Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.87.0
ADVERTISEMENT
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) kelimpungan. Tak ada gempa besar yang bisa menimbulkan tsunami terdeteksi malam itu, Sabtu (22/12). Tapi simpang siur berita tsunami sudah berseliweran.
ADVERTISEMENT
Dering telepon dari warga masuk ke BMKG sedari pukul 9 malam. Mereka yang panik karena melihat gelombang pasang yang tidak normal itu mencoba mencari jawaban atas apa yang tengah terjadi.
“Secara refleks saya mengatakan itu (gelombang tinggi) satu hal yang lazim, karena memang masanya periode pasang purnama,” ujar Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG, Daryono, saat ditemui kumparan di kantornya, Kamis (27/12).
Demi menyebarkan informasi lebih luas, akun twitter @infoBMKG pun turut berkicau. “BMKG tidak mencatat adanya gempa yang menyebabkan tsunami malam ini. Yang terjadi di Anyer dan sekitarnya bukan tsunami, melainkan gelombang air laut pasang. Terlebih malam ini ada fenomena bulan purnama yang menyebabkan air laut pasang tinggi. Tetap tenang.”
ADVERTISEMENT
Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Humas BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) Sutopo Purwo Nugroho melalui akun twitter pribadinya. Tapi, kicauan itu tak bertahan lama dan dihapus kemudian.
Berbagai laporan yang masuk menguatkan asumsi bahwa yang terjadi bukan semata gelombang tinggi karena pasang purnama. Melainkan tsunami yang menerjang tanpa tanda-tanda.
“Mohon maaf jika di twit awal saya menyampaikan bukan tsunami tapi gelombang pasang. Adanya perubahan dan perbaikan informasi karena sesuai dengan data dan analisis terbaru. Jadi, benar ada tsunami di Selat Sunda . Kita semua mengacu BMKG,” tulis Sutopo di akun @Sutopo_PN.
Sebelumnya, pada pukul 21.03, seismograf BMKG sempat mencatat adanya getaran di wilayah Banten dan Lampung. Namun alat pendeteksi gempa itu tidak memproses sinyal getaran—yang diakibatkan oleh erupsi Gunung Anak Krakatau tujuh menit sebelumnya—sebab bukan merupakan gerak tektonik.
ADVERTISEMENT
Setengah jam kemudian, laporan kepanikan warga berdatangan. “Ketika tiba-tiba muncul marigram tsunami ya, kami pun bertanya-tanya ada apa ini, karena tidak ada gempa bumi. Apakah ini meteor jatuh, longsoran, atau erupsi Gunung Anak Krakatau,” tutur Daryono.
Saat itu tide gauge (alat pendeteksi tsunami yang mengukur perubahan muka air laut) mencatat adanya perubahan tinggi gelombang di Banten dan Lampung. Tide gauge Serang di Pantai Jambu pada pukul 21.27 mencatat anomali gelombang paling tertinggi yakni 0,9 meter. Tide gauge Serang memiliki jarak terdekat 47 km dari Anak Krakatau.
Sementara tiga tide gauge lainnya di Pelabuhan Ciwandan, Kota Agung, dan Pelabuhan panjang masing-masing mencatat perubahan muka air laut sebesar 0,35 meter; 0,36 meter; dan 0,28 meter. Keempat data tide gauge yang baru terkumpul lengkap pada pukul 21.53 memunculkan keyakinan bahwa benar tsunami yang terjadi.
ADVERTISEMENT
“Semakin malam semakin banyak laporan, adanya daerah terendam, ada terjangan tsunami, ada video-video viral itu,” ucap Daryono mengingat malam nahas itu.
Meski dalam hati telah meyakini bahwa air tinggi yang menghantam ujung barat Jawa bukan sekadar pasang purnama, tapi keputusan tak bisa langsung diambil, sebab ada standar operasional prosedur Indonesia Tsunami Early Warning System (Ina-TEWS) yang mengikat.
Prosedur yang selama ini berjalan biasanya menggunakan Decision Support System (DSS) yang akan memberikan rincian waktu, level bahaya, dan ketinggian air tiba di daratan sebelum mengeluarkan peringatan dini tsunami. Semua itu berdasarkan 18 ribu data pemodelan yang telah diinput di dalamnya.
Sistem yang mengintegerasikan informasi dari data seismik, GPS, dan tide gauge—ditambah data buoy jika ada—hanya mencatat tsunami yang disebabkan oleh aktivitas tektonik atau gempa, bukan aktivitas vulkanik seperti gunung api.
ADVERTISEMENT
“Selama ini yang kami siapkan adalah peringatan dini berbasis gempa tektonik dan itu sudah mapan,” ucap Daryono. “Kalau DSS diam saja, kita tidak berani mengeluarkan peringatan tsunami.”
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, mengamini pernyataan Daryono. Meski ia telah curiga tsunami terjadi, namun data yang dimiliki belum cukup lengkap untuk mengumumkan peringatan dini tsunami dengan segera. Apalagi peristiwa ini baru kali pertama dihadapi.
“Satu-satunya kecurigaan itu pasti erupsi gunung api. Tapi tidak ada informasi adanya erupsi gunung api Anak Krakatau. Kami sendiri tidak bisa mendapatkan informasi itu karena yang memantau beda lembaga,” tuturnya kepada kumparan.
Selama ini aktivitas vulkanik dipantau Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) yang berada di bawah Badan Geologi Kementerian ESDM. Sementara BMKG bertugas memantau cuaca dan iklim, aktivitas tektonik kegempaan, serta tsunami karena gempa.
Ia pun segera menghubungi Kepala Badan Geologi Rudy Suhendar untuk memastikan kecurigaannya itu. Setelah merasa cukup data, barulah kemudian BMKG mengeluarkan rilis resmi dan mengadakan konferensi pers terkait analisis sementara penyebab tsunami yang datang dalam senyap.
ADVERTISEMENT
“Ini dua peristiwa berbeda, tapi terjadi di waktu dan lokasi sama, di perairan Selat Sunda. Pertama adalah erupsi Gunung Anak Krakatau; dan kedua, potensi gelombang tinggi. Namun ternyata setelah analisis lanjut, gelombang itu merupakan gelombang tsunami,” kata Dwikorita saat jumpa pers, pukul 02.00 Minggu dini hari (23/12).
Menurut laporan BNPB pada Sabtu (29/12), tsunami di Selat Sunda menelan 431 orang korban tewas, 15 orang hilang, 7.200 lainnya luka-luka, dan jumlah pengungsi sebanyak 46.646 jiwa.
Selain itu, 1.527 unit rumah rusak berat, 70 unit rumah rusak sedang, 181 unit rumah rusak ringan, 78 unit penginapan dan warung rusak, 434 perahu dan kapal rusak dan beberapa kerusakan fasilitas publik.
Korban dan kerusakan material ini berasal dari lima Kabupaten yaitu Pandenglang, Serang, Lampung Selatan, Pesawaran dan Tanggamus.
ADVERTISEMENT
Menurut Sutopo, banyaknya korban disebabkan kawasan pesisir pantai Banten hingga Pandeglang merupakan kawasan wisata dan ekonomi khusus yang ramai namun minim sistem mitigasi bencana.
“Mereka membangun (hotel, vila, restoran) hanya 1-2 meter dari pantai. Harusnya nggak boleh. Kalau kita melihat peta rawan bencana, area publik itu harus dibangun di daerah aman. Kalau mau tetap membangun harus disertai mitigasi bencana yang ada, membangun shelter tsunami, bangunan tahan gempa, rambu evakuasi, dan pelatihan,” papar Sutopo.
Baginya, persoalan kultural sadar bencana ini yang sulit diterapkan. “Tidak mungkin semuanya diserahkan ke pemerintah atau BNPB,” pungkas pria asal Boyolali ini.
ADVERTISEMENT
Sulitnya Deteksi Dini Tsunami
Tsunami yang terjadi di Selat Sunda pekan lalu mengejutkan banyak pihak termasuk BMKG dan para ilmuwan. Meski secara teori tsunami memang bisa dipicu aktivitas vulkanik, longsor bawah laut, kondisi tekanan udara, hingga jatuhnya meteor ke laut, namun kenyataannya sangat jarang terjadi.
Maka pendeteksi dini tsunami yang ada selama ini hanya mempertimbangkan faktor kegempaan—yang mendominasi 90 persen penyebab tsunami. Sementara faktor penyebab lainnya luput dari perhatian.
Dwikorita mengakui ada hal-hal yang tidak diantisipasi dan kesalahan pola pikir banyak pihak terhadap bencana. “Tak pernah terpikir bahwa bencana itu bisa semua terjadi bersamaan meskipun penyebabnya berbeda-beda,” ucap mantan rektor perempuan pertama Universitas Gadjah Mada ini.
Pasca-petaka menimpa Selat Sunda pekan lalu, BMKG pun merancang SOP khusus untuk memantau kondisi Gunung Anak Krakatau yang masih terus menunjukkan peningkatan aktivitas vulkanisnya dengan menggaet serta PVMBG.
ADVERTISEMENT
BMKG akan ikut memonitor aktivitas seismik Anak Krakatau, sementara PVMBG tetap memantau aktivitas vulkanisnya. Meski begitu Dwikorita menyadari bahwa, “Koordinasi itu tidak cukup hanya dari human to human. Di era digital ini kita juga membutuhkan koordinasi data, mesin dengan mesin.”
Khusus untuk memantau kemungkinan tsunami kembali menerjang Selat Sunda, BMKG berencana untuk menambah 10 tide gauge di sekitar Anak Krakatau . Alat tersebut akan disebar di pulau-pulau kecil yang mengelilingi Anak Krakatau, yaitu Pulau Sertung, Pulau Panjang, dan Pulau Rakata.
“Untuk tide gauge ini kan harus beli dan minta kepada pemerintah, dananya ya lumayan besar,” ujar Daryono. Opsi selanjutnya adalah memasang radar tsunami teknologi terbaru sehingga bisa lebih cepat mendeteksi anomali-anomali yang terjadi di bawah laut.
ADVERTISEMENT
Persoalan yang dihadapi kemudian adalah soal uang. Mengembangkan sistem deteksi dini bencana alam dengan teknologi terkini memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit dan pengetahuan masyarakat yang mumpuni.
Sutopo, misalnya, mengeluhkan keberadaan buoy (alat deteksi tsunami) yang sudah tidak berfungsi karena tak adanya anggaran pemeliharaan, vandalisme warga, dan pencurian.
“Dulu kita punya 22 buoy tsunami pada 2008. Saat ini sudah tidak beroperasi sejak 2012. Adanya vandalisme dan terbatasnya biaya pemeliharaan,” ucap Sutopo.
Kini jika ingin kembali menggunakan buoy buatan dalam negeri, dibutuhkan setidaknya Rp 100 miliar. Sebab harga per satu buah buoy sekitar Rp 4 miliar untuk buatan lokal dan Rp 7-8 miliar untuk buoy impo. Sementara itu dibutuhkan setidaknya 25 buoy untuk disebar di berbagai area rawan tsunami di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Tak hanya buoy, persoalan teknologi-teknologi penunjang sistem deteksi dini hingga kini belum memenuhi target yang dibutuhkan.
“Sirine BMKG hanya ada 52 dari 1000 yang dibutuhkan, digital video broadcast ada 261 dari 553 unit yang diperlukan, dan dari 200 seismometer yang dibutuhkan hanya ada 171 buah,” papar Sutopo.
Ia pun mengusulkan untuk kembali melanjutkan rencana induk Indonesia Tangguh Menghadapi Tsunami yang sempat terhenti tahun 2015 karena tidak adanya anggaran.
“Ada empat program besar yang akan kita kerjakan. Satu, penguatan program rantai peringatan tsunami, di dalamnya ada pembangunan sirine, alat deteksi gempa, longsoran,” kata Sutopo.
Kedua, pembangunan shelter tsunami dan tahan gempa disertai rambu dan jalur evakuasi yang mumpuni di seluruh area pantai berbahaya di Indonesia. Ketiga, penguatan kapasitas kesiapsiagaan pengurangan risiko bencana yang didalamnya mendorong BPBD untuk lebih sigap.
ADVERTISEMENT
Terakhir, membangun kemandirian industri kebencanaan. “Indonesia harus menjadi tuan rumah di negeri sendiri, tidak impor, tidak membeli produk luar negeri. Indonesia harus menjadi laboratorium alat-alat kebencanaan,” ujar Sutopo.
Anggaran besar yang dibutuhkan berbanding terbalik dengan minimnya kucuran anggaran kepada dua lembaga yang menggawangi peringatan dini dan mitigasi bencana. Misalnya saja, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara mengalokasikan dana sebesar Rp 746 miliar untuk BNPB dan Rp 1,6 triliun untuk BMKG.
Namun finalisasi APBN 2019 untuk BNPB turun menjadi Rp 610 miliar. Padahal, kata Sutopo, anggaran yang ideal setidaknya sebesar Rp 2 triliun. “(Jumlah) ini untuk meng-cover seluruh Indonesia.”
ADVERTISEMENT
Sementara untuk BMKG, dari Rp 2,9 triliun yang diajukan hanya Rp 1,7 triliun yang disetujui. Kebutuhan terkait kebencanaan, mencakup pengelolaan gempa dan tsunami dianggarkan sebesar Rp 140 miliar. Sisanya lebih banyak dialokasikan untuk pengeluaran operasional.
Menurut Roy Salam dari Indonesia Budget Center, tim penyusun anggaran dari masing-masing lembaga mungkin tidak kompeten dalam menyusun anggaran tahunan. Mereka tidak dapat menjelaskan poin per poin detail alokasi biaya yang dicantumkan dalam rencana anggaran.
“Bisa jadi soal SDM di dalam kelembagaan itu yang tidak terpenuhi untuk menyusun anggaran kebencanaan yang komprehensif,” kata Roy di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat (27/12). Hal tersebut bisa menjadi penyebab turunnya jumlah anggaran ketika diajukan dengan finalisasi.
Sementara menurut peneliti tsunami dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, Abdul Muhari, besarnya jumlah anggaran yang harus dikeluarkan di awal sebanding untuk upaya mengurangi korban nyawa dan kerugian ekonomi gara-gara bencana.
ADVERTISEMENT
“Dari tahun 2004 sampai sekarang, kalau kita akumulasikan kerugian ekonomi akibat bencana dalam 15 tahun terakhir, dibagi per event per hari, itu diasumsikan rata-rata kita kehilangan Rp 2,4 miliar per hari karena disaster,” paparnya kepada kumparan setelah meneliti area-area terdampak tsunami di Anyer.
Bencana tak bisa dicegah, tapi kita bisa mengurangi kerugian ekonomi dan korban jiwa yang ia timbulkan, bukan?
ADVERTISEMENT