Duduk Perkara PK Moeldoko yang Ditolak MA soal SK Kepengurusan Demokrat

11 Agustus 2023 8:07 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko. Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
ADVERTISEMENT
Mahkamah Agung (MA) menolak Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan kubu Moeldoko terkait kepengurusan Partai Demokrat kepemimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Kepengurusan Demokrat versi Moeldoko dari hasil KLB di Deli Serdang pada 5 Maret 2021 dinyatakan tidak sah.
ADVERTISEMENT
"Tolak," demikian bunyi putusan Peninjauan Kembali (PK) yang dibacakan oleh majelis hakim MA pada 10 Agustus 2023.
Gugatan tersebut diadili oleh Yosran selaku ketua majelis hakim, dengan anggota Lulik Tri Cahyaningrum dan Cerah Bangun.
Dalam KLB Demokrat yang digelar di Deli Serdang pada 5 Maret 2021, Moeldoko ditunjuk sebagai Ketua Umum dan Jhonni Allen Marbun sebagai Sekjen.
Namun, Menkumham Yasonna Laoly menolak mengesahkan SK hasil KLB Demokrat Deli Serdang itu.
Moeldoko cs pun menggugat Yasonna ke PTUN. Gugatan itu tidak diterima dengan alasan tidak dapat memasuki persoalan perselisihan yang masih harus diputus di internal partai.
Gugatan itu juga ditolak di tahap kasasi. Lalu, Moeldoko mengajukan PK ke MA pada 3 Maret 2023, sehari setelah Demokrat resmi menyatakan mendukung Anies Baswedan sebagai bacapres. Kini di tingkat PK, gugatan Moeldoko kembali ditolak.
ADVERTISEMENT

Pertimbangan MA Tolak PK Moeldoko

Gedung Mahkamah Agung Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Juru bicara MA Suharto membeberkan pertimbangan hukum penolakan PK Moeldoko tersebut. Hakim PK menilai, soal keabsahan kepengurusan partai, seharusnya diselesaikan di Mahkamah Partai. Moeldoko dinilai belum melakukan itu.
"Pada hakikatnya sengketa a quo [sengketa Moeldoko vs AHY] merupakan masalah penilaian keabsahan kepengurusan Partai Demokrat, antara Penggugat dan Tergugat II Intervensi, sehingga merupakan masalah internal Partai Demokrat yang harus diselesaikan terlebih dahulu melalui Mahkamah Partai Demokrat sebagaimana dimaksud Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik," kata Suharto dalam konferensi persnya, Kamis (10/8).
"Jadi, secara umum ada mekanisme Mahkamah Partai yang harus ditempuh lebih dulu dan Mahkamah Partai itu diatur di UU Partai Politik, karena itu belum dilalui maka itu harus dilalui," tambah Suharto.
ADVERTISEMENT
Pertimbangan lainnya adalah, novum atau bukti baru yang diajukan Moeldoko dianggap tak menentukan. Sehingga tidak dapat menggugurkan pertimbangan hukum dalam putusan kasasi.
"Bahwa novum yang diajukan para pemohon peninjauan kembali tidak bersifat menentukan, sehingga tidak bisa menggugurkan pertimbangan hukum dari putusan kasasi," kata Suharto.
Atas pertimbangan itu, diputuskan PK Moeldoko dengan amar:

Apakah PK Bisa Diajukan Kembali?

Jubir MA Suharto saat konpers terkait putusan PK Moeldoko di Mahkamah Agung, Kamis (10/8/2023). Foto: Hedi/kumparan
Juru bicara MA, Suharto, mengatakan PK tidak bisa dilakukan dua kali. Moeldoko tidak bisa menempuh upaya hukum luar biasa lagi atas putusan tersebut.
"Prinsipnya di UU MA diatur, di UU kekuasaan diatur, bahwa PK itu tidak dimungkinkan dua kali," kata Suharto dalam konferensi pers di kantornya, Kamis (10/8).
ADVERTISEMENT
Namun, bila merujuk Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009, PK bisa kembali diajukan apabila terdapat dua putusan pengadilan atau lebih yang bertentangan.
"Jadi ruangnya sempit sekali, kecil sekali," kata dia.
Selain dalam kondisi tersebut, PK tidak bisa dilakukan dua kali. "Jadi, kalau PK tidak ada upaya hukum PK atas PK gitu ya, dan itu sudah diatur dalam 3 UU," pungkasnya.

Kegembiraan AHY dan Partai Demokrat

Suasana kegembiraan AHY dan politikus Partai Demokrat saat pembacaan PK Moeldoko ditolak, Kamis (10/8/2023). Foto: Dok. Istimewa
Keputusan MA yang menolak PK Moeldoko disambut bahagia oleh AHY dan jajaran Partai Demokrat. Dalam video yang dibagikan jubir Partai Demokrat, Herzaky, AHY tampak membacakan sendiri hasil putusan MA di hadapan sejumlah elite partai.
"Tanggal putus, Kamis, 10 Agustus 2023, amar putusan, tolak," ujar AHY.
ADVERTISEMENT
Hal ini disambut teriakan dan takbir dari sejumlah elite Partai Demokrat. Sang istri Annisa Pohan juga begitu bahagia mendengar putusan itu.
"Allahu Akbar," sejumlah orang di video itu.

Kado Ultah AHY

Demokrat menjadikan keputusan MA yang menolak PK Moeldoko sebagai kado ulang tahun ke-45 bagi AHY. Kebetulan AHY berulang tahun pada 10 Agustus, tepat saat keputusan tersebut keluar.
"Alhamdulillah. Kado untuk ultah Mas AHY," kata jubir Demokrat Herzaky Mahendra Putra melalui pesan singkat, Kamis (10/8).
Herzaky menambahkan, ini semakin menegaskan posisi AHY dan jajaran sebagai pengurus yang sah. Katanya, kemenangan demokrasi.
"Kemenangan rakyat Indonesia. Kemenangan demokrasi. Kemenangan kebenaran dan keadilan di negeri ini," jelas dia.

Tanggapan Kader Demokrat

Sekjen Partai Demokrat Hinca Panjaitan terkait penyelenggaraan kongres V Partai Demokrat di Kantor DPP Partai Demokrat, Cikini, Jakarta, Jumat (13/3). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Ketua Dewan Kehormatan DPP Partai Demokrat, Hinca Panjaitan, menyambut baik keputusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Moeldoko. Penolakan ini, kata Hinca, adalah bentuk dari keadilan dan penyelamatan demokrasi.
ADVERTISEMENT
"Tepat hari ini, 10 Agustus 2023, perkara ini telah diputus. Majelis Hakim Agung menolak PK yang diajukan oleh Moeldoko. Keadilan dimenangkan dan demokrasi terselamatkan," ucap Hinca dalam keterangannya, Kamis (10/8).
"Saya yang dari awal turut aktif membentengi partai dari gugatan demi gugatan oleh para pembegal akhirnya kini sudah bisa bernapas lega," imbuhnya.
Jansen Sitindaon, Politikus Demokrat. Foto: Instagram/@jansensitindaon
Sementara itu Wasekjen Partai Demokrat Jansen Sitindaon menilai keputusan MA mempertegas kepengurusan Partai Demokrat yang sah yakni dipimpin Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
"Kami mengucapkan terima kasih kepada Yang Mulia Majelis Hakim PK pada Mahkamah Agung yang telah memeriksa perkara ini. Sebagaimana frasa “hukum, hakim dan rasa keadilan”, ternyata hal ini terbukti pada perkara ini. Dan para Yang Mulia telah memutuskan hal yang sebenar-benarnya pada perkara ini," kata Jansen melalui pesan singkat, Kamis (10/8).
ADVERTISEMENT
Ia menambahkan, akal sehat dan aturan hukum sejak awal ditabrak Moeldoko dalam perkara ini. Sebab, memang Moeldoko ini tidak pernah jadi kader/anggota Demokrat, apalagi jadi pengurus Partai Demokrat.
"Dan namanya tidak ada di Sipol (sistem informasi partai politik) yang dikelola oleh Negara. Jadi jangankan jadi Ketua umum Demokrat, jadi Ketua Demokrat tingkat ranting (desa) saja Moeldoko ini tidak bisa, tidak memenuhi syarat. Apalagi jadi ketum," katanya.
"Jadi keputusan PK Mahkamah Agung ini selain telah benar secara hukum juga telah menyelamatkan kehidupan demokrasi kita. Karena kasus ini sejak awal telah menentang seluruh akal sehat dan aturan hukum kepartaian yang berlaku di Indonesia, bahkan sejak kita merdeka," sambungnya.

Kata Kubu Moeldoko

Moeldoko (tengah) tiba di lokasi Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di The Hill Hotel Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara. Foto: Endi Ahmad/ANTARA FOTO
Kubu Moeldoko buka suara terkait penolakan PK ini. Mereka mengaku, tidak mengejutkan PK ini ditolak oleh MA.
ADVERTISEMENT
"Keputusan ini sesungguhnya tidak terlalu mengejutkan bagi saya, karena sejak awal saya sudah melihat adanya kejanggalan terhadap berbagai hal yang mengiringi perjuangan kami, juga terhadap upaya hukum yang teman-teman kami tempuh atau lakukan," kata Lawyer dan Ketua Departemen Komunikasi dan Informatika DPP Partai Demokrat Pimpinan Jenderal TNI (Purn) Moeldoko, Saiful Huda Ems, dalam keterangannya.
Kubu Moeldoko menjelaskan, sengketa kepengurusan partai politik yang berujung pada pengesahan kepengurusan parpol oleh Menkumham, tidak semestinya dilakukan oleh Menkumham sebagai pejabat pemerintah.
"Karena hal itu akan menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest). Akan tetapi karena Undang-Undang parpol kita menyatakan seperti itu, ya mau apalagi," ucap Saiful.
Ia lantas memberikan contoh kasus di Jerman antara pemerintah (Regierung) dan administrasi negara (Verwaltungsstaat) di mana masalah ini dibedakan.
ADVERTISEMENT
"Untuk hal-hal yang menyangkut kebijakan yang berkenaan dengan kepentingan publik seperti pengesahan kepengurusan parpol itu harusnya diputuskan oleh pejabat administrasi negara/publik, dan bukan oleh menteri yang merupakan pembantu presiden atau representasi dari pemerintah (pejabat pemerintah)," ucap dia.
"Jadi semestinya dari awal, yang harusnya memutus sah tidaknya kepengurusan parpol itu ya pengadilan administrasi negara semisal PTUN atau PTTUN," lanjut Saiful.
ADVERTISEMENT