Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Genjer-genjer nong kedokan pating keleler
Genjer-genjer nong kedokan pating keleler
Emake thulik teka-teka mbubuti genjer
Emake thulik teka-teka mbubuti genjer
Ulih sak tenong mungkur sedhot sing tulih-tulih
Genjer-genjer saiki wis digawa mulih
ADVERTISEMENT
Lagu Genjer-genjer dinyanyikan di dalam. Kira-kira demikian salah satu bunyi hoaks, isu liar provokatif yang menyebar di media sosial saat massa dari sejumlah kelompok tertentu mengepung gedung Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Minggu malam (17/9).
Hoaks itu langsung dibantah LBH Jakarta, yang menyatakan tak ada aktivitas menyanyi Genjer-genjer di area mereka. Yang ada ialah pentas seni “Asik Asik Aksi: Indonesia Darurat Demokrasi” yang digelar sebagai keprihatinan atas pembubaran seminar “Pengungkapan Kebenaran Sejarah 1965/1966” sehari sebelumnya.
“Berita-berita bohong telah disiarkan, propaganda tuduhan yang mengada-ada telah diviralkan, instruksi-instruksi untuk menyerang LBH dilakukan secara sistematis dan meluas bahwa ini acara PKI, menyanyikan lagu Genjer-Genjer, dan lain-lain. Padahal, sama sekali tidak ada. Kami khawatir ini ditunggangi oleh pihak-pihak yang menghendaki chaos dan rusuh,” kata Ketua Bidang Advokasi LBH Jakarta, Muhammad Isnur.
ADVERTISEMENT
Kepolisian pun mengatakan kepada massa tak ada kegiatan berbau PKI di dalam gedung.
“Yang beredar di medsos bahwa ada kegiatan PKI itu tidak benar. Membahas PKI itu tidak benar. Saya harus sampaikan yang sebenarnya. Judul seminarnya adalah ‘pelurusan’ tentang fakta tahun ‘65. Kegiatan dilanjutkan aksi seni,” ujar Kapolres Jakarta Pusat, Kombes Suyudi, di luar gedung LBH Jakarta.
Dan ya, keduanya memang kerap erat dikaitkan--antara lagu Genjer-genjer yang mendayu lembut dengan Partai Komunis Indonesia yang sudah mati namun luar biasa ditakuti.
Lirik lagu Genjer-genjer bila diterjemahkan sebetulnya hendak bercerita tentang para ibu yang memanen sayur genjer di petak sawah, dibawa ke pasar untuk dijual, lalu sisanya dimasak. Sama sekali tak menyinggung komunisme.
ADVERTISEMENT
Tapi kini--sejak 1965 tepatnya, lagu Genjer-genjer bikin geger. Dikaitkan dengan segala hal soal PKI dan komunisme, musuh abadi negeri ini.
Sudah nasib genjer--tanaman yang rasanya seperti kangkung bila dimasak--ikut jadi objek propaganda Orde Baru. Disebut-sebut menjadi musik latar saat para jenderal dibantai, lagu ini lantas seakan haram.
Kalau mau selamat, jangan cari ribut, jangan memutar apalagi menyanyikan Genjer-genjer. Lagu mendayu itu sontak berubah wajah menyeramkan.
Pada mulanya, lagu besutan Muhammad Arief, seniman asli Banyuwangi itu, begitu terkenal tahun 1960-an. Musababnya, liriknya dirasa mewakili nasib dan derita rakyat Indonesia kala itu. Muasal penciptaannya pun lantaran Arief melihat rakyat Indonesia kekurangan bahan makanan saat pendudukan Jepang.
Penulis dan periset sejarah Fandy Hutari ingat betul kisah neneknya yang hidup pada masa itu, dan menyaksikan langsung derita rakyat Indonesia.
ADVERTISEMENT
“Dahulu, nenek saya pernah melihat genjer-genjer dibawa ke pasar tradisional dan dijual, sebagai makanan rakyat ketika sengsara,” kata Fandy.
Lagu Genjer-genjer, ujar Fandy, diadaptasi dari lagu rakyat berjudul Tong Alak Getak. Saking populernya Genjer-genjer di zaman itu, Bing Slamet dan Lilis Suryani yang membawakan lagu itu pun ikut tenar.
Nada lembut dan latar belakang pembuatan lagu Genjer-genjer dianggap kontekstual, pas dengan kondisi zaman 1960-an kala ekonomi belum stabil dan harga pangan meroket. Sangat mirip dengan kondisi saat Jepang masih menduduki Indonesia.
Mereka yang bergabung dalam organisasi kebudayaan sayap kiri Indonesia, Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra)--ndilalah Arief turut serta di dalamnya--senang menyanyikan lagu tersebut.
Dalam tulisan Fransisca Ria Susanti bertajuk Terseret Genjer , Genjer-genjer adalah lagu lama yang dipentaskan Lekra Jawa Timur melalui kelompok Gentasuri. Kala itu, kelompok ini dipimpin oleh Made Yase. Lagu ini pun menyita perhatian Njoto, Wakil Ketua II Comite Central II PKI.
ADVERTISEMENT
Tak hanya PKI, dalang Ki Nartosabdo yang berada di bawah naungan seniman Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN)--organisasi kebudayaan di bawah Partai Nasional Indonesia--sering kali menyanyikan Genjer-genjer dalam pementasan. Ia jatuh hati pada lagu ini karena syairnya yang menyentuh.
Hingga akhirnya, peristiwa 30 September 1965 (G30S) pun pecah. Diawali kabar tujuh jenderal dibunuh dengan kejam, PKI tumbang dan semua golongan dan simpatisan gerakan kiri--PKI ataupun tidak--diburu dan dibunuh. Keluarga mereka harus menelan pil pahit bertahun-tahun hingga kini, bagai label “PKI” tersemat di dahi mereka tanpa bisa dihapus.
Rumor santer berembus, saat para jenderal dibunuh dan dilempar ke Lubang Buaya, lagu Genjer-genjer mengiringi dan para perempuan menari-nari, bak upacara pengorbanan. Asupan “makanan” semacam ini tentu membuat takut rakyat.
ADVERTISEMENT
Dan pada situasi kacau dan penuh ketakutan itu, Soeharto berhasil menumpas PKI, komunisme, dan gerakan kiri sampai ke akar-akarnya, dan melenggang mulus ke tampuk kuasa.
Bagaimana dengan pencipta lagu Genjer-genjer, Muhammad Arief?
Sebagai anggota Lekra, ia sudah barang tentu disebut sebagai pendukung komunisme. Dan Genjer-genjer selamanya dijuluki lagu PKI.
“Karena Muhammad Arief masuk Lekra, maka lagu ini lalu dituding terkait PKI. Padahal, lagu itu tak hanya dinyanyikan oleh orang-orang partai tersebut. Masyarakat luas mengenal lagu itu karena diputar di radio pada 1960-an,” kata Fandy.
Lagu Genjer-genjer menjadi semakin identik dengan PKI setelah kewajiban penayangan film G30S/PKI tiap 30 September malam, selama Orde Baru berkuasa.
Dalam film tersebut, seperti narasi Orba, lagu Genjer-genjer terdengar saat para jenderal disiksa.
ADVERTISEMENT
Tak hanya ditempeli label PKI, lirik lagu Genjer-genjer lantas diplesetkan.
“Jika ditarik ke belakang, usai G30S, para aktivis Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) memplesetkan lagu itu,” kata Fandy.
Liriknya diubah seperti ini: Jenderal-jenderal nyang ibu kota pating keleler. Emake Gerwani, teko teko nyuliki jenderal. Oleh sak truk mungkir sedot sing toleh-toleh. Jenderal-jenderal saiki wes dicekeli. Jenderal-jenderal isuk-isuk pada disiksa. Dijejer ditaleni dan dipelosoro. Emake Gerwani, teko kabeh milu ngersoyo. Jenderal-jenderal maju terus dipateni.
Seharusnya, lirik itu terdaras seperti ini: Genjer-genjer nong kedo'an pating keleler. Genjer-genjer nong kedo'an pating keleler. Ema'e thole teko-teko mbubuti genjer. Ema'e thole teko-teko mbubuti genjer. Oleh satenong mungkur sedot sing toleh-toleh. Genjer-genjer saiki wis digowo mulih. Genjer-genjer esuk-esuk didol neng pasar. Genjer-genjer esuk-esuk didol neng pasar. Dijejer-jejer diuntingi podo didasar. Dijejer-jejer diuntingi podo didasar. Ema'e jebeng podo tuku gowo welasar. Genjer-genjer saiki wis arep diolah.
ADVERTISEMENT
Kengerian akan “bahaya laten komunis”, dengan lagu Genjer-genjer yang ikut jadi korban, hingga kini bergaung meski Soeharto telah berkalang tanah.
Tahun 2009, stasiun radio di Solo yang menyiarkan lagu itu sempat didatangi dan didemo massa. Selain itu, band asal Mojokerto sempat dimintai keterangan dan wajib lapor pada Kepolisian setelah membawakan lagu Genjer-genjer di sebuah konser musik.
Pun, Muhammad Arief penciptanya, hilang tak tentu tak tahu rimbanya, tenggelam dalam pusaran ketakutan rakyat akan kekejaman PKI.
Genjer-genjer saiki wis arep diolah
Genjer-genjer mlebu kendhil wedang gemulak
Genjer-genjer mlebu kendhil wedang gemulak
Setengah mateng dientas yo dienggo iwak
Setengah mateng dientas yo dienggo iwak
Sego sak piring sambel jeruk ring pelonco
Genjer-genjer dipangan musuhe sego
ADVERTISEMENT
Nasib memang tak berpihak pada Genjer-genjer. Diciptakan, digemari, ditakuti, dijauhi. Genjer-genjer, pada akhirnya, kerap bikin geger.