Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menilai langkah Front Pembela Islam (FPI ) yang akan mengajukan gugatan ke PTUN merupakan hal yang tepat.
ADVERTISEMENT
Gugatan itu terkait terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri, Kejaksaan Agung, dan BNPT, yang melarang kegiatan, penggunaan atribut dan menghentikan kegiatan organisasi pimpinan Habib Rizieq Syihab itu.
“Langkah hukum yang akan ditempuh oleh FPI itu sejalan dengan konstitusi dan komitmen bangsa ini, bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtstaat), bukan negara kekuasaan (machtstaat), dan oleh karenanya setiap tindakan penyelenggara negara juga harus berbasis kebenaran dan keadilan hukum. Bukan yang lain," kata Hidayat dalam keterangannya, Kamis (31/12).
Ia pun berharap Pemerintah dapat membuktikan dasar pembubaran dan pelarangan aktivitas FPI dalam persidangan di PTUN. Sebab, ia menyinggung bahwa FPI sudah mengantongi rekomendasi dari Fachrul Razi selaku Menteri Agama.
"Pemerintah juga harus imbangi langkah hukum FPI dengan komitmen penegakan hukum dan konstitusi. Kalau dulu FPI tidak dikeluarkan SKT karena belum mendapatkan rekomendasi dari Kementerian Agama, ternyata Menteri Agama Fachrul Razi yang lalu dilaporkan pada 29 November 2019 telah memberikan rekomendasi perpanjangan SKT untuk FPI, karena berkomitmen kepada Pancasila dan NKRI," sambung politikus senior PKS itu.
ADVERTISEMENT
HNW -sapaan Hidayat Nur Wahid- menilai opsi menggugat lewat PTUN masih bisa ditempuh FPI. Meski dalam putusan nomor 2/PUU-XVI/2018 MK menyebutkan proses pengadilan sebelum penjatuhan sanksi ormas dihapuskan, tetapi menurut dia hal itu bukan berarti pihak yang keberatan dengan surat keputusan (SK) penjatuhan sanksi tidak bisa membawa kasus itu ke pengadilan.
“Opsi menggugat ke PTUN masih tersedia. Jadi langkah FPI sudah tepat. Kita semua harus sama-sama mengedepankan proses hukum,” ujarnya.
Dua pun berharap nanti hakim PTUN dan pemerintah juga bisa melihat kasus ini secara jernih dan dapat memastikan bahwa kebebasan berserikat dan berkumpul adalah bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang dijamin oleh konstitusi serta harus dihormati oleh penyelenggara negara.
ADVERTISEMENT
Lebih lanjut, Wakil Ketua Majelis Syuro PKS ini sebenarnya menyayangkan keputusan pelarangan kegiatan FPI yang dilakukan pemerintah. Ia menyoroti UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 yang mengubah UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) yang menjadi dasar pemerintah mengambil keputusan itu. Sebab, ia menilai aturan itu sangat jauh dari prinsip negara hukum, demokrasi dan HAM.
Ia menyebut dalam UU Ormas tersebut, sanksi yang dijatuhkan terhadap ormas bisa dilakukan tanpa melewati proses peradilan. Menurut dia, hal itu merupakan salah satu ciri negara kekuasaan, dan bukan ciri dasar negara hukum.
“Padahal di UU Ormas sebelumnya (UU No.17/2013), pemberian sanksi harus melewati mekanisme proses peradilan. Pasal 65 UU No.17/2013 menyebutkan bahwa penghentian sementara kegiatan suatu ormas wajib meminta pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung. Sayangnya, di UU Ormas perubahan (UU N0.16/2017) yang berasal dari Perppu yang diteken oleh Presiden Jokowi, ketentuan itu dihapuskan,” ujarnya.
Ia pun berpendapat bahwa sumber utama dari persoalan mengenai ormas di Indonesia yang terjadi akhir-akhir ini adalah Perppu tersebut. Sebab, tidak lagi keterlibatan pengadilan dalam pemberian sanksi kepada ormas.
ADVERTISEMENT
"Perppu Ormas itu sebenarnya dahulu sudah banyak penolakan, seperti dari Gerindra, PAN, PKS dan sejumlah organisasi atau aktivis hak asasi manusia. Jadi, sudah sepatutnya, momentum kasus FPI ini bisa mendorong DPR dan masyarakat peduli HAM dan Demokrasi dan bahkan Pemerintah bila berkomitmen kuatkan negara hukum dan demokrasi, agar UU Ormas bisa segera direvisi untuk lebih menonjolkan ciri negara hukum, demokratis dan peduli HAM,” ujarnya.