Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Kasus dugaan korupsi ekspor Crude Palm Oil (CPO) mulai diadili. Salah satu terdakwa, Lin Che Wei alias Weibinanto Halimdjati, didakwa bersama-sama menyebabkan kerugian perekonomian dan keuangan negara hingga Rp 18 triliun.
ADVERTISEMENT
"Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara yaitu merugikan keuangan negara sejumlah Rp 6.047.645.700.000,00 dan merugikan perekonomian negara sejumlah Rp 12.312.053.298.925,” ungkap Jaksa di PN Jakarta Pusat, Rabu (31/8).
Lin Che Wei merupakan Penasihat Kebijakan atau Analis pada Independent Research & Advisory Indonesia (IRAI) dan selaku Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia.
Perbuatan tersebut tak dilakukan sendiri. Lin didakwa berbuat korupsi bersama dengan:
Dakwaan keempatnya dibacakan secara terpisah. Adapun dalam dakwaan Lin, diduga kelimanya menyebabkan kerugian keuangan negara dan perekonomian negara sekaligus memperkaya diri sendiri atau orang atau korporasi lain terkait kebijakan ekspor CPO dan turunannya.
ADVERTISEMENT
Berikut Kasus dugaan korupsi ekspor Crude Palm Oil (CPO) yang dirangkum kumparan:
3 Peran Lin Che Wei dalam Kasus Dugaan Korupsi Ekspor CPO
Lin Che Wei menjadi salah satu pihak yang paling disorot dalam kasus dugaan korupsi ekspor Crude Palm Oil (CPO). Kasus yang diduga membuat minyak goreng di pasar dalam negeri langka dan mahal.
Dalam dakwaan, Lin Che Wei diduga berperan aktif terkait kebijakan ekspor CPO. Bahkan rekomendasinya diduga didengar dan diterima oleh Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi saat itu.
Lin Che Wei disebut turut terlibat dalam setiap rapat penting membahas soal distribusi minyak goreng. Bahkan, ia juga diduga turut menentukan arah kebijakan ekspor CPO. Padahal, dia tak memiliki kewenangan bahkan surat tugas dalam posisinya tersebut.
ADVERTISEMENT
Dalam dakwaan, Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei disebutkan sebagai Penasihat Kebijakan/Analis pada Independent Research & Advisory Indonesia (IRAI) dan selaku Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia.
Ia kemudian dihubungi Lutfi untuk menanyakan soal posisinya di Kemenko Perekonomian. Lin Che Wei menyampaikan bahwa dia memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas sebagai analis industri kelapa sawit.
"Terdakwa Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei tidak pernah mendapatkan penugasan/penunjukan sebagai advisor atau sebagai analis pada Kementerian Perdagangan," bunyi dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (31/8).
Namun, ia diikutkan dalam pembahasan kelangkaan minyak goreng yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan. Menurut jaksa, pelibatan itu berdasarkan hubungan pertemanan saja.
ADVERTISEMENT
"Dan untuk itu ia tidak memperoleh fee dari bantuan yang diberikan tersebut karena sejak awal tidak memiliki kontrak kerja maupun MoU dengan Kementerian Perdagangan," sambung jaksa.
Jaksa Ungkap Komunikasi 2 Menteri Singgung Lin Che Wei
Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei didakwa melakukan perbuatan melawan hukum berupa memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi terkait dalam dugaan perkara ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan produk turunannya.
Ia diduga turut berperan aktif dalam menentukan arah kebijakan terkait ekspor CPO. Padahal, dia dilibatkan hanya berdasarkan hubungan pertemanan semata.
Berawal ketika terjadi kelangkaan serta melambungnya harga minyak goreng di pasar dalam negeri sejak kurun Juli 2021 sampai Desember 2021. Hal itu imbas dari harga komoditas CPO di pasar internasional yang meningkat.
ADVERTISEMENT
Peningkatan itu disebut menimbulkan kesenjangan dengan harga minyak goreng domestik. Berimbas pada ketersediaan stok dan pasokan minyak goreng di pasar dalam negeri.
Pada Desember 2021, Presiden Jokowi memerintahkan Menteri Perdagangan untuk mencari tahu penyebab kenaikan harga minyak goreng. Selain itu, Mendag juga diperintahkan menjaga stabilitas harga dalam negeri karena harga CPO di pasar ekspor sedang tinggi.
Mendag yang pada saat itu dijabat Muhammad Lutfi kemudian menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 1 Tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan Sederhana untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh BPDPKS.
Permendag itu mengatur soal partisipasi pelaku usaha untuk menyediakan minyak goreng dalam negeri dan menetapkan harga eceran tertinggi Rp 14 ribu per liter. Namun, peraturan itu tidak dipatuhi pelaku usaha karena sifatnya sukarela. Pelaku usaha tetap memilih untuk ekspor sehingga minyak goreng dalam negeri tetap langka.
ADVERTISEMENT
Dalam dakwaan, jaksa memaparkan bahwa Lutfi selaku Mendag kemudian menghubungi Lin Che Wei. Dia bertanya, apakah Lin masih merupakan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI atau tidak.
"Masih staf Menko Perekonomian kan?" demikian pertanyaan Lutfi ke Lin dalam dakwaan yang dibacakan jaksa Rabu (31/8).
"Iya," dijawab Lin.
Jaksa Ungkap Ada Bagi-bagi Rp 100 Juta ke Tim Verifikator Kemendag
Dalam dakwaan, disebutkan bahwa Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Kementerian Perdagangan Farid Amir pernah menerima uang dari pengusaha eksportir CPO. Uang dalam amplop itu disebut atas arahan dari Indra Sari Wisnu Wardhana selaku Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag.
Peristiwa terjadi pada Februari 2022. Ketika itu, Indra Sari memanggil Farid Amir ke ruangannya. Di dalam ruangan, ternyata sudah ada beberapa orang dari pihak swasta yakni Master Parulia Tumanggor; Stanley MA; Cherry; dan Manumpak Manurung.
ADVERTISEMENT
Tumanggor kemudian memisahkan diri dan berbicara dengan Farid Amir. Ia meminta untuk bisa menemui Farid Amir di ruangannya. Indra Sari pun menyampaikan agar Farid Amir bisa menemui Tumanggor di ruangannya.
"Setelah berada di ruangan Farid Amir, MP Tumanggor kemudian memberikan amplop," ujar jaksa membacakan dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (31/8).
Tumanggor kemudian menyampaikan bahwa Indra Sari yang memintanya untuk memberikan uang tersebut. Yakni agar uang diberikan kepada tim yang memproses Persetujuan Ekspor (PE).
Farid Amir lantas menyampaikan bahwa ia bersedia menerimanya karena merupakan arahan Indra Sari. Ia pun kemudian mengkonfirmasi uang dari Tumanggor itu kepada Indra Sari.
Begini Cara Kejagung Hitung Kerugian Negara Rp 18 T dalam Kasus Ekspor CPO
ADVERTISEMENT
Kasus dugaan korupsi dalam persetujuan ekspor Crude Palm Oil (CPO) sudah masuk ke persidangan. Terungkap, bahwa kasus tersebut diduga merugikan keuangan negara hingga Rp 6 triliun serta merugikan perekonomian negara mencapai Rp 12,3 triliun. Totalnya mencapai Rp 18,3 triliun.
Dalam kasus tersebut, ada lima orang terdakwa yang dijerat. Salah satunya yakni eks Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Indra Sari Wisnu Wardhana. Dia didakwa bersama-sama melakukan melawan hukum dalam mengkondisikan produsen CPO untuk mendapatkan izin Persetujuan Ekspor (PE) CPO dan turunannya.
Perusahaan-perusahaan yang diduga terkait izin ekspor itu yakni Permata Hijau Group, PT Wilmar Nabati Indonesia, PT Multimas Nabati Asahan, dan PT Musim Mas.
Dalam persyaratan ekspor, perusahaan harus memasok kebutuhan dalam negeri DMO sejumlah 20 persen dari total ekspor CPO atau RBD Palm Olein. Namun hal itu diduga tidak dilakukan.
ADVERTISEMENT
Akibatnya diduga terjadi kelangkaan dan melambungnya harga minyak goreng di masyarakat. Dan muncul kerugian negara hingga Rp 18,3 triliun.
Menyoal jumlah kerugian yang fantastis tersebut, bagaimana Kejagung menghitungnya?
Kerugian Perekonomian Negara
Untuk perhitungan kerugian perekonomian negara, jaksa mengacu kepada laporan Kajian Analisis Keuntungan Ilegal dan Kerugian Perekonomian Negara Akibat Korupsi di Sektor Minyak Goreng dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM pada 15 Juli 2022. Disebutkan bahwa terdapat kerugian perekonomian negara akibat kelangkaan dan mahalnya minyak goreng seluruhnya sebesar Rp 12.312.053.298.925.
Terdiri dari:
Nilai Rp 12 triliun itu diduga termasuk keuntungan yang didapat oleh beberapa perusahaan eksportir CPO dan produk turunannya akibat korupsi yang terjadi
ADVERTISEMENT
Masih merujuk Kajian dari UGM, jaksa menyebut bahwa beberapa perusahaan yang mendapat keuntungan secara tidak sah dari penerbitan Persetujuan Ekspor yang tidak sesuai dengan ketentuan.
Hal ini berdasarkan perhitungan dari Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM per 15 Juli 2022. Berikut perhitungan yang dilakukan selama periode 15 Februari hingga 30 Maret 2022:
Perusahaan yang tergabung dalam Grup Wilmar seluruhnya: Rp 1.693.219.882.064
Rinciannya:
- PT Wilmar Nabati Indonesia Rp 1.048.346.290.275
- PT Multimas Nabati Asahan Rp 562.846.062.900
- PT Sinar Alam Permai Rp 68.436.065.206
- PT Multi Nabati Sulawesi Rp 5.353.905.181
- PT Wilmar Bio Energi Indonesia Rp 8.237.558.502
Perusahaan yang tergabung dalam Grup Permata Hijau seluruhnya: Rp 124.418.318.216
Rinciannya:
- PT Pertama Hijau Palm Oleo Rp 41.245.004.389
ADVERTISEMENT
- PT Nagamas Palmoil Lestari Rp 54.474.676.331
- PT Permata Hijau Sawit Rp 84.841.806
- PT Pelita Agung Angri Industri Rp 28.613.795.690
Perusahaan yang tergabung dalam Grup Musim Mas seluruhnya: Rp 626.630.516.604
Rinciannya:
- PT Musim Mas Rp 147.399.655.905
- PT Misim Mas-Fuji Rp 1.971.457.902
- PT Intibenua Perkasatama Rp 449.573.936.117
- PT Agro Makmur Raya Rp 172.333.926
- PT Megasurya Mas Rp 3.718.613.494
- PT Wira Inno Mas Rp 23.794.516.086