Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Eksaminasi Putusan: Vonis Pinangki Sirna Malasari Seharusnya Lebih Berat
13 Desember 2021 11:49 WIB
·
waktu baca 6 menitADVERTISEMENT
Kasus mantan Jaksa Pinangki Sirna Malasari kini sudah berkekuatan hukum tetap. Namun, perkara itu masih menyisakan sejumlah pertanyaan.
ADVERTISEMENT
Salah satunya ialah hukuman yang diterima Pinangki yakni 4 tahun penjara. Vonis terhadap mantan jaksa itu dinilai seharusnya dapat lebih berat.
Hal itu disampaikan oleh Nefa Claudia Meliala, S.H., M.H., yang merupakan dosen pada Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahayangan (UNPAR) Bandung sejak tahun 2013. Ia menjadi salah satu pemateri dalam eksaminasi putusan Pinangki Sirna Malasari yang digelar ICW.
Nefa mengatakan bahwa perbuatan Pinangki dibagi menjadi tiga, yakni:
ADVERTISEMENT
Perbuatan ini termasuk dalam kualifikasi Pasal 11 UU Tipikor. Ancaman maksimum dalam pasal ini ialah 5 tahun penjara dan denda Rp 250.000.000
ADVERTISEMENT
Perbuatan ini termasuk kualifikasi Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Ancaman maksimum dalam pasal ini ialah 20 tahun penjara dan denda Rp. 10 miliar
ADVERTISEMENT
Perbuatan ini termasuk kualifikasi Pasal 15 jo. Pasal 13 UU Tipikor. Ancaman maksimum dalam pasal ini ialah 3 tahun penjara dan denda Rp 150.000.000.
Meski ada tiga perbuatan yang dinilai terbukti dilakukan Pinangki, tetapi jaksa penuntut umum hanya menuntut dengan pidana penjara 4 tahun dan denda Rp 500.000.000 subsider 6 bulan kurungan
"Tuntutan tersebut sesungguhnya bukanlah Tuntutan maksimum yang dapat diajukan apabila mengacu pada fakta persidangan," kata Nefa dalam keterangan tertulis yang dibagikan ICW, Senin (13/12).
Menurut dia, jaksa seharusnya bisa memaksimalkan penggunaan UU Pencucian Uang yang memiliki ancaman hukuman paling besar. Selain itu, Nefa menilai Pinangki seharusnya juga dapat dijerat dengan obstruction of justice atau menghalangi proses hukum.
Kontroversi Pemotongan Hukuman Pinangki
Pengadilan Tipikor Jakarta menghukum Pinangki dengan pidana penjara selama 10 tahun dan denda Rp 600.000.000 subsider 6 bulan kurungan. Belakangan vonis itu dipotong.
ADVERTISEMENT
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memotong hukuman Pinangki menjadi 4 tahun penjara dan denda Rp 600.000.000 subsider 6 bulan kurungan. Pidana penjara yang sesuai dengan tuntutan jaksa.
Putusan tersebut kemudian menjadi polemik. Sebab, vonis tersebut dinilai tidak logis. Khususnya terkait pertimbangan hakim mengenai keadaan yang memberatkan dan meringankan dalam menjatuhkan hukuman kepada Pinangki.
"Majelis tidak secara jelas menjabarkan kedua keadaan tersebut. Namun demikian, apabila kita membaca pertimbangan majelis sebelum menentukan pidana yang dijatuhkan, kita dapat menafsirkan bahwa hal-hal yang dipertimbangkan hakim merupakan keadaan yang meringankan. Sementara itu, majelis tidak menyebutkan hal-hal yang dianggap sebagai keadaan yang memberatkan," papar Nefa.
Berikut poin pertimbangan Hakim Banding Pengadilan Tinggi DKI dalam putusan Pinangki:
ADVERTISEMENT
Dalam vonisnya, Majelis Banding Pengadilan Tinggi DKI menilai hukuman 10 tahun penjara terlalu berat untuk Pinangki. Majelis Banding menilai vonis yang adil bagi Pinangki ialah 4 tahun penjara.
ADVERTISEMENT
Vonis banding itu kemudian tak dipermasalahkan jaksa penuntut umum. Mereka tidak mengajukan kasasi sehingga perkara ini pun inkrah.
Nefa berpendapat bahwa Majelis Hakim Banding seharusnya memperberat hukuman Pinangki. Salah satunya ialah karena Pinangki melakukan tindak pidana dalam jabatannya sebagai jaksa.
Nefa merujuk pada ketentuan Pasal 52 KUHP yang berbunyi, “Bilamana seorang pejabat karena melakukan perbuatan pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan perbuatan pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga.”
"Rangkaian perbuatan Pinangki yang pada intinya ditujukan agar putusan Peninjauan Kembali atas nama Terpidana Tjoko Tjandra tidak dapat dieksekusi sehingga yang bersangkutan dapat kembali ke Indonesia tanpa harus menjalani pidana pada prinsipnya telah memenuhi unsur melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya dan unsur memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatannya sebagaimana disebutkan dalam ketentuan pasal 52 KUHP sehingga hukuman Pinangki seharusnya dapat diperberat," papar Nefa.
ADVERTISEMENT
"Namun demikian, ketentuan pasal 52 KUHP sebagai dasar pemberat pidana ini ternyata tidak muncul dalam pertimbangan majelis hakim tingkat banding, padahal majelis hakim tingkat pertama telah menyebutkan hal tersebut dalam bagian pertimbangan terkait keadaan yang memberatkan. Terkait pertimbangan majelis yang menyatakan Terdakwa mengaku bersalah dan mengatakan menyesali perbuatannya, apabila kita menelusuri fakta persidangan, sesungguhnya Terdakwa hanya mengakui bahwa ia bertemu dengan Joko Tjandra di Kuala Lumpur, bukan mengakui menerima uang dan menggunakan uang untuk keperluan pribadi," pungkasnya.
ICW menginisiasi eksaminasi karena perkara Pinangki Sirna Malasari dinilai sempat menjadi perhatian publik. Khususnya terkait pemotongan hukuman hingga 6 tahun penjara.
Padahal, kejahatan yang Pinangki lakukan dinilai sangat kompleks dan melibatkan buronan korupsi Joko S Tjandra. Menurut ICW, perkara ini layak dieksaminasi lantaran kontroversial, memiliki pengaruh atau dampak sosial bagi masyarakat, dan ada indikasi mafia peradilan (judicial corruption).
ADVERTISEMENT
ICW mengatakan tujuan eksaminasi secara umum adalah untuk menilai kualitas putusan hakim dalam suatu persidangan. Baik dalam konteks materiil maupun prosedur hukum acaranya atau formil.
Tidak hanya itu, ICW menyebut eksaminasi dapat pula sebagai medium untuk melihat kualitas penegak hukum. Misalnya dalam pembuatan surat dakwaan, proses pembuktian, hingga tuntutan kepada terdakwa.