Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Kunjungan tersebut dipimpin oleh kepala biro politik Hamas, Ismail Haniyeh. Dalam sebuah pernyataan, Hamas menyebut lawatan itu bertujuan untuk membahas soal serangan Israel terhadap tempat-tempat suci di Yerusalem sekaligus meminta bantuan Rusia dalam menghadapi agresi itu.
“Haniyeh dan delegasinya bertemu dengan para pejabat agama Muslim dan Kristen di Moskow dan membahas serangan Israel terhadap situs-situs suci di Yerusalem, terutama adalah Masjid Al-Aqsa, Gereja Makam Suci, dan rencana Israel untuk ‘Yahudisasi’ Yerusalem Timur yang diduduki,” kata pihak Hamas, seperti dikutip dari The New Arab.
Menurut delegasi Hamas, umat Muslim di Rusia dapat memainkan peran penting dalam mempertahankan situs suci di Yerusalem Timur yang saat ini diduduki Israel.
Maka dari itu, Haniyeh juga melakukan pertemuan tatap muka dengan wakil kepala pertama Dewan Syura Mufti Rusia Administrasi Keagamaan Muslim Federasi Rusia, Syekh Roshan Abbasov, di Masjid Agung Moskow.
ADVERTISEMENT
Hamas Sampaikan Pesan ke Putin
Selain itu, Haniyeh juga mengunjungi Biara Danilov dan bertemu dengan imam besar sekaligus sekretaris Departemen Hubungan Gereja Eksternal Patriarkat Moskow untuk Urusan Luar Negeri, Sergey Zvonarev.
Kemudian pada Sabtu (10/9), Hanieyh juga sempat bertemu dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov dan menyampaikan pesannya kepada Presiden Vladimir Putin.
Kunjungan pemimpin Hamas ke Moskow ini menuai amarah dari pihak Israel. Para ahli memperkirakan, lawatan kali ini akan berdampak pada hubungan yang sedang memanas antara Israel dan Rusia — yang sebelumnya sudah mengalami tekanan sejak Moskow mengirimkan pasukannya ke Ukraina pada Februari lalu.
Militer Israel sering meluncurkan serangan yang berpusat di sekitar Masjid Al-Aqsa di Yerusalem dan Distrik Syekh Jarrah. Pada 2021, serangan itu bergejolak menjadi selama 11 hari di Jalur Gaza, sebab Hamas membalas serangan itu dengan tembakan roket.
Israel merebut wilayah Yerusalem Timur pada 1967 dan mencaploknya. Israel mengeklaim seluruh kota itu sebagai ‘ibu kota abadinya’, namun hal ini bertentangan dengan hukum internasional dan ditolak keras oleh Palestina serta sebagian besar masyarakat dunia.
ADVERTISEMENT