Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Fenomena Netizen Mudah Doxing: Ingin Jadi Pahlawan di Balik Anonimitas
13 November 2023 21:28 WIB
·
waktu baca 2 menitADVERTISEMENT
MF (21) seorang mahasiswa Prodi IPA, FMIPA, UNY, menjadi korban hoaks . Dia dituduh melakukan pelecehan seksual kepada mahasiswa baru.
ADVERTISEMENT
Setelah ditelusuri polisi, MF ini difitnah RAN (19) adik tingkat satu fakultas yang sakit hati karena tidak diterima di BEM. RAN juga pernah dimarahi MF saat menjadi panitia sebuah acara.
RAN kini menjadi tersangka terkait berita bohong dan pencemaran nama baik.
Tidak hanya itu, MF juga menjadi korban doxing yaitu penyebaran informasi pribadi. Informasi pribadi MF disebarkan ke publik oleh netizen tanpa seizinnya.
Guru Besar Psikologi UGM Prof Koentjoro membeberkan kenapa netizen begitu mudah tersulut dan mendoxing seseorang di Internet
"Kalau ikut mendoxing itu etika tadi. Tidak tahu (etika) karena tidak pernah belajar dengan etika itu. Orang tua juga tidak ngajari etika berinternet karena apa, karena (orang tua) tidak pernah bergaul dengan itu (internet) mungkin itu orang tuanya juga tidak tahu (internet sampai saat ini). Apalagi dalam kehidupan nyatanya dia jarang diajari," kaya Koentjoro melalui sambungan telepon, Senin (13/11).
Selain itu, Koentjoro mengatakan adanya prinsip psikologi massa di dunia internet. Terlebih pengguna internet bisa saja menjadi anonim atau identitasnya tidak diketahui.
ADVERTISEMENT
"Kalau kita bicara internet itu prinsip yang berlaku itu prinsip psikologi massa. Psikologi massa itu adalah karena ada anonimitas. Akibatnya kita bebas ngomong, tidak terkontrol," jelasnya.
"Apalagi kalau banyak pendukungnya dalam konsep sehari-hari namannya deindividuasi (hilangnya kesadaran akan diri sendiri). Sudah terjadi melebur dalam kehidupan itu," katanya.
Dengan mendoxing, terlebih disertai anonimitas, seseorang merasa dirinya menjadi pahlawan. Padahal saat itu belum diketahui kebenarannya.
"Menghukum itu (dengan doxing) bagian dari bahwa 'saya pahlawan', ada perasaaan hero. Bahwa saya bersimpati kepada korban bahwa saya menghukum gitu lho. Padahal belum tentu (kebenarannya)," ujarnya.
"Persoalannya di etikanya. Kalau mereka ngerti dicek dulu seharusnya (kebenarannya)," katanya.
Lalu bagaimana agar netizen jangan mendoxing? Koentjoro mengatakan kuncinya ada pada orang tua serta sekolah. Harus ada yang memberikan wawasan tentang ITE hingga cek ricek data.
ADVERTISEMENT
"Seharusnya sudah (ada materi bersosial media di sekolah). Kalau tidak seperti itu, kita bisa masalah komunikasi, masalah etika. Itu kan etika pergaulan," pungkasnya.