Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
SBY, menurut Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat Andi Mallarangeng, mendapat informasi dari sumber terpercaya terkait skenario “dua paslon cukup” itu. Informasi itu, tegas Andi, dapat mereka pertanggungjawabkan kebenarannya. Informasi itu pun langsung disampaikan kepada SBY, tanpa perantara.
“Ada yang berusaha mengatur agar hanya dua pasang calon yang maju di pemilu,” kata Andi kepada kumparan di kediamannya, Cilangkap, Jakarta TImur, Rabu (21/9).
Skenario tersebut, bagi Demokrat yang partai oposisi, adalah hal yang “mengerikan”. Mereka berada pada posisi yang sangat tidak menguntungkan bila berhadapan dengan koalisi gendut pemerintah. Kerugian inilah yang membuat SBY sampai merasa perlu turun gunung dan bersuara. Hal tersebut, menurut Andi, penting sebagai pesan moral.
“Partai oposisi harus teriak lantang dengan keadaan macam ini,” ujar Andi.
Ia khawatir, wacana “dua paslon cukup” adalah upaya pihak berkuasa untuk mengetes riak di masyarakat, seperti yang terjadi pada wacana Jokowi 3 Periode atau perpanjangan masa jabatan presiden via penundaan pemilu.
Bila tak banyak penolakan, bisa jadi Pilpres 2024 akan benar-benar digiring agar hanya diikuti dua paslon—yang diinginkan pihak berkuasa.
“Kami harus lantang sehingga mudah-mudahan tidak sampai terjadi. Karena lantang, urusan 3 periode kan surut. Perpanjangan masa jabatan juga surut,” tutur Andi.
Wacana dua paslon sempat diutarakan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto pada akhir Agustus. Menurutnya, dua pasangan capres-cawapres adalah ideal di tengah pemulihan ekonomi pasca-pandemi dan ketidakpastian global.
“Dalam konteks ideal, mengingat syarat menang pemilu tidak mudah… Indonesia memerlukan pelaksanaan Pilpres yang demokratis, cepat, kredibel, dan hanya berlangsung satu putaran… Pemilu yang efisien, efektif, dan mampu melahirkan pemimpin hebat,” kata Hasto.
Ketimbang berlangsung dua putaran dan memakan waktu lebih lama serta menghabiskan biaya lebih banyak, Pilpres didorong PDIP cukup satu putaran. Konsekuensinya, Pilpres hanya diikuti dua paslon dan itu diwujudkan dengan membangun kesepahaman di depan.
Namun, dorongan PDIP itu dimaknai Demokrat sebagai strategi licik, bahkan bentuk kecurangan pemilu. SBY menyebutkan sebagai skenario pemilu yang “tidak jujur dan tidak adil”.
Deputi Badan Pemenangan Pemilu Demokrat Kamhar Lakumani berpendapat, skenario dua paslon sama saja artinya dengan cara melanggengkan kekuasaan secara sistematis. Ia pun curiga bahwa dua paslon itu pun nantinya adalah orang-orang yang direstui pemerintah.
“Itu harus dikritisi agar tidak ada silat lidah dalam membangun narasi yang sebenarnya hanya untuk menyembunyikan kepentingan terselubungnya, yakni melanggengkan kekuasaan yang patut diduga titipan oligarki,” ucap Kamhar.
Seorang sumber di internal parpol pun mendapatkan informasi serupa. Ia mendengar bahwa kandidat capres tertentu bakal dijegal dengan kasus hukum demi mewujudkan skenario dua paslon.
Pengondisian itu juga didengar politisi PKS Mardani Ali Sera. Namun, ia meminta isu itu ditanggapi dengan hati-hati.
“Isu yang saya dengar, Mas Anies Baswedan akan dihalangi untuk maju at all cost,” kata Mardani kepada kumparan.
Ia mau tak mau kemudian mengaitkan kabar itu dengan pemanggilan Anies oleh KPK dalam kasus dugaan korupsi Formula E. Selain itu, muncul pula isu bahwa Jakarta International Stadium (JIS) tidak memenuhi standar FIFA—yang menurut Mardani tak masuk akal karena pembangunannya jelas disupervisi FIFA.
“Anies adalah antitesis pemerintah. Cuma dia yang vis-à-vis dengan pemerintah sekarang,” kata seorang sumber di partai koalisi Jokowi.
Menurutnya, Anies sempat berpendapat bahwa ganti presiden adalah ganti orangnya, bukan programnya yang sudah berjalan. Meski demikian, hal itu tak lantas menjadikan Anies sebagai calon yang ideal bagi pihak-pihak di barisan Jokowi.
“Karena ini residu dari Pilgub DKI Jakarta 2017,” ucapnya.
Pada Pilgub DKI Jakarta 2017, Anies-Sandiaga yang diusung Gerindra dan PKS berhadapan dengan Ahok-Djarot yang diusung PDIP di putaran kedua, sedangkan AHY-Sylviana tersisih di putaran pertama.
Pilgub tersebut dipandang banyak kalangan sebagai pilkada paling “brutal” karena kental sentimen SARA dan membelah masyarakat menjadi dua kubu besar yang saling berseteru, bahkan hingga kini.
Dan sampai sekarang pun, Anies dianggap sebagai calon paling tidak ideal bagi kubu Jokowi/PDIP. Inilah yang memunculkan isu bahwa ia menjadi target utama untuk dieliminasi pada skenario “dua paslon cukup”.
Terkait tudingan SBY bahwa Pemilu 2024 berpotensi “tidak jujur” dan “tidak adil”, Menko Polhukam Mahfud MD menyebut bahwa ada atau tidaknya kecurigaan tersebut, pemilu pasti tak lepas dari kecurangan.
”Pada zaman Pak SBY juga banyak kecurangan. Sebagai hakim MK ketika itu, saya tahu itu. Tapi kecurangan yang terjadi bukan kecurangan yang dilakukan pemerintah terhadap parpol, melainkan kecurangan antarpendukung parpol sebagai kontestan pemilu,” ucap Mahfud.
Proyek Nasional di Tangan Suksesor
Wacana “dua paslon cukup”, menurut Kamhar, didorong untuk melindungi kepentingan pemerintah saat ini, yakni agar program-program pembangunan yang sedang berjalan dan belum rampung, dapat terjamin keberlanjutannya di tangan presiden baru kelak.
Salah satu pembangunan penting itu adalah proyek Ibu Kota Negara yang terancam molor penyelesaiannya meski negara telah menggelontorkan banyak uang.
Meski IKN telah dinaungi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara, namun tanpa presiden yang berniat melindungi dan merampungkan proyek tersebut, IKN terancam jadi monumen kegagalan semata. Terlebih, UU IKN bolak-balik digugat ke MK.
“Ingin membangun legacy glorifikasi bahwa Pak Jokowi sukses bangun IKN, padahal saat ini belum pas. Harusnya bantu dulu ekonomi masyarakat,” kata Kamhar.
Ia khawatir IKN bakal menjadi beban bagi pemerintahan baru, dan membuat kepentingan rakyat banyak dinomorduakan demi proyek mercusuar tersebut.
“Berbahaya ketika untuk kepentingan proyek ada pengondisian politik, termasuk suksesi kepemimpinan… Belum tentu itu jadi kebutuhan objektif bangsa ini ke depan dalam memulihkan ekonomi dan mengoptimalkan kebijakan untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan,” kata Kamhar.
Andi Malarangeng menambahkan, pandangan bahwa hanya tokoh tertentu yang dapat melanjutkan pembangunan nasional sebetulnya telah terjadi sejak era Soekarno.
“Godaan ini sama dengan yang diterima Bung Karno dulu—revolusi belum selesai. Nah, karena revolusi belum selesai, hanya Bapak yang bisa pimpin, dan Bapak yang bisa jadi presiden seumur hidup. Pak Harto juga sama. Tiap pemilu terpilih terus, karena ‘pembangunan belum selesai dan hanya Bapak yang bisa bangun negeri,’” ujar Andi.
Maka, lanjutnya, IKN adalah benang merah dengan peristiwa terdahulu. Pemerintah merasa perlu memilih suksesor yang tepat agar proyek nasional tidak gagal.
“Yang bisa jadi capres kemudian adalah orang-orang yang mendukung pemerintahan Bapak [Presiden] untuk memastikan yang jadi presiden adalah orang yang dianggap bisa melanjutkan pembangunan, karena IKN tak mungkin selesai dalam dua tahun,” tutur Andi.
Dua Paslon Tak Cukup?
Pilpres 2014 dan 2019 juga berjalan dengan dua pasang calon. Pada Pilpres 2014, Jokowi-Jusuf Kalla berhadapan dengan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Pada Pilpres 2019, Jokowi-Ma’ruf Amien berhadapan dengan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Dampaknya, terjadi polarisasi. Masyarakat terbelah menjadi dua kubu besar antara pendukung Jokowi atau Prabowo. Pada 2019, polarisasi meruncing dan politik identitas mencuat. Identifikasi terjadi antara pendukung Jokowi (yang kemudian disebut Cebong) dan pendukung Prabowo (Kampret).
“Itu tidak sehat. Tiga atau empat pasang calon itu bagus,” kata Andi.
Ia menambahkan, andai memang hanya dua paslon yang maju namun itu terjadi secara natural, tanpa skenario, Demokrat tak bakal mempersoalkannya. Asal “jangan diatur-atur.”
Politsi NasDem Willy Aditya sepakat bila Pilpres diikuti lebih dari dua paslon, sebab semakin banyak pilihan tersedia untuk masyarakat.
Survei Politika Research and Consulting (PRC) yang dirilis akhir Juli 2022 memperlihatkan bahwa 48,5% masyarakat menghendaki Pilpres diikuti tiga atau lebih paslon, sedangkan 47,8% menginginkan Pilpres hanya diikuti dua paslon.
Survei PRC tersebut melibatkan 1.200 responden dengan tingkat kepercayaan sebesar 95% dengan margin of error 2,74%.
Akar Rumput Strategic Consulting (ASRC) juga merilis hasil survei pada periode yang sama yang menunjukkan bahwa mayoritas responden (32,3%) menginginkan Pilpres diikuti tiga paslon; 18,4% menginginkan empat paslon; dan 29,9% menginginkan dua paslon saja.
Survei tersebut dilakukan terhadap 1.225 responden dengan margin of error +/- 2,8%.
Pada akhirnya, jumlah paslon akan ditentukan oleh dinamika politik mendekati 2024. Faktor presidential threeshold juga berpengaruh, sebab mayoritas parpol harus berkoalisi lebih dulu guna memenuhi ambang batas 20% suara sah nasional untuk bisa mengusung capres-cawapres.
Peneliti SMRC Saidiman Ahmad berpendapat, jumlah paslon juga akan bergantung pada pergerakan elektabilitas para kandidat di bursa survei. Sejauh ini, ada tiga nama yang terus-menerus berada di posisi teratas: Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan.
Suka atau tidak suka, menurutnya, parpol harus mencermati hal tersebut karena survei mencerminkan keinginan khalayak.
“Dengan posisi kandidat yang semacam itu, saya kira [dukungan] partai akan terbagi pada tiga calon itu secara proporsioonal. Jadi bukan persoalan apakah ada yang mengatur [Pilpres diikuti] dua atau tiga paslon,” ujarnya.
Jika oposisi, termasuk Demokrat, menginginkan calonnya sendiri, lanjut Saidiman, maka mereka harus mendahului partai berkuasa dalam membentuk koalisi. Di sini, NasDem jadi faktor penting karena diincar sebagai kawan koalisi oleh PDIP maupun Demokrat.
“Jadi tergantung apakah Demokrat dan PKS bisa lobi NasDem lebih kuat daripada PDIP,” tutur Saidiman.
Jika NasDem berhasil diyakinkan untuk bergabung dengan Demokrat dan PKS, maka calon alternatif di akan sangat mungkin muncul.