Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Pernyataan arogan Mario Dendy Satriyo (20), anak pegawai pejabat Ditjen Pajak , saat menganiaya Cristalino David Ozora (17) mengentak publik pada akhir Februari 2023. Ucapan itu terekam usai Mario menendang kepala David yang tergeletak dalam posisi telungkup.
Arogansi dan kekerasan oleh Mario sontak membuat masyarakat ramai-ramai mencari tahu latar belakang pemuda 20 tahun itu. Dari penelusuran warganet di jagat maya, terungkaplah bahwa Mario merupakan putra Kepala Bagian Umum Ditjen Pajak Kanwil Jakarta Selatan II Rafael Alun Trisambodo—yang kini telah dipecat karena pelanggaran disiplin berat.
Rafael diduga tidak membayar pajak penghasilan dan menutupi sebagian hartanya. KPK dan PPATK juga menduga Rafael terlibat tindak pencucian uang. Semua itu terbongkar setelah Rafael diperiksa Kemenkeu dan KPK usai putranya, Mario, menghajar David sampai koma.
Netizen ketika itu menyoroti gaya hidup Mario yang gemar pamer kendaraan mewah di media sosial, misalnya Harley Davidson dan Jeep Rubicon. Hobi flexing Mario ini sudah tentu mengesankan bahwa ia bukan orang biasa.
Lead Analyst Drone Emprit, Rizal Nova Mujahid, menyatakan tren perbincangan di Twitter yang mengecam flexing pejabat negara naik drastis pada 23 Februari—tiga hari setelah penganiayaan Mario terhadap David.
Saat itu jumlah mention terkait flexing mencapai 10.000 lebih. Padahal biasanya tak sampai seribu. Derasnya percakapan netizen soal flexing dipicu oleh rasa penasaran dan kecurigaan mereka atas keberlimpahan harta Rafael yang dianggap tak wajar sebagai PNS Ditjen Pajak.
“Momentum kasus RAT (Rafael Alun Trisambodo) membuat orang mengulik harta pejabat negara dan mengkritisi pejabat yang hartanya tidak sesuai profilnya,” kata Nova saat berbincang dengan kumparan, Kamis (20/4).
Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) yang disampaikan Rafael Alun ke KPK hanya Rp 56 miliar. Kekayaan ini dianggap banyak pihak tak sesuai dengan profilnya yang masih menduduki eselon III. Rafael kemudian ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus dugaan gratifikasi selama 12 tahun.
Setelah kasus Rafael, masyarakat terus menyoroti fenomena flexing alias pamer harta oleh para pejabat dan aparat negara. Bak bola salju yang terus menggelinding, satu per satu abdi negara dan keluarga mereka yang doyan flexing dikuliti warganet.
Contohnya, Kepala Bea Cukai Makassar Andhi Pramono yang anak perempuannya kerap berpakaian mewah di akun medsosnya. Setelah ramai diperbincangkan publik, akun anak Andhi Pramono menghilang.
Andhi membela putrinya, menyebut sang anak memang selebgram yang lumrah menerima endorse barang bermerek.
Selanjutnya, ada pula Sekda Riau SF Hariyanto yang anak-istrinya kerap memajang potret liburan ke luar negeri dan memakai barang mewah. Setelah hal ini jadi gunjingan luas, Hariyanto menyebut bahwa barang-barang mewah yang dipakai istrinya merupakan barang KW alias tiruan.
Contoh lain adalah Kadinkes Pemprov Lampung, Reihana, yang sering mempertontonkan tas mewah, kalung, dan cincin berlian di akun medsosnya. Kini, setelah jadi sorotan publik, akun medsos Reihana diprivat.
Terbaru, Kabag Bin Ops Direktorat Reserse Narkoba Polda Sumut AKBP Achiruddin Hasibuan yang dicopot karena membiarkan penganiayaan oleh putranya, ternyata juga hobi pamer moge.
Belakangan, Achiruddin ketahuan menerima gratifikasi atas gudang solar ilegal di dekat rumahnya. PPATK juga memblokir rekening dia dan anaknya karena dugaan pencucian uang.
Warganet Bersatu Kecam ASN Flexing
Kegeraman masyarakat terhadap ASN yang gemar flexing terlihat jelas dari tren perbincangan di medsos, khususnya Twitter. Hasil analisis Drone Emprit dari 20 Februari hingga 18 April 2023 menunjukkan warganet kompak mengecam perilaku flexing para pejabat.
“Biasanya pada hal seperti ini suara publik terpecah, tapi yang ini satu suara. Maka harus jadi perhatian bukan cuma oleh Kemenkeu dan Dirjen Pajak, tapi juga pemerintah secara umum,” kata Rizal Nova.
Selama dua bulan terakhir, netizen rajin memantau dan mengungkap gaya hidup mewah para pejabat yang tak sesuai profil mereka. Warganet berharap, para pejabat tersebut bisa segera diperiksa KPK.
“Karena ada kecurigaan pada sumber harta pejabat yang dinilai tak lazim dan terindikasi ada penggunaan uang negara,” kata Nova.
Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan menyebut bahwa jumlah pejabat negara yang gemar flexing yang sudah masuk “daftar tunggu” untuk diperiksa lembaganya berjumlah 21 orang. Mereka akan dimintai klarifikasi terkait kebenaran LHKPN-nya hingga asal muasal harta yang dipakai untuk flexing.
“Semisal dia ke luar negeri pakai pesawat business class yang nilai perjalanannya Rp 100 juta, ada enggak di rekening banknya keluar duit Rp 100 juta? Jadi, enggak ada salahnya ke luar negeri pakai tiket bisnis, tapi [yang penting duitnya] dapat dari mana? Kalau dikasih orang, ya siapa orangnya?” terang Pahala.
Hasil analisis Drone Emprit memperlihatkan mayoritas warganet kaget dengan kekayaan para pejabat yang flexing. Rasa terkejut itu lantas merembet menjadi rasa marah. Masyarakat curiga kekayaan pejabat yang bergaya hidup mewah itu berasal dari penyelewengan uang negara atau pungutan liar.
“Ada distrust tinggi—kemarahan, kecurigaan bahwa para pejabat kaya mendapatkan harta mereka tidak dengan cara halal,” ujar Nova.
Tak sedikit pula netizen yang menyindir dengan menyebut kekayaan besar para pejabat adalah sesuatu yang lazim sehingga tidak lagi bikin kaget. Banyak pula warganet yang mengejek aksi tutup akun atau private akun medsos sejumlah pejabat dan keluarganya sebagai tanda ketidakmampuan mereka menjelaskan asal muasal hartanya.
“Ada sindiran-sindiran ‘Ah, baru segitu aja udah tutup akun’, atau ‘Ini nih kelakuan orang kaya baru’. Sampai sindiran soal cara berdandan [ASN flexing] yang dinilai norak,” kata Nova.
Urgensi RUU Perampasan Aset
Pakar Hukum Pidana Universitas Parahyangan Agustinus Pohan memandang maraknya fenomena flexing abdi negara menandakan lemahnya pengawasan internal atau inspektorat di masing-masing instansi.
Ia mencontohkan kasus Kadinkes Pemprov Lampung Reihana Wijayanto yang menjadi sorotan setelah kegemarannya flexing jadi perbincangan warganet. KPK pun menyebut LHKPN Reihana tak sesuai dengan profilnya.
KPK kini tengah mengecek sertifikat tanah dan rekening bank Reihana. Bukan tak mungkin Reihana akan diundang untuk mengklarifikasi sumber hartanya usai Lebaran ini.
Reihana telah menduduki jabatan Kadinkes Lampung selama 14 tahun. Oleh sebab itu, Agustinus mempertanyakan mengapa dalam kurun waktu belasan tahun tersebut inspektorat tidak bergerak untuk memeriksa Reihana.
“Harusnya dari dulu inspektorat sudah curiga, ada apa, pimpinan diberi tahu, mungkin [Reihana bisa] diperiksa,” kata Agustinus.
Ia menekankan, inspektorat yang merupakan unsur pengawas seharusnya peka dengan kondisi internal masing-masing instansi, dan dengan demikian menjadikan flexing sebagai indikator perilaku koruptif.
Senada, Guru Besar Fakultas Ekonomi UI Rhenald Kasali yang mencermati fenomena flexing mengatakan bahwa sudah tidak zamannya lagi Inspektorat melakukan pengawasan internal dengan pendekatan birokratif. Ia mendorong penggunaan metode patroli digital terhadap gelagat flexing para ASN di instansi masing-masing.
Agustinus berpendapat RUU Perampasan Aset perlu segera dibahas dan disahkan. RUU tersebut telah diusulkan masuk ke legislasi prioritas sejak 2012, namun hingga kini tak kunjung dibahas pemerintah dan DPR. Padahal, dengan RUU Perampasan Aset, harta pejabat negara yang diduga berasal dari hasil tindak pidana bisa langsung disita tanpa menunggu persidangan.
Berdasarkan draf RUU Perampasan Aset versi 2015, salah satu aset yang bisa dirampas adalah aset yang dinilai tidak sesuai profil pejabat negara. Hal itu termaktub pada Pasal 2 ayat (1) huruf k RUU tersebut yang berbunyi:
“RUU Perampasan Aset arahnya non-conviction based asset forfeiture (perampasan aset tanpa tuntutan pidana). Jadi penyitaan aset tanpa melalui putusan pengadilan. Pendekatannya bukan siapa yang bersalah, tapi aset yang bermasalah,” jelas Agustinus.
Agustinus menilai RUU Perampasan Aset bisa menjadi pintu masuk untuk menyita harta flexing pejabat negara apabila sumbernya ilegal. Jika pejabat tersebut tidak terima hartanya disita, maka ia harus membuktikan asal usul harta tersebut.
Rhenald Kasali menyatakan fenomena ASN flexing perlu disikapi serius agar kepercayaan masyarakat terhadap instansi negara terjaga. Jika tidak, api kecemburuan sosial akan meletup.
Sosiolog UGM Derajad Sulistyo Widhyharto sependapat. Ia mengatakan ASN flexing bisa berdampak buruk bila tidak ditangani serius, khususnya di sektor pelayanan.
“Kalau pejabatnya secara struktural lebih kaya, ya enggak punya sense of service… Fungsi negara akan melemah dalam pelayanan. Ketika fungsi pelayanan rendah, otomatis masyarakat akan distrust… Ini secara akumulatif bisa membuat masyarakat tidak percaya kepada pemerintahan secara keseluruhan,” kata Derajad kepada kumparan, Rabu (19/4).
Menurut Derajad, flexing didorong oleh konsumsi barang yang bukan karena fungsinya (conspicuous consumption), tapi untuk pamer kepada orang lain. Konsep tersebut diperkenalkan sosiolog Amerika Serikat Thorstein Veblen.
“Misalnya sudah punya mobil satu, tapi ingin beli Rubicon, Alphard. Jadi sudah punya mobil tapi tidak memaksimalkan mobil itu, justru membeli mobil lain yang mencolok,” ujar Derajad.
Menurutnya, secara naluriah flexing merupakan hal lumrah bila tidak dilakukan secara periodik. Semisal hanya saat momen tertentu seperti mudik Lebaran. Namun, hal itu jadi tak wajar jika berlangsung terus-menerus.
Derajad menyatakan, tujuan para ASN dan keluarganya pamer harta secara periodik ialah untuk menunjukkan pencapaian dan status sosial.
“Pamer itu sebuah tendensi untuk menunjukkan bahwa seseorang sudah mencapai posisi tertentu—kalau ia pejabat. Posisi itu diraih dengan proses yang tak mudah. Mungkin untuk jadi pejabat harus [kasih] mahar sehingga mereka tidak sungkan untuk memamerkan apa yang mereka punya,” jelas Derajad.
Rhenald Kasali menambahkan, salah satu faktor flexing adalah karena ASN dan keluarganya tak mampu menahan hasrat konsumsi. Ketidakmampuan itu dipengaruhi rasa takut tertinggal dari gaya hidup orang lain atau fear of missing out (FOMO).
“Para pejabat ini pandai menyimpan duit, tetapi tidak pandai saat mengonsumsinya. Jadi kalau sudah konsumsi, mereka kalap…” kata Rhenald.
Di sisi lain, psikolog sosial UI Dicky Pelupessy memandang fenomena flexing ASN sebagai upaya untuk menutupi persoalan kepercayaan diri yang rendah. Melalui flexing, para pejabat dan keluarga mereka ingin mendapatkan pengakuan dari lingkungan.
“Orang yang flexing dan pamer sebetulnya punya isu secara psikologis. Flexing bagian dari mengatasi rasa tidak aman, tidak nyaman, dan harga diri yang rendah,” ucap Dicky.
Sayangnya, kata Dicky, para ASN tersebut lupa bahwa pendapatan seorang PNS sudah terukur. Alhasil, tingkah flexing mereka justru jadi bumerang lantaran barang yang dipamerkan tidak cocok dengan pendapatan.
Persoalan rendahnya self-esteem di balik flexing diamini Rhenald. Lewat flexing, ada hasrat untuk lebih dikenal. Ini motivasi yang berbeda dengan flexing para crazy rich abal-abal macam Indra Kenz dan Doni Salmanan yang mencuat pada awal 2022.
Ketika itu, Indra dan Doni flexing untuk menarik perhatian pengikutnya di medsos agar ikut trading ilegal. Padahal kemewahan yang mereka pamerkan merupakan hasil menipu aplikasi trading tersebut.
Yang perlu diingat, kata Rhenald, menjadi terkenal karena gaya glamor bagi ASN merupakan hal janggal, sebab pendapatan mereka saja tidak cukup untuk membeli barang-barang mewah.
Di sinilah titik kesamaan antara crazy rich abal-abal dan ASN yang gemar flexing, yakni: sumber duit diduga ilegal.
“Ketika ada label ASN, orang langsung mikir ‘Ini uang gue (rakyat) nih, bukan uang mereka.’ Karena orang tahu sumbernya enggak mungkin [pendapatan] mereka,” ucap Rhenald.
Itu sebabnya ketika tingkah flexing ASN terungkap, mereka membuat berbagai alasan.
Rhenald mencatat ada 4 alasan yang kerap dipakai ASN untuk berkilah. Pertama, menyebut barang mewah yang mereka pakai sebagai tiruan alias KW. Kedua, menyebut barang mewah itu dibeli dari uang hasil usaha mereka yang telah bertahun-tahun berjalan.
Ketiga, berkilah bahwa barang mewah yang mereka pamerkan adalah milik keluarga. Keempat, menyebut kekayaan yang mereka miliki sebagai hibah.
Dicky Pelupessy menyatakan, fenomena flexing ASN dan keluarga mereka menjadi ramai lantaran adanya ketimpangan sosial. Sementara sejumlah ASN pamer harta yang sumbernya diduga ilegal, masih banyak masyarakat yang hidup miskin.
“Flexing itu cermin dari ketiadaan integritas, ketiadaan empati sosial, ketidakberpihakan terhadap publik, dan kurangnya penjiwaan terhadap profesi yang diemban,” tutup Rhenald.