Eks Dirut Taspen Kosasih Gugat UU Tipikor ke MK, Minta 2 Pasal Korupsi Dihapus

5 Agustus 2024 17:49 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gedung Mahkamah Agung Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Gedung Mahkamah Agung Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Mantan Direktur Utama PT Taspen, Antonius Nicholas Stephanus Kosasih, menggugat UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) ke Mahkamah Konstitusi. Ia meminta dua pasal dalam UU Tipikor tersebut dihapus.
ADVERTISEMENT
Gugatan didaftarkan pada 1 Agustus 2024 pada pukul 19.01 WIB. ANS Kosasih selaku Pemohon dengan Kuasa Hukum Andra Reinhard Pasaribu dkk. Belum ada nomor registrasi maupun jadwal sidang atas permohonan ini.
Adapun dua pasal yang menjadi objek pengujian materiil dalam gugatannya yakni Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3.
Berikut bunyi kedua pasal tersebut:
Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
ADVERTISEMENT
Pasal 3 UU Tipikor
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
A.N.S Kosasih. Foto: Dok. Wika
Kosasih menyebut kedua pasal itu kerap digugat secara uji materiil ke MK. Menurut dia, pemerintah pun menganggap kedua pasal itu rentan terhadap pejabat negara.
Buktinya, ada beberapa peraturan perundang-undangan yang diterbitkan pemerintah sebagai jalan keluar. Bukan malah mengubah pasal tersebut.
ADVERTISEMENT
“Mungkin bisa dipahami mengubah pasal tersebut sangat tidak populis bagi penegakan hukum tindak pidana korupsi,” dikutip dari dokumen permohonan di situs MA, Senin (5/8).
Ia pun menyinggung sejumlah aturan yang dinilainya ‘menggambarkan kekhawatiran pemerintah’ atas penyalahgunaan pasal tersebut.
Misalnya Pasal 21 UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan. Mengatur soal kewenangan PTUN untuk memeriksa apakah tindakan penyelenggara negara termasuk penyalahgunaan wewenang atau tidak. Guna mencegah penyelenggara negara dikriminalisasi.
Namun, ketentuan itu dinilai tidak efektif. Sebab, MA menerbitkan SEMA Nomor 03 Tahun 2015 bahwa bila sudah dilakukan penyidikan maka PTUN tidak berwenang untuk memeriksa permohonan tersebut.
Kosasih juga mengutip Laporan KPK tahun 2023 soal data inventaris masalah yang menjadi potensi tindak pidana korupsi. Menurut dia, perbuatan yang dapat diidentifikasi menjadi potensi korupsi adalah suap, gratifikasi dan pemerasan, sebagaimana Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13.
ADVERTISEMENT

Terkait Kasus ANS Kosasih di KPK?

Ilustrasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Gugatan ini diduga masih terkait penyidikan kasus dugaan korupsi yang dilakukan KPK. Kasus itu diduga melibatkan ANS Kosasih.
Dalam permohonan itu, Kosasih pun menyebut bahwa dirinya sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Kosasih mengaku punya kedudukan hukum karena dengan adanya Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, dirinya selaku Direktur Investasi Taspen ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Berdasarkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) Nomor B/143/DIK.00/23/03/2024 tertanggal 1 Maret 2024.
"Dengan berlakunya Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi," bunyi permohonan.
"Berdasarkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) Nomor B/143/DIK.00/23/03/2024 … Pelaku selaku Direktur Investasi PT Taspen (Persero) diduga telah melakukan tindak pidana korupsi," masih dalam permohonan.
ADVERTISEMENT
Sangkaannya adalah Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Terkait dengan kegiatan investasi PT Taspen Tahun Anggaran 2019 yang dikelola oleh PT Insight Investment Management.
Dalam permohonan, Kosasih pun menyinggung soal dugaan korupsi yang dituduhkan kepadanya. Menurut dia, ada berbagai perbuatan yang dituduhkan, tetapi kemudian hanya diterapkan penggunaan dua pasal saja, yakni Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor.
“Dari mulai mengambilkan kebijakan optimalisasi, menempatkan investasi pada reksadana, hingga yang beredar di publik bahwa pemohon diduga melakukan investasi fiktif,” bunyi permohonan.
Ia pun mempertanyakan KPK tidak menerapkan Pasal 8 UU Tipikor bila memang perbuatan yang disangkakan adalah investasi fiktif.
ADVERTISEMENT
Terkait permohonan, ia menilai Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor cacat sejak lahir.
“Bukan hanya cacat sejak lahir tapi juga zero sum game dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi,” bunyi permohonan.
Ia pun menilai dalam praktiknya ditemukan ketidakpastian hukum di masyarakat dan disparitas penilaian penegak hukum terhadap pemenuhan kedua pasal yang digugat tersebut.
"Bahwa Pemohon yakin persoalan tersebut terjadi karena adanya kesalahan perumusan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum pidana pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor itu sendiri, yaitu ketiadaan perbuatan yang dilarang dalam rumusan pasal a quo, sehingga menempatkan penegak hukum dengan segala diskresinya menentukan perbuatan koruptif tanpa ada batasan," terang Kosasih dalam gugatannya.
ADVERTISEMENT
"Jika meninjau pada pasal-pasal lainnya dalam UU Tipikor, dapat dilihat bahwa Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 tidak mengatur mengenal perbuatan yang dilarang yang menjadi elemen penting dalam suatu rumusan pasal tindak pidana," jelas dia.
Ia pun mempertanyakan unsur perbuatan yang dilarang dalam kedua pasal yang digugat.
Dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, Kosasih mempertanyakan apakah unsur perbuatan itu ada di kalimat "secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi" atau "merugikan keuangan negara atau perekonomian negara".
Sementara, dalam Pasal 3 UU Tipikor, apakah unsur perbuatan yang dilarang ada di kalimat "dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi" atau "menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan" atau "merugikan keuangan negara atau perekonomian negara".
ADVERTISEMENT
Padahal, lanjutnya, dalam pengelompokan tindak pidana korupsi oleh KPK telah memisahkan perbuatan korupsi dengan jelas, seperti suap-menyuap penggelapan dalam jabatan, pemerasan, dan perbuatan curang.
Akan tetapi, saat tiba pada Pasal 2 dan Pasal 3, yang muncul hanyalah keterangan samar "kerugian keuangan negara".
"Apakah kerugian keuangan negara merupakan perbuatan? Hal ini menandakan KPK pun menyadari tidak adanya perbuatan yang dilarang yang diatur dalam pasal-pasal a quo," bebernya.
"Bahwa dengan tidak diaturnya perbuatan yang dilarang sebagaimana prinsip-prinsip hukum pidana dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, maka seharusnya seseorang tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana," lanjut dia.
"Bahwa akibat dari ketidakpastian hukum ini, Pemohon telah mengalami kerugian yang signifikan baik secara personal maupun profesional Penetapan Tersangka atas interpretasi yang berbeda oleh penegak hukum karena ketiadaan perbuatan (actus reus) yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor tersebut juga telah nyata mengakibatkan kerugian terhadap Pemohon," imbuh dia.
ADVERTISEMENT
Ia merasa dirugikan karena adanya stigma “koruptor” yang disematkan kepadanya sebagai imbas penafsiran hukum yang luas dan tidak jelas. Disebankan ketiadaan actus reus dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor.
“Menciptakan kerugian yang tidak terhingga dan penderitaan yang mendalam bagi Pemohon. Tidak hanya mencoreng nama baik Pemohon di mata publik, tetapi juga menghancurkan reputasi dan martabat Pemohon dalam kehidupan pribadi dan profesional,” paparnya.
Oleh karenanya, Kosasih pun meminta MK untuk menyatakan bahwa kedua pasal dalam UU Tipikor itu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Ia pun mengajukan agar kedua pasal tersebut dihapus.
"Bahwa dicabutnya Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) atau dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum, bukanlah upaya untuk melemahkan penegakan hukum tindak pidana korupsi," tandasnya.
ADVERTISEMENT
"Sebaliknya, hal ini bertujuan untuk memperkuat kejelasan dan kepastian hukum dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia," pungkas dia.
Berikut salah satu petitum dalam permohonan ANS Kosasih:
"Menyatakan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 140 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 3874] dan perubahannya pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 134 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4150] tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat".
Belum ada pernyataan dari Kosasih mengenai adanya gugatan ini. kumparan sudah berupaya menghubungi pengacara Kosasih, tetapi belum mendapat tanggapan.
ADVERTISEMENT

Kata KPK

KPK belum mengumumkan secara resmi tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait PT Taspen yang sedang diusut. Perihal Kosasih yang mengaku sudah ditetapkan sebagai tersangka, juru bicara KPK Tessa Mahardhika enggan berkomentar panjang berkomentar. Tanpa membenarkan maupun membantah.
"Saya masih belum bisa mengomentari itu, ya. Kembali lagi, subjek yang ditetapkan sebagai tersangka, berdasarkan kebijakan lembaga, baru bisa diumumkan pada saat proses penahanan," kata Tessa kepada wartawan.
"Nah jadi apabila pihak-pihak yang merasa yang bersangkutan ditetapkan sebagai tersangka dan menyampaikan kepada teman-teman jurnalis, ya itu hak mereka ya. Tapi kami belum bisa memberikan komentar terkait hal tersebut," imbuhnya.