Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Gaduh Cagub Jakarta Dharma-Kun, Main Catut KTP Kena Pasal Pidana
20 Agustus 2024 12:17 WIB
·
waktu baca 10 menitAda 1,5 juta KTP warga Jakarta yang diserahkan Dharma-Kun kepada KPU hanya dalam jangka waktu 2 bulan lebih. KTP dukungan itu di antaranya dicatut dan diduga terkait pencurian data pribadi.
***
Jumat pagi, 16 Agustus 2024. Aulia Postiera iseng berselancar di media sosial sebelum mulai bekerja. Ia membuka aplikasi X, berniat mengetahui informasi terbaru dan topik yang jadi pembicaraan publik hari itu. Tak dinyana, yang ramai di medsos adalah pencatutan Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai dukungan untuk calon gubernur perseorangan di Pilkada Jakarta .
Aulia yang mantan pegawai KPK (salah satu dari 57 pegawai yang disingkirkan Firli Bahuri lewat TWK) turut mengecek KTP-nya di situs KPU. Kekhawatirannya benar. Identitasnya ikut dicatut sebagai pendukung bakal cagub-cawagub Dharma Pongrekun dan Kun Wardana.
“Saya enggak pernah kenal dengan yang namanya Dharma Pongrekun atau Kun Wardana. Enggak pernah [beri dukungan karena] kenal saja enggak kok,” kata Aulia, Jumat (16/8).
Seperti warga lain, Aulia keberatan dan geram data dirinya dicatut dan KTP-nya disalahgunakan. Ia menganggap pencatutan KTP tersebut sudah masuk dalam pencurian data pribadi. Aulia lalu memutuskan untuk melaporkan pencatutan tersebut ke polisi lewat bantuan Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI).
Di PBHI, pada hari yang sama, aduan yang masuk ternyata bukan hanya dari Aulia. Setidaknya ada 200-an pengaduan yang masuk ke PBHI terkait kasus serupa. Hingga artikel ini dibuat, menurut Ketua PBHI Julius Ibrani, laporan yang mereka terima sudah mencapai 500 korban.
Laporan korban pencatutan itu kemudian diverifikasi oleh tim PBHI dan dipilah sesuai NIK dan kode wilayah, sebab yang jadi korban ternyata bukan hanya warga ber-KTP Jakarta, tapi juga warga yang ber-KTP Bogor dan Bekasi.
“Ada 305 korban yang melapor dengan data yang sudah terverifikasi. Jadi sudah lebih dari jumlah itu yang masuk ke kami, tapi mesti diverifikasi satu per satu. Dan bukan cuma NIK-nya yang kami verifikasi, tapi juga pendataan di situs KPU-nya,” kata Julius kepada kumparan, Sabtu (17/8).
PBHI sudah sejak pileg dan pilpres kemarin fokus mengawal perhelatan pemilu. Mereka menyoroti penyelenggaraan yang janggal dan melanggar ketentuan perundang-undangan, salah satunya pencatutan KTP sebagai syarat administrasi parpol baru dan calon independen saat pendaftaran.
Julius menyatakan, modus mencatut KTP warga sudah terjadi sejak Pilpres. Ia mencontohkan administrasi pendaftaran parpol baru ke KPU yang salah satu syaratnya adalah pengumpulan KTP dukungan. Saat itu, PBHI telah menerima laporan warga yang keberatan KTP-nya dicatut dan dimasukkan ke daftar pendukung calon atau parpol tertentu, padahal mereka tak pernah memberikan persetujuan dukungan.
Kasus pencatutan KTP—seperti yang ramai dibicarakan saat ini di Pilkada Jakarta—sudah pernah dilaporkan PBHI ke pihak terkait, tapi tak pernah direspons. KPU dan Bawaslu pun tak menindaklanjuti laporan mereka.
Pencatutan KTP Bisa Dipidana Pasal Berlapis
PBHI menegaskan, pencatutan identitas kependudukan adalah perbuatan pidana serius, bahkan melanggar banyak perundang-undangan. Bukan cuma ancaman pidana yang dituangkan dalam UU Pilkada, tapi juga UU Administrasi Kependudukan, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), serta UU Perlindungan Data Pribadi.
Khusus kaitannya dengan UU Pilkada, Julius menyebut bahwa pencatutan KTP yang diduga dilakukan Dharma-Kun dapat diancam pidana dengan Pasal 185 UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Kedua pasal ini memuat ancaman pidana bagi paslon dan penyelenggara—dalam hal ini KPU—yang sengaja memalsukan daftar dukungan terhadap calon independen. Ancaman hukumannya minimal 3 tahun penjara.
Pasal lain yang dapat dikenakan pada pelaku pencatutan KTP adalah UU ITE karena terkait penggunaan data digital yang disalahgunakan, dalam hal ini foto KTP elektronik yang diserahkan ke KPU.
Pencatutan KTP yang mengarah pada perbuatan melawan hukum juga diancam UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi sebagai berikut:
Ancaman pidana penyalahgunaan data pribadi tersebut tertuang pada pasal berikutnya dengan ancaman hukuman maksimal 5 tahun penjara.
“Jadi undang-undang [yang dilanggar] banyak sekali, mulai dari Undang-Undang Adminduk Nomor 12 Tahun 2006, UU ITE, UU Perlindungan Data Pribadi, sampai UU Pilkada. Jadi ini berlapis pasalnya, dan semua berlaku kumulatif,” jelas Julius.
KPU Harus Ikut Tanggung Jawab
Atas dugaan pidana dengan berlapis pasal yang diduga dilanggar tersebut, maka PBHI akan melaporkan Dharma-Kun ke polisi. Pasangan calon perseorangan itu akan dilaporkan bersama dengan KPU yang juga dianggap aktif dalam meloloskan verifikasi dukungan Dharma-Kun yang perolehan KTP dukungannya dilakukan dengan cara mencatut.
PBHI akan melaporkan Dharma-Kun dan KPU Jakarta dengan dugaan melanggar Pasal 185 dan 186 UU Pilkada. Julius berkata, “KPU selaku penyelenggara yang melakukan verifikasi data, baik verifikasi administrasi dan verifikasi faktual, tidak mungkin tidak terlibat.”
Bahkan, menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati, KPU juga bisa dikenakan pidana bila terbukti dengan sengaja meloloskan dokumen dukungan yang dipalsukan pada tahap verifikasi.
“Jadi ancaman pidananya itu bukan hanya bagi si calon, tapi juga bagi penyelenggara pemilu,” kata Khoirunnisa.
Selain melaporkan ke polisi dan Bawaslu, PBHI juga akan menyampaikan pengaduan serupa ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Menurut Julius, dugaan pelanggaran oleh Dharma-Kun bukan pelanggaran administrasi pemilu yang sederhana sehingga KPU dan Bawaslu saja tak cukup.
“Ini harus [ditangani] di level DKPP,” tegas Julius.
Tak hanya berhenti pada dugaan pidana dan administrasi kepemiluan, PBHI juga akan melayangkan gugatan ke Komisi Informasi Publik dan meminta pembukaan data yang digunakan Dharma Pongrekun dan Kun Wardana.
“Kami yakin datanya fiktif. Atau kalau tidak fiktif, datanya dicuri dari data digital nasional di bawah instansi kependudukan,” tutur Julius.
PBHI Duga Instansi Negara Terlibat
PBHI meminta Komisi Informasi membuka data KTP dukungan yang diperoleh dan digunakan Dharma-Kun. Mereka curiga perolehan data tersebut tak hanya dikumpulkan secara mandiri oleh tim Dharma-Kun.
Julius menduga ada keterlibatan instansi negara yang terkait dengan data kependudukan dalam pengumpulan KTP dukungan tersebut. Ia tak percaya Dharma-Kun bisa mengumpulkan KTP warga hingga 1,5 juta hanya dalam waktu beberapa minggu.
Berdasarkan paparan KPU, total KTP yang diserahkan Dharma-Kun sejak 16 Mei hingga 28 Juli 2024 mencapai 1.547.987 dukungan. Keseluruhnya diserahkan dalam dua tahap dengan dua kali perbaikan pada tahap verifikasi.
Dari total 1,5 juta KTP dukungan tersebut, yang dinyatakan memenuhi syarat oleh KPU pada tahap verifikasi faktual ialah sebanyak 677.468 KTP, sedangkan yang tak memenuhi syarat 870.519 KTP.
Namun, sumber dan verifikasi KTP pendukung itu dipertanyakan PBHI, sebab berjibun KTP dukungan yang diperoleh kurang dari tiga bulan itu juga diverifikasi KPU Jakarta dengan kilat.
“Dia (Dharma-Kun) enggak lolos verifikasi faktual 25 Juli. Itu cuma 183.000 [dukungan yang sah]. Lalu hampir tiga minggu kemudian, dia serahkan 877.000 [data perbaikan susulan] dan dinyatakan lolos,” kata Julius.
“Itu dia menggalang [KTP dukungannya] di mana? … dari durasi yang sangat singkat, itu enggak mungkin,” imbuhnya.
Proses kilat dan data melimpah yang tak jelas sumbernya tak pelak membuat kecurigaan publik meningkat. PBHI bahkan menduga KTP dukungan tersebut diperoleh dari instansi negara yang memegang identitas digital masyarakat.
“Sumbernya ini pasti dari instansi negara yang berwenang, yang punya data digital KTP masyarakat … bahwa ada pemanfaatan dari fasilitas negara,” kata Julius yang menduga pasangan Dharma-Kun tidak bertindak sendiri.
“Dia terkoneksi dengan KPU, dia terkoneksi dengan data kependudukan … Jadi datanya sangat masif. Jumlahnya 600 ribu, nggak mungkin tanpa komando,” ujar Julius.
Terkait hal itu, KPU Jakarta menampik. Salah satu komisionernya, Dody Wijaya, menyatakan bahwa “KPU ini end user. Soal sumber data KTP dan sebagainya, [kami tidak tahu] bisa ditanyakan ke bakal paslon langsung.”
Sementara Dirjen Dukcapil Kemendagri Teguh Setyabudi menegaskan, pencatutan NIK KTP di Pilkada Jakarta bukan berasal dari instansinya.
“Kami tidak ada kaitannya dengan dukung-mendukung pasangan calon tertentu,” kata Teguh.
Dharma-Kun Harus Mundur
Menanggapi ramainya pencatutan KTP warga Jakarta untuk menggalang dukungan dirinya jadi calon independen, Dharma Pongrekun mengatakan tak terlibat langsung di lapangan.
Kata dia, data itu dikumpulkan relawannya lalu tersaring lewat verifikasi administrasi dan faktual di KPU. Meski begitu, ia tak menyebut jumlah relawannya yang bergerak di lapangan.
“Data pendukung inilah yang kemudian diperiksa oleh KPU. Itu sebabnya, buat yang memang bukan pendukung kami, akan tersaring dengan sendirinya,” ujar Pongrekun dalam video klarifikasinya kepada kumparan, Minggu (18/8).
Dari ucapan itu, Dharma-Kun seolah-olah hanya melimpahkan sejutaan KTP—termasuk yang tanpa sepengetahuan pemiliknya—ke KPU untuk kemudian disaring. Inilah yang dirasa janggal, sebab dalam Keputusan KPU Nomor 532 Tahun 2024 tentang Pedoman Teknis Pemenuhan Syarat Dukungan Pasangan Calon Perseorangan dalam Pemilihan Kepala Daerah, tercantum aturan bahwa penyerahan KTP dukungan harus diketahui pemilik identitas.
Hal tersebut termaktub jelas dalam BAB IV Persiapan Penyerahan Dukungan oleh Bakal Pasangan Calon Perseorangan yang mengharuskan adanya tanda tangan pemilik e-KTP. Berikut bunyi ketentuannya:
Ketentuan-ketentuan di atas mengungkapkan secara terang bahwa bila KTP seseorang diserahkan ke KPU oleh calon perseorangan, pasti yang bersangkutan mengetahui karena pemilik KTP harus membuat pernyataan dan memberikan tanda tangan basah.
Bila 1,5 juta KTP dukungan untuk Dharma-Kun diperoleh melalui cara di atas, tak akan muncul protes dan isu pencatutan. Lebih lanjut, kasus pencatutan KTP ini dinilai membuat pasangan Dharma-Kun patut didiskualifikasi karena tak layak memimpin Jakarta dengan kecurangan yang dibangun di awal.