Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Alasan MA memotong hukuman pun dinilai sejumlah kalangan tidak masuk akal, yakni Edhy Prabowo telah bekerja dengan baik selama menjabat sebagai menteri. Alhasil, hukuman politikus Gerindra itu yang awalnya 9 tahun penjara menjadi tinggal 5 tahun penjara berkat diskon tersebut.
Hukuman itu sudah berkekuatan hukum tetap. KPK sedang mempersiapkan Edhy Prabowo untuk eksekusi ke lapas.
“Sejauh ini kami sekali lagi belum terima salinan secara utuh, tapi untuk petikan putusan, informasi dari Tim Jaksa sudah menerima dan masih dalam proses persiapan untuk eksekusi,” kata Plt juru bicara KPK Ali Fikri di Gedung Merah Putih, Rabu (30/3).
KPK masih menunggu salinan lengkap putusan kasasi Edhy Prabowo. Menurut Ali, pihaknya akan mempelajari lebih lanjut mengenai putusan tersebut, termasuk mencari kemungkinan upaya hukum lebih lanjut seperti Peninjauan Kembali (PK).
ADVERTISEMENT
“Terkait dengan apakah ada peluang PK? tentu setelahnya setelah pelaksanaan putusan ada peluang-peluang untuk dianalisa dan dipelajari lebih jauh putusan lengkapnya, begitu, ya,” tambahnya.
Soal PK itu terkait dengan adanya perubahan dalam UU Kejaksaan. Salah satu poin baru dalam UU Kejaksaan yakni jaksa kini berwenang mengajukan permohonan peninjauan kembali atau PK terhadap suatu perkara.
“Termasuk dengan kajian apakah dengan UU Kejaksaan yang baru peluang untuk pengajuan PK oleh KPK itu bisa dimungkinkankah atau tidak, ini perlu dikaji,” katanya.
Menakar Peluang PK KPK
Aturan baru soal PK tersebut tercantum dalam pasal 30 C huruf h UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan, yakni:
Selain melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 30A, dan Pasal 30B Kejaksaan:
ADVERTISEMENT
h. mengajukan peninjauan kembali
Namun, pakar hukum pidana Universitas Parahyangan Agustinus Pohan menilai KPK tidak punya celah untuk melakukan PK terhadap putusan MA. Sebab menurut dia, KPK tidak mempunyai dasar untuk mengajukan PK sebagaimana tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pasal 263.
“Sepertinya tidak ada. Alasannya tidak dipenuhi, sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 263,” kata Pohan kepada kumparan, Kamis (31/3).
Berikut bunyi Pasal 263 KUHAP:
Ayat (1): Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung
Ayat (2): Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar
a. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat. Bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
ADVERTISEMENT
b. Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain.
c. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
“PK tidak dapat diajukan atas dasar hukuman yang dianggap ringan,” kata Pohan.
Prof Hibnu Nugroho selaku Pakar hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman pun menilai upaya hukum PK sulit dilakukan. Terlebih, menurut dia, KPK tidak punya alasan mengajukannya. Sebab, potongan dari MA membuat hukuman Edhy Prabowo sesuai dengan tuntutan KPK: 5 tahun penjara.
"Tuntutannya kan, hanya lima tahun, kan gitu kan. Tuntutannya 5 tahun, kemudian banding [naik menjadi] 9 tahun [penjara], ya kan, naik kan, sudah melebihi dari apa yang dituntut. putusannya lebih tinggi, nah sekarang mau PK?" papar Hibnu.
ADVERTISEMENT
Harus Jadi Intropeksi KPK
Kendati ada peluang PK, Hibnu malah akan mempertanyakan bila KPK benar mengajukan peninjauan kembali. Sebab, kata dia, KPK memang sejak awal hanya menuntut hukuman 5 tahun untuk Edhy Prabowo.
Hibnu mempertanyakan mengapa tidak sejak awal KPK menuntut hukuman Edhy lebih tinggi. Padahal, awalnya ancaman hukuman dalam pasal yang diterapkan memungkinkan KPK.
“Ancamannya 15 tahun, jadi kenapa tidak menuntut 10 tahun ketika itu, atau 14 tahun. Jadi, alternatif-alternatif pasal yang disangkakan itu untuk mencoba mengoptimalkan tuntutannya,” kata Hibnu.
Menurut Hibnu, perkara hukuman Edhy Prabowo ini mesti menjadi pembelajaran dan intropeksi KPK. Jangan menuntut terlalu rendah.
“Makanya buat pembelajaran sebagai lembaga penuntut, ya, apakah itu KPK, ataukah Jaksa, harus menuntut lebih tinggi. jangan terlalu rendah,” imbaunya.
ADVERTISEMENT
“Itu kesalahannya sejak awal, KPK menuntut terlalu rendah hanya 5 tahun,” imbuhnya.
Kasus Edhy Prabowo
Dalam kasusnya, Edhy Prabowo bersama sejumlah anak buahnya diyakini menerima suap sejumlah USD 77 ribu dan Rp 24.625.587.250 atau totalnya sekitar Rp 25,75 miliar. Duit itu berasal dari para pengusaha pengekspor benih benih lobster (BBL) terkait percepatan pemberian izin budidaya dan ekspor.
Salah satu pemberinya adalah Suharjito selaku Direktur PT Dua Putera Perkasa Pratama (PT DPPP). Ia menyuap Edhy Prabowo sebesar Rp 2,146 miliar.
Suharjito sudah dinyatakan bersalah oleh hakim. Ia sudah dijatuhi vonis 2 tahun penjara ditambah denda Rp 250 juta subsider 3 bulan. Ia juga sudah dieksekusi ke Lapas Cibinong.
Berdasarkan dakwaan dan fakta persidangan, uang suap yang diterima oleh Edhy Prabowo diduga mengalir kepada sejumlah pihak. Yakni 3 asisten pribadinya, pesilat Uzbekistan, hingga pedangdut.
ADVERTISEMENT
Selain itu, uang tersebut juga dibelikan sejumlah aset mulai dari vila, puluhan sepeda, belanja istri di Hawaii, hingga barang-barang mewah lainnya.