Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
"Dan, kami melihat beberapa desa dengan jalur air," ungkap Cameron dalam petikan wawancara dengan National Geographic yang tersiar di akun Instagram Kemenparekraf.ri akhir Desember 2022 lalu.
Suku Bajo dikenal sebagai 'Sea Gypsy' atau suku/masyarakat yang hidup di laut. Sebab, kehidupan kesehariannya memang menyatu dengan laut. Dahulu kala, orang-orang Bajo terbiasa hidup di atas perahunya (nomaden).
Sebagian ilmuan menyebut mereka berasal dari Kepulauan Sulu Filipina dengan nama Suku Bajau atau Suku Sama. Sementara populasi terbesar di Indonesia berada di pesisir Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara, yang mencapai sekitar 20 ribu jiwa.
Seiring berjalannya waktu, banyak orang Bajo membangun rumah di atas laut dangkal. Bahkan banyak di antara mereka juga telah mendirikan rumah di daratan namun tetap berada di sekitar pesisir laut. Mata pencaharian utama masyarakat Suku Bajo adalah nelayan yang masih menggunakan cara-cara tradisional, seperti memancing, menjaring, dan memanah.
ADVERTISEMENT
Sejak kecil anak-anak Suku Bajo sudah dikenalkan dengan laut, membuat mereka memiliki kemampuan tersendiri dalam hal berenang dan menyelam, salah satunya Taharudin.
Taha, merupakan seorang nelayan dengan keahlian menangkap ikan dengan menyelami laut menggunakan tongkat kayu dan anak panah, keahlian yang melegenda dari Suku Bajo.
Seperti halnya Taha, para pemanah ikan Suku Bajo mampu menyelam untuk mencari ikan hingga kedalaman 70 meter di bawah laut dengan menahan nafas hingga 13 menit tanpa bantuan alat pernapasan.
Taha mengaku hanya memanah ikan yang berukuran besar untuk menjaga keberlanjutan sumber daya ikan di laut. Alih-alih menggunakan bom ikan, ia lebih memilih menggunakan umpan ikan kayu yang dibuat seolah-olah hidup atau membuat gurita tiruan dengan bahan yang memancarkan cahaya untuk mengelabui buruannya ketika memancing.
"Laut ini adalah ladang bagi Suku Bajo, mereka menjaga dan mengolah ladang ini, demi kehidupan berkelanjutan, supaya ikan-ikan tetap ada hingga anak cucu mereka," kata Samran, Ketua Koperasi Nelayan di Desa Mola Raya Kecamatan Wangi-Wangi Selatan Wakatobi.
Ketika pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan mencanangkan lima program prioritas berbasis ekonomi biru dengan konsep keberlanjutan, yakni memperluas wilayah konservasi hingga 30 persen perairan Indonesia, penangkapan ikan terukur, budidaya ikan yang ramah lingkungan, penataan ruang laut untuk perlindungan ekosistem pesisir dan laut, serta Bulan Cinta Laut (BCL). Maka sejatinya program ekonomi biru yang berdasar pada keberlanjutan sumber daya alam laut itu sudah diterapkan oleh Suku Bajo sejak dulu kala.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT