Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Fenomena Burung ‘Harry Potter’ di Pasar Indonesia
28 Agustus 2017 11:48 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
ADVERTISEMENT
J.K Rowling meminta para penggemar novel fiksi Harry Potter untuk tidak memelihara burung hantu. Dia mendorong para fans untuk menolong burung hantu agar bisa hidup bebas di alam.
ADVERTISEMENT
Imbauan Rowling bukan tanpa alasan. Seiring meningkatnya popularitas novel Harry Potter di dunia, angka pemeliharaan burung hantu terus meningkat. Dampaknya, ketika tren Harry Potter sudah mulai turun, burung hantu itu pun ditelantarkan. Berbagai kekhawatiran dari kalangan pecinta hewan pun datang.
Di Indonesia sendiri fenomena itu terjadi. Dalam sebuah artikel bertajuk “Is The 'Harry Potter Effect' A Curse For Owls?” yang dimuat Forbes pada Juli 2017 menyebutkan, bahwa buku dan film Harry Potter membuat kenaikan jumlah burung hantu liar yang diperdagangkan untuk dijadikan hewan peliharaan di Indonesia.
Burung-burung hantu liar menjadi sasaran perburuan untuk memenuhi tuntutan pasar hewan peliharaan di Indonesia. Sebuah fenomena yang disebut dengan “Harry Potter effect”.
“Burung selalu menjadi hewan kesayangan di Indonesia. Tetapi burung hantu jarang terlihat di pasar burung di negara itu pada tahun 1980-an, 1990-an dan awal 2000-an,” ucap seorang antropolog Vincent Nijman dan ahli konservasi biologi Anne Nekaris dalam laporan hasil penelitian yang mereka kerjakan bersama.
ADVERTISEMENT
Namun, dari penelitian berjudul “The Harry Potter Effect: the Rise in Trade of Owls as Pets in Java and Bali, Indonesia” yang dikerjakan kedua profesor asal Universitas Oxford Brookes itu ditemukan bahwa tren tersebut berubah selama dekade pertama tahun 2000.
Mereka melakukan penelitian di 20 pasar burung yang ada di Jawa dan Bali antara tahun 2012 dan 2016. Kemudian mereka membandingkannya dengan penelitian yang pernah dilakukan pada 1979 hingga akhir abad 20.
Dari hasil penelitian itu ditemukan bahwa burung hantu jarang ditemukan di pasar burung sebelum ‘Harry Potter sampai’ di Indonesia.
Sejak itu keberadaan burung hantu di pasar burung semakin umum terlihat. Nijman dan Nekaris memperkirakan ada sekitar 16 ribu burung hantu dari berbagai jenis yang diperdagangkan di Indonesia pada 2016.
ADVERTISEMENT
Mereka juga memperkirakan lebih dari seribu spesies burung hantu yang lebih besar diperdagangkan di pasar burung. Seperti jenis Australasian Barn, Tyto javanica, Oriental Bay, Phodilus Badius, dan Buffy Fish.
Harry Potter mungkin memang bukan satu-satunya faktor yang membawa burung hantu pada nasibnya sebagai barang dagangan dalam jumlah besar. Tetapi karya garapan Rowling yang terbit antara 1997 hingga 2007 itu disebut sebagai faktor signifikan.
Jumlah burung hantu yang diperdagangkan terus meningkat antara tahun 2000--tahun pertama novel Rowling tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia--hingga 2015.
“Pada 1990-an, ketika mengamati pasar burung, saya biasanya melihat satu atau dua burung hantu dijual di antara ribuan burung liar yang ditawarkan, namun bersamaan sering tidak ada satu pun burung hantu yang dipajang. Sekarang, kembali ke pasar yang sama kita bisa melihat lusinan burung hantu dijual dari berbagai spesies, dan burung hantu selalu terpampang. Semuanya diambil dari alam liar,” ungkap Nijman.
Di masa lalu, menurut Nijman, burung hantu yang dijual di pasaran secara kolektif memang disebut dengan nama burung hantu. Sejak 2010 terjadi pergeseran penyebutan populer dari burung hantu menjadi “burung Harry Potter”.
ADVERTISEMENT
Terlebih lagi penyebaran cerita fiksi Harry Potter itu, menurut catatan Nijman, seiring dengan meningkatnya akses masyarakat Indonesia pada internet. Peningkatan popularitas burung hantu pun terjadi secara besar-besaran.
“Hanya setahun sebelum publikasi Harry Potter, warung internet publik pertama dibuka di Indonesia dan peningkatan pengguna media sosial bertepatan dengan bangkitnya Harry Potter sebagai sebuah fenomena,” tukas Nijman.
Nekaris menyampaikan kepiluan atas pengamatannya pada burung hantu yang diperdagangkan di pasar burung.
“Sangat menyedihkan untuk melihat hewan nokturnal seperti burung hantu di pasar. Terlihat tertegun dan tertekan di bawah sinar matahari yang cerah, mereka sering hanya diberi makan air dan nasi, membat situasi semakin memprihatinkan.”
“Sekitar setengah dari 2.000 burung hantu yang kami temukan di pasar adalah ‘ayam’ kurus kering, diambil dari sarang mereka, dan kami memperkirakan sebagian besar dari mereka akan meninggal dalam beberapa minggu. Ini sepertinya bukan perdagangan yang berkelanjutan,” kata Nekaris.
ADVERTISEMENT