Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Vonis kasasi itu lebih tinggi daripada putusan banding (Pengadilan Tinggi DKI Jakarta) selama 7 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 5 bulan kurungan.
Dalam putusannya, majelis hakim yang terdiri dari Salman Luthan, Krisna Harahap dan Syamsul Rakan Chaniago meyakini Fredrich dengan sengaja menghalangi penyidikan oleh KPK terhadap Setnov dalam kasus korupsi proyek e-KTP.
"Kesengajaan dengan tujuan (menghalangi penyidikan KPK) atau opzet als oogmerk," kata Krisna saat dihubungi, Jumat (22/3).
Krisna mengatakan, dalam permohonan kasasi, jaksa KPK memang meminta Fredrich dihukum 12 tahun penjara sesuai tuntutan. Akan tetapi majelis berpandangan vonis 7,5 tahun itu telah sesuai dengan rasa keadilan.
"Sudah sesuai rasa keadilan dan pidana kurungan tambahannya kan dari 5 bulan jadi 8 bulan," ucapnya.
ADVERTISEMENT
Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, KPK menuntut Fredrich Yunadi selama 12 tahun penjara. Namun, majelis hakim kemudian hanya menjatuhkan hukuman 7 tahun penjara terhadap Fredrich Yunadi. Baik KPK maupun Fredrich Yunadi kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
Pada tahap banding, hukuman Fredrich Yunadi tidak berubah. Namun, terdapat satu hakim yang berbeda pendapat dengan putusan tersebut. Hakim itu menilai Fredrich Yunadi layak dihukum 10 tahun penjara.
Perkara Fredrich sendiri berawal saat KPK menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka kasus e-KTP pada 31 Oktober 2017. Setya Novanto yang kala itu Ketua DPR dijadwalkan untuk hadir dalam pemeriksaan pada 15 November 2017. Namun, Setya Novanto memilih mangkir, padahal surat pemanggilan sudah dilayangkan sejak 10 November 2017.
Fredrich yang menjadi pengacara Setya Novanto disebut menyarankan kliennya untuk tidak perlu memenuhi panggilan KPK. Sebab, Fredrich beralasan, proses pemanggilan terhadap anggota DPR harus seizin presiden. Bahkan tak hanya itu, Fredrich juga menyarankan agar UU KPK terkait perizinan panggilan anggota DPR, untuk diuji materi ke Mahkamah Konstitusi.
ADVERTISEMENT
Kemudian, pada 14 November 2017, Fredrich menyurati Direktur Penyidikan KPK. Isi surat tersebut menerangkan kliennya yang tidak bisa memenuhi panggilan karena lebih memilih menunggu putusan judicial review MK yang baru saja diajukan di hari tersebut.
Pada hari pemeriksaan, Setya Novanto mangkir. Sekitar pukul 22.00 WIB di hari yang sama, penyidik menjemput mantan Ketua Umum Golkar itu di kediamannya, Jalan Wijaya XIII Nomor 19, Kelurahan Melawai, Kecamatan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Di rumah itu, penyidik tak menemukan Setya Novanto. Mereka hanya bertemu Fredrich dan istri Setya Novanto, Deisti Astriani Tagor. Di sana, Fredrich langsung menanyakan penyidik soal surat tugas, surat perintah penggeledahan, dan surat penangkapan Setya Novanto. Sebaliknya, saat penyidik menanyakan surat kuasa Setya Novanto untuknya, Fredrich tak bisa menunjukkannya. Fredrich lalu meminta Deisti untuk menandatangani surat itu atas nama keluarga Setya Novanto.
Pada 16 November 2017, Setya Novanto --yang diakuinya ingin menyambangi Gedung KPK untuk memenuhi panggilan-- mengalami kecelakaan di kawasan Permata Hijau. Mobil Toyota Fortuner yang ditumpanginya, menabrak tiang penerang jalan. Setya Novanto lantas dilarikan ke RS Medika Permata Hijau.
ADVERTISEMENT
Namun kemudian Fredrich dinilai merancang skenario agar Setya Novanto masuk RS Medika untuk menghindarkan pemeriksaan. Dia kongkalikong bersama salah satu dokter yang merawat Setya Novanto, Bimanesh Sutarjo, untuk memanipulasi kondisi kesehatan kliennya dari riwayat hipertensi, menjadi rekam medis kecelakaan.
Saat di rumah sakit, Fredrich Yunadi dianggap menghalangi penyidikan untuk Setya Novanto. Ketika penyidik ingin mendatangi kamar pasien, Fredrich menyuruh perawat untuk mengusir mereka.