Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Fenomena 'Cebong-Kampret' Diyakini Tak Muncul di Pilpres 2024 meski 2 Putaran
27 Oktober 2023 16:48 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Potensi fenomena 'cebong-kampret' tipis untuk muncul di Pilpres 2024. Pertikaian 'cebong-kampret' dulu mencuat akibat polarisasi yang tajam antara kubu Prabowo vs kubu Jokowi pada Pilpres 2019.
ADVERTISEMENT
"Saya cukup yakin tidak (muncul cebong kampret) meskipun dua putaran (pilpresnya)," kata dosen Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik UGM Dr Riza Noer Arfani.
Prediksi Riza disampaikan dalam diskusi 'Antisipasi Konflik Pemilu' di Selasar Tengah, Gedung Pusat UGM, Jumat (27/10).
Riza mengatakan, di putaran kedua potensi konflik bisa lebih kecil karena yang jadi perhatian pemilih adalah gagasan.
"Jadi itu yang tadi saya tunggu-tunggu apakah kita akan switch ke demokrasi yang terkonsolidasi. Kalau itu terjadi, wah kita bisa bangga bersama," katanya.
Komposisi Calon Gado-Gado
Di kesempatan yang sama, dosen Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM Dr Abdul Gaffar Karim mengatakan polarisasi politik tak terlalu tampak di pilpres kali ini jika dilihat dari komposisi paslon yang gado-gado atau beraneka ragam latar belakang.
ADVERTISEMENT
"Dengan calon-calon yang gado-gado, nano-nano begitu kayaknya masyarakat nggak bakal, deh, berantem," kata Gaffar.
"Saya menduga begitu (minim konflik), konfliknya paling tidak, tidak sebesar 2019," katanya.
Asal-usul cebong kampret
Istilah "cebong dan kampret" populer pada Pilpres 2019 akibat polarisasi dua capres yang tajam. Saat itu, kubu Jokowi kerap dikaitkan dengan istilah "cebong", sedangkan kubu Prabowo dikaitkan dengan istilah "kampret".
Founder sistem analisis data Drone Emprit (DE), Ismail Fahmi, pada April 2022 pernah mengungkap awal mula percakapan dan tren panggilan cebong dan kampret.
Panggilan yang dianggap memecah belah bangsa tersebut merupakan label yang disematkan kepada individu atau kelompok yang mengandung stigma terkait dengan perbedaan ideologi, prinsip, dan pendapat.
Hasil pengumpulan data dilakukan DE selama 7 tahun, terhitung sejak 1 Juli 2015 hingga 2022. DE berhasil mengumpulkan 14 juta lebih percakapan yang terjadi di Twitter yang mengandung istilah-istilah tersebut.
ADVERTISEMENT
Dari analisis data yang telah dikumpulkan, urutan munculnya panggilan tersebut adalah yang pertama cebong, kemudian kampret.
Panggilan cebong dan kampret marak terjadi saat Pilpres 2019, tepatnya April 2019. Kala itu Jokowi dan Prabowo tengah bersaing untuk memperebutkan kursi presiden.
"Pasca-Pilpres 2019, tren kedua panggilan turun drastis. Namun kemudian muncul panggilan baru, yaitu 'kadrun' pada akhir 2019, yang diikuti dengan panggilan buzzeRp dan variasinya buzzerRp," terang Fahmi.
Panggilan kadrun sejak 1 Januari 2021 meningkat dan menjadi yang paling tertinggi. Angkanya mencapai 54 persen. Sementara kampret 17 persen, buzzeRp dan buzzerRp 17 persen, lalu terakhir cebong 12 persen.