Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Tiga kader senior Partai Golkar beserta seorang mantan menteri menyambangi rumah Luhut Binsar Pandjaitan, Maret 2022. Sang tuan rumah yang juga Menko Maritim dan Investasi itu menyambut kedatangan mereka.
Tiga tamu Luhut saat itu, menurut dua sumber kumparan, ialah Melchias Mekeng, Indra Bambang Utoyo, Wisnu Suhardono, dan Hilal Hamdi, eks Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi era Gus Dur.
Keempatnya bersama Luhut membahas berbagai hal, termasuk soal kondisi Golkar di bawah kepemimpinan Airlangga Hartarto . Di Golkar, Luhut memang termasuk salah satu tokoh senior. Ia merupakan Ketua Dewan Penasihat.
Tokoh-tokoh Golkar itu khawatir suara partai bakal jeblok jika Airlangga tetap duduk di kursi ketua umum sampai Pemilu 2024. Mereka menilai Airlangga membebani Golkar dengan elektabilitasnya yang selalu berada di urutan bawah dalam berbagai survei capres. Padahal Airlangga sudah ditetapkan sebagai capres Golkar pada Munas 2021.
Dalam pertemuan di kediaman Luhut itu, dibahas pula hasil kajian yang menyebut suara Golkar terancam anjlok dari 85 kursi DPR di Pemilu 2019, menjadi hanya sekitar 60 kursi di Pemilu 2024.
Keresahan terhadap masa depan Golkar di Pemilu 2024 ini membuat isu Musyawarah Nasional Luar Biasa untuk menggantikan Airlangga mencuat. Hal itu turut disinggung dalam obrolan di rumah Luhut. Munaslub dianggap perlu untuk menyelamatkan partai.
“Golkar bisa [jadi partai] papan tengah [kalau Airlangga dipertahankan],” ucap sumber yang mengetahui pertemuan itu.
kumparan mengonfirmasi pertemuan tersebut ke jubir Luhut, Jodi Mahardi, hingga kini belum mendapat respons.
Elektabilitas Airlangga kerap menjadi sorotan sejak ia ditetapkan sebagai capres Golkar pada Rapimnas Maret 2021. Dari berbagai survei, tingkat keterpilihannya tak lebih dari 5%.
Salah satu yang mempertanyakan tak kunjung naiknya elektabilitas Airlangga adalah Sirajuddin Abdul Wahab, Inisiator Gerakan Muda Partai Golkar (GMPG). Padahal Airlangga sering tampil di depan publik, bahkan menebar baliho di berbagai daerah dengan anggaran miliaran.
Pada masa pandemi COVID-19 sejak awal 2020, misalnya, wajah Airlangga kerap muncul tak hanya sebagai Menko Perekonomian, tapi juga Ketua Komite Penanganan COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN). Sayangnya, hal itu tak mampu mengerek elektabilitasnya yang mentok.
“Tingkat pengenalan orang terhadap Airlangga harusnya 100% karena tiap hari pasti ada [berita tentangnya], tapi kenapa tidak berbanding lurus ke elektabilitas?” kata Sirajuddin kepada kumparan, Rabu (8/6).
“Ditambah lagi [elektabilitas] Golkar enggak naik-naik. Terakhir survei di angka 5%. Padahal ketokohan ketum harusnya bisa menarik partai, contohnya Prabowo atau SBY. Tapi kenapa enggak terjadi pada Airlangga?” imbuhnya.
Kinerja Airlangga sebagai Menko Perekonomian, menurut Sirajuddin, tak sejalan dengan kebutuhan Golkar sehingga berimbas pada berkurangnya efek elektoral bagi partai. Selain itu, konsolidasi di struktur partai juga tak berjalan.
“Menghadapi pemilu yang sudah di depan mata, kader Golkar prihatin melihatnya,” ujar Sirajuddin.
Benih-benih kekecewaan kader Golkar, khususnya loyalis Bambang Soesatyo (Bamsoet), sudah tertanam sejak awal kepemimpinan sang Ketua Umum. Pada Munas Golkar 2019, Airlangga terpilih sebagai ketua umum secara aklamasi usai pesaingnya, Bamsoet, mundur dari gelanggang demi menjaga soliditas partai.
Sebelum Munas 2019 pun, Airlangga sudah memimpin Golkar. Ia dikukuhkan sebagai Ketua Umum menggantikan Setya Novanto yang terjerat kasus korupsi e-KTP pada Munaslub 2017.
Sumber kumparan di internal Golkar mengatakan, Airlangga pada Munas 2019 berjanji kepada Bamsoet untuk menyusun kepengurusan bersama-sama dengan komposisi 60-40. Namun kemudian, Bamsoet tak pernah diajak bicara lebih lanjut untuk merealisasikannya.
“Dari [nama-nama] yang diusulkan [Bamsoet], 5% saja enggak [diakomodir],” kata sumber itu.
Sumber kumparan lainnya menyatakan, kekecewaan kini bahkan juga dirasakan loyalis Airlangga, misalnya Melchias Marcus Mekeng yang dulu merupakan Ketua Tim Sukses Airlangga di Munas.
Mekeng disebut kecewa lantaran tak diberi peran di DPR. Ia tidak ditunjuk sebagai Ketua Fraksi Golkar, dan tidak menjadi pimpinan komisi di DPR periode 2019-2024. Padahal pada periode sebelumnya, 2014-2019, Mekeng adalah Ketua Komisi XI DPR bidang keuangan dan perbankan.
Kekecewaan kian menjadi ketika Mekeng juga tak dipilih sebagai Wakil Ketua DPR menggantikan Azis Syamsuddin yang tersangkut kasus penanganan perkara di KPK pada Agustus 2021.
Saat itu, Mekeng yang menjabat Wakil Ketua Umum Golkar masuk bursa Wakil Ketua DPR bersama Sekjen Golkar Lodewijk Freidrich Paulus, Wakil Ketua Komisi III Adies Kadir, dan Ketua Komisi II Ahmad Doli Kurnia. Pada akhirnya, Airlangga menunjuk Lodewijk sebagai Wakil Ketua DPR pengganti Azis.
“Masa Sekjen yang baru ber-Golkar, baru periode pertama masuk DPR, dipilih [jadi Wakil Ketua DPR]. Mekeng sudah empat periode [di DPR],” kata sumber itu.
Namun, menurut Airlangga, penunjukan Lodewijk telah sesuai dengan masukan para tokoh senior partai seperti Ketua Dewan Pembina Aburizal Bakrie, Ketua Dewan Kehormatan Akbar Tandjung, Ketua Dewan Pakar Agung Laksono, dan Ketua Dewan Penasihat Luhut Binsar Pandjaitan.
Salah satu alasannya ialah karena Lodewijk berada di Komisi I yang membidangi pertahanan dan intelijen, persis seperti Azis Syamsuddin. Selain itu, ujar sumber lain, Mekeng tak terpilih bukannya tanpa alasan.
Menurutnya, Mekeng tak lagi diberi peran vital di DPR lantaran namanya terseret perkara dugaan suap PLTU Riau-1. Ia juga sempat dicegah ke luar negeri selama enam bulan sejak September 2019.
Mekeng yang dihubungi kumparan soal ini belum dapat memberikan tanggapan. Ia mengatakan sedang sakit.
Puncak kekecewaan kader Golkar, termasuk loyalis Airlangga, terhadap sang Ketua Umum ialah ketika Fraksi Golkar merotasi sementara 7 anggota Komisi XI, di antaranya Mekeng, ke komisi lain hanya sehari menjelang pemilihan anggota BPK pada pertengahan Maret. Jelas bahwa mereka tidak dipercaya untuk memilih calon yang dikehendaki pimpinan Golkar.
Nyatanya, dalam pemilihan itu, jagoan Golkar tetap tidak lolos. Alhasil, Ketua Komisi XI dari Golkar, Dito Ganinduto, dipindah ke Komisi II sebagai anggota biasa. Posisinya di kepemimpinan Komisi XI digantikan oleh Kahar Muzakir, Ketua Fraksi Golkar. Padahal, Dito adalah orang kepercayaan Airlangga yang menjabat sebagai Bendahara Umum Golkar.
Konsolidasi partai di era Airlangga juga tak berjalan maksimal. Airlangga disebut jarang turun menemui pengurus daerah, baik Dewan Pimpinan Daerah I di tingkat provinsi maupun DPD II tingkat kabupaten/kota. Padahal DPD adalah mesin partai yang harus dipanaskan menuju Pemilu 2024.
Kurangnya konsolidasi membuat beberapa daerah yang menggelar Musyawarah Daerah mengalami masalah. Contohnya, Musda Sumatera Utara yang menetapkan Yasyir Ridho sebagai Ketua Golkar Sumut digugat sehingga harus diulang. Musda ulang itu lantas memilih Wakil Gubernur Sumut Musa Rajekshah sebagai Ketua DPD Golkar Sumut.
Kasus serupa terjadi di Papua Barat. Musda yang menetapkan Alfons Manibuy sebagai Ketua Golkar Papua Barat harus diulang. Hasilnya, Lambert Jitimau terpilih menjadi Ketua DPD Golkar Papua Barat.
“Yang parah di tingkat kabupaten/kota. Di Bekasi pecah dua kubu… Persoalan Musda ini baru pertama kali terjadi di era Airlangga,” kata sumber kumparan.
Dewan Pimpinan Pusat yang pada struktur Golkar memegang otoritas tertinggi dalam konsolidasi, seolah tak bertaji untuk menanganinya.
Ramai-Ramai Incar Kursi Airlangga
Sederet persoalan di tubuh Golkar tak pelak kian memunculkan dorongan Munaslub. Sejumlah kader bahkan ancang-ancang hendak mencalonkan diri menggantikan Airlangga meski Munaslub masih pada tataran gagasan.
Kandidat terkuat adalah Bambang Soesatyo. Sejumlah sumber mengatakan, Ketua MPR itu mendapat “endorse” dari Luhut, Kepala BIN Budi Gunawan, dan Mensesneg Pratikno. Bamsoet juga disokong eks Sekjen Golkar Idrus Marham.
Meski dianggap calon terkuat pengganti Airlangga, Bamsoet hingga kini masih memantau dan belum bergerak ke daerah-daerah. Ia memberi pesan kepada para loyalisnya untuk menunggu perkembangan.
“Namanya orang menunggu, kalau kereta lewat pasti naik. Yang pasti BS [Bamsoet] tidak bergerak. Beliau hanya melihat, mendengar, dan menunggu. [Kalau] gelanggang dibuka, baru masuk, bertarung,” ujar sumber yang dekat dengannya.
Posisi Bamsoet yang pasif tak lain karena ia yakin punya modal dukungan kuat dari DPD-DPD jika terjadi Munaslub. Dukungan tersebut sudah ada sejak Munas 2019, dan terus ia rawat sampai saat ini.
“Tidak ada hambatan komunikasi [antara Bamsoet dan DPD-DPD].”
Kader Golkar lain yang berpotensi maju menggantikan Airlangga ialah Agus Gumiwang, Wakil Ketua Umum Golkar yang juga Menteri Perindustrian. Ia disebut mendapat dukungan sejumlah tokoh senior Golkar seperti Ginandjar Kartasasmita—ayahnya sendiri, juga eks Wapres Jusuf Kalla dan eks Ketua DPR Agung Laksono.
Ada pula nama Menpora Zainudin Amali yang disebut didukung bekas tokoh senior Golkar yang kini menjabat Ketua Umum NasDem, Surya Paloh. Nama lain ialah Ketua Komisi II DPR sekaligus Waketum Golkar, Ahmad Doli Kurnia yang didukung eks Ketum Golkar Akbar Tanjung.
Namun, Zainudin Amali dan Doli Kurnia dinilai belum cukup kuat sebagai kandidat ketua umum bila Munaslub terjadi.
Belakangan, muncul nama lain, yakni Kepala BKPM/Menteri Investasi Bahlil Lahadalia. Padahal, saat ditunjuk sebagai Kepala BKPM tahun 2019, Bahlil menyatakan masuk kabinet dari jalur profesional, bukan karena ia kader Golkar.
“Saya sudah 10 tahun lebih [tidak di Golkar],” kata Bahlil, Oktober 2019.
Namun, menurut beberapa kader Golkar, maksud Bahlil itu ialah ia sudah lama tidak aktif di Golkar, bukannya keluar dari Golkar. Artinya, Bahlil masih kader Golkar dan bisa mencalonkan diri sebagai ketua umum.
Menurut sumber kumparan, keinginan Bahlil maju sebagai kandidat Ketua Umum Golkar disampaikan di hadapan Menteri BUMN Erick Thohir, Ketua DPR Puan Maharani, Menteri Perdagangan M. Luthfi yang juga kader Golkar, dan Bamsoet saat Lebaran kemarin. Mereka disebut mendukung Bahlil sebagai Ketua Umum Golkar.
Tak hanya itu, munculnya nama Bahlil di bursa Ketua Umum Golkar disebut-sebut karena keinginan Presiden Jokowi pula. Bahlil dianggap tidak terikat dengan tokoh tertentu sehingga tak memiliki hambatan komunikasi dengan Jokowi.
Beberapa bulan terakhir, Bahlil memang kerap diajak Jokowi melakukan kunjungan kerja, khususnya terkait sektor ekonomi. Ia, misalnya, mendampingi Jokowi bertemu para CEO perusahaan di Amerika Serikat Mei lalu.
Dalam kunjungan itu, ikut juga Mendag Luthfi, Mensesneg Pratikno, dan Menlu Retno Marsudi. Tak ada Airlangga dan Agus Gumiwang selaku Menko Perekonomian dan Menteri Perindustrian meski kunjungan tersebut terkait bidang yang menjadi pengawasan mereka.
Saat peresmian industri baterai di Batang, Jawa Tengah, Bahlil bahkan semobil dengan Jokowi ketika menjajal mobil listrik. Kunjungan itu juga diikuti Menteri BUMN Erick Thohir, Mensesneg Pratikno, dan Menteri LHK Siti Nurbaya. Lagi-lagi tak ada Airlangga maupun Agus Gumiwang dalam peresmian kawasan yang terkait industri dan ekonomi itu.
Maka, kemunculan nama Bahlil yang konon didukung Jokowi membuat Bamsoet dan Idrus Marham merapat. Atas arahan Istana, Bamsoet dan Idrus dikabarkan sepakat mendukung Bahlil apabila terjadi Munaslub.
Bila Bahlil terpilih, Bamsoet disebut akan menerima posisi sebagai Ketua Harian Golkar, sedangkan Idrus kembali menjadi Sekretaris Jenderal seperti dahulu.
Desas-desus tersebut diamini sumber yang dekat dengan Bamsoet. Menurutnya, “Tujuan besarnya adalah menyelamatkan partai.”
kumparan menghubungi Bahlil melalui jubirnya, Tina Talisa, namun belum mendapat respons. Demikian pula pesan dan telepon kepada Idrus Marham belum berbalas.
Meski Bahlil mendapat “endorse” Jokowi, tokoh-tokoh senior Golkar disebut tak sepakat. Mereka menilai Bahlil masih terlalu hijau lantaran hanya pernah menjabat sebagai bendahara di DPD I Golkar Papua.
Salah satu tokoh yang tak sreg bila Bahlil menjadi Ketum Golkar adalah Luhut. Sampai-sampai muncul desas-desus bahwa Luhut pun ingin maju menjadi Ketum Golkar. Namun sumber dekat Luhut menegaskan bahwa Menko Marves itu tak bersedia maju.
“Saya tidak melihat Pak Luhut punya keinginan maju, beda dengan penugasan.”
Walau beberapa kader sudah ancang-ancang maju sebagai Ketua Umum, Munaslub tidak bisa digelar tanpa alasan kuat. Sesuai AD/ART Golkar, Munaslub berlangsung bila ada usulan dari 2/3 DPD Golkar, atau jika Ketua Umum mengundurkan diri, berhalangan tetap, atau melanggar AD/ART partai.
Merujuk pada aturan tersebut, elektabilitas Airlangga dan Golkar kurang kuat menjadi alasan. Demikian pula konsolidasi yang kurang dengan daerah.
Pintu masuk Munaslub, menurut sejumlah sumber kumparan, ialah jika Airlangga terkena reshuffle atau tersandung kasus hukum. Terlebih, isu reshuffle kabinet belakangan makin santer terdengar.
Mensesneg Pratikno tak membantah maupun membenarkan kabar bahwa reshuffle bakal digelar pertengahan Juni ini. Pun begitu, nama Airlangga terus diisukan berpotensi terkena reshuffle.
Bila hal itu terjadi, internal Golkar diyakini akan semakin bergejolak, terutama pihak-pihak yang menginginkan Munaslub. Sebab, terpentalnya Airlangga dari kabinet bisa diartikan bahwa ia tak lagi sejalan dengan Jokowi.
Selain itu, elektabilitasnya sebagai capres akan semakin turun bila ia tak lagi menjadi menteri.
“Kalau orang didekap [jadi menteri], ya masih dijaga. Kalau dilepas, sudah enggak ada perisainya [menghadapi gejolak Golkar],” kata sumber kumparan.
Terlepas dari ada atau tidaknya Munaslub, suara-suara untuk mengevaluasi kepemimpinan Airlangga terus bermunculan.
Tokoh senior Golkar sekaligus eks Ketua DPD Jawa Tengah, Wisnu Suhardono, menyatakan bahwa pengurus di lingkaran Airlangga harus memberikan masukan yang sesuai fakta, dari soal elektabilitas sampai keputusan partai. Dengan demikian, semua kebijakan DPP bisa benar-benar bermanfaat bagi partai.
Konsolidasi partai pun perlu dibenahi. Menurut Wisnu, “Harus ada komunikasi terbuka antara DPP, Dewan Pembina, Dewan Penasihat, Dewan Pakar, dan DPD-DPD. Masing-masing mengedepankan objektivitas. Jangan like and dislike, jangan yang penting ketum senang.”
Di sisi lain, Nurdin Halid selaku salah satu Wakil Ketua Umum Golkar mengatakan Golkar baik-baik saja dan jauh dari kemungkinan Munaslub.
Yang pasti, siapa pun yang memimpin Golkar di 2024 akan menentukan arah politik partai, termasuk dukungannya untuk salah satu calon presiden. Dan siapa pun kandidat yang mendapat dukungan Golkar—sebagai salah satu partai besar di Indonesia—jelas akan diuntungkan.