, perkedel.
ADVERTISEMENT
Kalau faktor gen?
Deoxyribonucleic acid (DNA) juga bisa kejadian. Cara tubuh metabolisme makanan berbeda. Ada yang pembakarannya lambat. Ada yang tubuhnya mengikat lemaknya itu lebih kuat dan tinggi. Dari gen juga bisa. Gen juga dipengaruhi lingkungan. Data Kemenkes tidak merata, Papua obesitas juga tinggi?
Infografis, Proporsi obesitas pada dewasa umur >18 tahun menurut Provinsi, 2018. Foto: Dok. Kemenkes
Papua tinggi kalau itu beda gaya hidupnya dari banyak aktif menjadi tidak aktif. Mereka masih makan karbohidratnya. Ada korelasi tingkat kemiskinan dengan potensi obesitas? Enggak ada. Kasusnya Arya di Karawang itu masalahnya lingkungan. Anak dimanjakan orang tua. Kemudian ibunya takut anaknya kelaparan.
ADVERTISEMENT
Apakah ini berkaitan dengan psikologi? In the back of their mind, kalau pagi harus makan banyak, kalau enggak, tidak bisa kerja, itu sudah tertanam. Akses ke informasi makanan sehat tidak tahu. Sayur mahal pula. Yang dimakan jengkol, pete (di kasusnya Arya). Bagaimana cara mengantisipasi obesitas? Mengenali kenyang dan lapar. Kalau lapar itu makan, kalau tidak lapar tidak makan. Seringkali terjadinya lapar mata. Tidak lapar tapi makan. Yang dimakan usahakan tidak terlalu banyak gula, tepung, atau berlemak. Kalori besar tapi volumenya kecil. Apalagi kalau olahan tepung digoreng.
Ilustrasi penjual gorengan Foto: Wikimedia Commons
Lalu banyak gerak. Usahakan jangan terlalu malas. Panas dan lembat, keringetan di luar tidak oke, tidak ada trotoarnya. Infrastruktur tidak mendukung. Mungkin bisa di desa. Menyehatkan jantung 2-3 kali per minggu, 20-30 per sesi. Belum cukup menurunkan berat badan. Kalau turunkan berat badan super intens Kalau sudah terlanjur obesitas? Kalau sudah obesitas, dibalik. Bongkar tabungan, dengan cara defisit, energi lebih besar dari asupan. Pantang gula, tepung, minyak. Disesuaikan dengan kebutuhan energi, mau defisit berapa biar turun berapa kilogram.
jarang Olahraga Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Perkembangannya dengan diet yang bermacam-macam. Lanjutannya, bisa diet berdasarkan durasi, food combining, golongan darah, diet rendah kalori WHO dan Kemenkes. Bagaimana menghitung kalori kebutuhan tubuh? Rumusnya pakai Harris Benedict, tapi itu perkiraan. Ada banyak kembangannya untuk Harris Benedict, tetapi selalu ada tinggi, berat, usia, dan jenis kelamin. Tergantung aktivitasnya juga. Paling oke pakai namanya Indirect Calorimetry, diperiksa 24 jam. Berapa kebutuhan kalori per hari? Untuk pria rata-rata Indonesia 1800 - 2000 kalori, sementara untuk wanita 1600 - 1800 kalori. Itu tanpa aktivitas (hanya untuk bertahan). Kalau contoh menu setiap harinya dengan kalori di atas berdasarkan acuan gizi balance Kemenkes.
Makanan sehat Indonesia. Foto: Thinkstock
Pagi: Roti gandum dua lembar diisi telur selada atau tomat. Minum air putih, teh, atau kopi, gula rendah kalori. Buah satu porsi apel atau pir satu atau satu mangkuk kecil. Siang dan malam: Nasi, sayur, dan lauk, dengan catatan tidak ada nasi dengan karbohidrat lain plus bakwan, kerupuk, atau sambal kentang tidak boleh. Nasinya satu mangkuk kecil. Bisa kacang-kacangan (satu genggam) in between untuk camilan.
ADVERTISEMENT