Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Hakim MK, Wahiduddin Adams, menyatakan UU 19/2019 seharusnya dibatalkan dan kembali ke UU KPK yang lama, UU 30/2002. Dalam pertimbangan hukumnya, Hakim Wahiduddin menyinggung sikap Presiden Jokowi yang tak meneken UU 19/2019 padahal telah sepakat bersama DPR merevisi UU KPK.
Diketahui UU KPK hasil revisi disahkan dalam rapat paripurna DPR pada 17 September 2019. Revisi UU KPK itu berlangsung kilat. Tercatat DPR dan pemerintah merevisi UU KPK dalam waktu sekitar 14 hari.
UU Nomor 19 Tahun kemudian berlaku sebulan kemudian pada 17 Oktober 2019. Berlakunya UU tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945. Sebab Presiden Jokowi tak menandatangani UU tersebut. Berikut bunyi Pasal 20 ayat (5) UUD 1945:
ADVERTISEMENT
Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
"Tidak adanya jawaban yang pasti dan meyakinkan mengenai alasan Presiden Joko Widodo yang tidak menandatangani UU a quo, sehingga pengesahan UU a quo didasarkan pada ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945," ujar Hakim Wahiduddin di ruang sidang MK pada Selasa (4/5).
Wahiduddin pun heran dengan sikap Jokowi yang tak meneken UU 19/2019. Sebab di sisi lain, Jokowi dalam waktu relatif cepat menetapkan berbagai peraturan pelaksanaan UU 19/2019.
"Hal ini sangat jauh berbeda dengan praktik dan konteks beberapa UU sebelumnya yang pengesahannya juga tidak dalam bentuk tanda tangan Presiden. Di mana pada umumnya Presiden masih memerlukan waktu yang tidak secara segera menetapkan berbagai peraturan pelaksanaan dari suatu UU yang tidak ditandatanganinya," kata Wahiduddin.
Merujuk fakta tersebut, Wahiduddin meyakini bahwa UU KPK hasil revisi tidak sempurna, memiliki kekurangan, serta menimbulkan kecurigaan. Hal itu sesuai pendapat ahli presiden yang diajukan di sidang MK, Maruarar Siahaan.
ADVERTISEMENT
"Dengan tidak adanya jawaban yang pasti dan meyakinkan mengenai alasan Presiden Joko Widodo yang tidak menandatangani UU a quo ini, namun pada sisi lain begitu cepat menetapkan berbagai peraturan pelaksanaan, menyebabkan terjadinya absurditas praktik ketatanegaraan dan semakin terpeliharanya praktik pembentukan UU yang tidak didasarkan pada budaya yang membiasakan adanya justifikasi (culture of justification)" tutupnya.