Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia dapat mencarikan sebuah pulau terisolir untuk sementara menampung imigran Rohingya yang telah telanjur tiba di sejumlah wilayah Aceh.
ADVERTISEMENT
Praktik ini sebenarnya pernah dilakukan di bawah pemerintahan Presiden kedua Soeharto kepada imigran asal Vietnam sekitar tahun 1970-an.
Pencarian sebuah pulau terisolir adalah salah satu dari empat solusi yang dijabarkan oleh Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana, mengenai isu Rohingya.
Dalam podcast kumparan Diplomatic Talk (DipTalk) yang tayang di Youtube pada Selasa (12/12), Hikmahanto secara tegas menyuarakan penolakannya terhadap kedatangan imigran Rohingnya ke Indonesia.
"Salah satu usulan saya mereka yang sudah ada di Indonesia ya, mereka harus ditaruh di pulau yang terisolir. Sehingga apa? Sulit bagi mereka untuk lari keluar [melarikan diri]," kata Hikmahanto.
Menurut Hikmahanto, akar masalah munculnya ketidaknyamanan di kalangan warga Aceh dan berpotensi memicu kriminalitas baru adalah jika para imigran Rohingya dibiarkan melarikan diri, berbaur dengan masyarakat lokal, dan tidak terpantau oleh UNHCR.
ADVERTISEMENT
United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) adalah badan khusus PBB yang mengurusi status pengungsi di seluruh dunia — termasuk Rohingya. Sejak pengungsi Vietnam datang ke Indonesia tahun 1970-an, UNHCR telah menempatkan kantornya di Jakarta dan kantor itu masih beroperasi sampai sekarang.
Menurut Hikmahanto, pemerintah memiliki empat solusi yang dapat dipertimbangkan dalam menangani isu Rohingya — isu yang hampir setiap tahunnya menjadi problem, dan setiap tahun angkanya terus bertambah.
"Saya berharap bahwa masalah keamanan laut, masalah penegakan di laut itu harus tegas. Jadi jangan sampai ada kapal-kapal dari etnis Rohingya yang masuk ke Indonesia. Itu harus — terserah mau dihalau mau diapakan, pokoknya enggak boleh masuk ke Indonesia," ujar Hikmahanto.
ADVERTISEMENT
Adapun solusi kedua, kata Hikmahanto, adalah mencarikan pulau sementara bagi para imigran Rohingya mengungsi. "Tapi pulau yang terisolasi, ya jangan Pulau Galang lagi, tapi pulau yang benar-benar terisolasi nanti infrastruktur dan yang sebagainya silakan UNHCR yang membangun. Tapi jangan pernah ada uang rupiah yang keluar dari negara," jelasnya.
Pemerintahan Soeharto tahun 1970-an sebelumnya memfasilitasi Pulau Galang di Batam untuk para pengungsi Vietnam yang kala itu sedang melarikan diri dari perang. Mereka berlayar, dikenal sebagai 'boat people' saat terdampar di negara-negara tetangga.
Saat ini, Pulau Galang sudah tidak terisolir seperti saat 1970-an — kapal-kapal bebas berlayar di sekitarnya, sehingga diperlukan pulau lain yang lebih 'tidak terjangkau'.
"Kita buat satu pulau jadikan kamp, sudah tinggalnya cuma di situ aja. Mau gimana lagi? Kita itu pun kita masih berbaik hati, kita masih memfasilitasi," ujar Hikmahanto.
ADVERTISEMENT
"Jadi sekarang kita harus cari tempat yang sama terisolirnya seperti Pulau Galang tahun 1970-an – tapi jangan menggunakan Pulau Galang," tambahnya.
Solusi lain yang menurut Hikmahanto tepat dilakukan pemerintah adalah dengan mendorong masyarakat internasional untuk ikut mencari solusi atas isu Rohingya. Sebab, isu ini sebenarnya bukan permasalahan Indonesia seorang, selaku bukan negara peratifikasi Konvensi Pengungsi PBB tahun 1951.
"Kita harus mendorong masyarakat internasional membahas masalah ini karena ini bukan urusan Indonesia semata, ini harus menjadi concern dari masyarakat internasional bahkan di lingkungan ASEAN," ucap Hikmahanto.
"Dan yang terakhir saya minta UNHCR harus ditutup kantornya di Indonesia. Ini saya minta berulang-ulang. Kalau misalnya kita tidak tutup itu UNHCR maka masalah seperti ini akan terus berlanjut sampai kapanpun," tutup dia.
ADVERTISEMENT