Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Presiden Joko Widodo mengumumkan lima nama besar yang mengisi Dewan Pengawas KPK pada Jumat (20/12). Namun bayang-bayang nama besar itu diyakini tak bakal membuat KPK kembali beringas. Indonesia Corruption Watch (ICW) menganggap lembaga itu menjadi salah satu biang pelemahan KPK dalam UU Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua UU KPK.
“Ketika Dewas dilantik, pemberantasan korupsi akan kembali ke jalur lambat,” ucap Anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW Kurnia Ramadhana ketika ditemui di Swiss Belhotel Kalibata, Jakarta Selatan, Kamis (19/12).
Pakar hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, juga menyatakan hal serupa. Baginya pemilihan anggota Dewan Pengawas KPK yang memiliki rekam jejak baik itu ibarat tudung saji yang bagus. "Jokowi hendak menutupi nasi dan sambal basi kealpaan UU KPK dengan tudung saji itu," jawabnya saat dihubungi kumparan, sehari setelah pelantikan pimpinan dan Dewan Pengawas KPK periode 2019-2023.
Lima nama Dewas tersebut diantaranya adalah Artidjo Alkostar, Albertina Ho, Harjono, Tumpak Hatorangan Panggabean, dan Syamsuddin Haris.
Masing-masing nama itu memiliki rekam jejak hebat. Artidjo misalnya dikenal selalu mengganjar hukuman lebih berat kepada setiap pelaku pidana korupsi yang berusaha mengajukan kasasi ataupun peninjauan kembali semasa ia masih menjabat sebagai hakim agung.
Albertina Ho adalah seorang hakim yang dikenal tegas ketika mengadili kasus penggelapan pajak yang menyeret Gayus Tambunan dan mafia hukum yang melibatkan jaksa Cirus Sinaga.
Kasus Gayus pernah menjadi perhatian publik karena pegawai golongan IIIA Direktorat Jenderal Perpajakan ini memiliki kekayaan lebih dari Rp 100 Miliar. Ia juga bisa pelesiran ke Bali saat pengusutan perkara pajak PT. Surya Alam Tunggal yang merugikan negara Rp 570 juta di PN Jakarta Selatan. Tangan dingin Albertina lantas menjebloskan Gayus ke penjara.
Selain itu Tumpak Hatorangan Panggabean memimpin KPK di masa awal pembentukan. Ada juga Syamsudin Haris, peneliti politik di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang aktif mendukung KPK, serta eks hakim Mahkamah Konstitusi Harjono.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai nama-nama yang telah dipilih Jokowi tak menjamin bakal berkontribusi secara positif kepada KPK, lantaran keberadaan dewan pengawas tersebut sudah bermasalah.
"Bukan persoalan siapa orang baik yang akan mengisi pos (dewan pengawas) itu, tapi pos itu bermasalah," kata Kurnia kepada kumparan, Kamis (19/12).
Kurnia menilai nama besar yang mengisi Dewas itu hanya ingin mengesankan pemerintah mendukung penguatan pemberantasan korupsi. Padahal salah satu masalah pokok pelemahan KPK, kata dia, adalah besarnya pengaruh Dewan Pengawas dalam pengambilan keputusan hal teknis seperti pemberian surat izin penyidikan, serta izin penyadapan dianggap menyebabkan proses pengambilan keputusan akan semakin lama.
Sementara Feri dengan tegas berkata bahwa pemilihan sosok Dewan Pengawas itu tidak menghapus problematika yang dilahirkan oleh revisi UU KPK.
Berikut petikan perbincangan kumparan dengan Kurnia Ramadhana, anggota Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, dan Feri Amsari, Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas.
Nama-nama anggota Dewan Pengawas yang dipilih Jokowi dikenal karena integritasnya. Apakah mereka memiliki kapasitas yang cukup mengisi jabatan itu?
Kurnia: Siapapun yang ditunjuk oleh Presiden Jokowi untuk menjadi Dewas dan dilantik tidak mengurangi sedikitpun penilaian kita kepada negara, dalam hal ini pemerintah dan juga DPR, bahwa dua lembaga ini memang tidak paham terkait dengan konsep penguatan lembaga pemberantasan korupsi.
Kita tahu kalau berbicara soal Pak Artidjo memang punya rekam jejak baik. Bu Albertina juga seperti itu. Mungkin ada figur-figur baik lainnya yang mungkin disodorkan oleh presiden Jokowi untuk menjadi Dewas. Tapi masalahnya bukan itu.
Masalahnya orang-orang baik yang mungkin seperti Pak Artidjo itu masuk ke lembaga yang tidak jelas, Dewas tadi. Jadi bukan persoalan siapa orang baik yang akan mengisi pos itu, tapi pos itu bermasalah. Jadi siapapun yang mengisi tidak mengubah keadaan, tidak akan mengubah keadaan KPK lebih baik. Karena konsep besarnya sudah keliru.
Misalnya, dengan adanya Dewas, proses penegakan hukum sangat birokratis di KPK. Kalau orang-orang baik isi di situ apakah proses ini enggak menjadi lebih cepat? Kan enggak. Tetap perizinan ke mana-mana. Jadi enggak mengubah keadaan sebenarnya.
Negara sedang berupaya untuk mencoba menghadap-hadapkan masyarakat dengan orang-orang yang selama ini punya integritas. Dan kita pada dasarnya tidak mengkritisi orang itu. Yang kita kritisi niat dari presiden itu sendiri.
Selama ini mereka kan punya track record di isu pemberantasan korupsi dan mereka diberikan otoritas masuk ke Dewan Pengawas. Dan kita menolak konsep Dewan Pengawas.
Feri: Dia harus ditinjau satu hal ya. Bahwa Jokowi bermasalah dalam pembentukan undang-undang KPK itu nggak bisa diubah dengan hanya menunjuk orang-orang yang punya track record atau latar belakang yang sangat baik. Ini satu hal.
Tentu saja pilihan terhadap figur-figur ini patut dihormati ya karena figur-figur ini semacam jawaban Jokowi dalam soal KPK. Kalau nama-nama baik dengan latar belakang itu, oke lah ya, tapi bukan berarti kemudian bisa menghapuskan problematika yang dibawa oleh Revisi Undang-undang KPK.
Dewas itu ibarat tudung saji yang bagus. Jokowi hendak menutupi nasi dan sambal basi kealpaan UU KPK dengan tudung saji itu. Dewas memang sengaja di isi figur-figur baik tapi tetap problematikanya kan bukan soal figur baik tapi sistem buruk yang dibawa UU KPK baru.
Terlalu banyak tahapan yang tidak perlu untuk melawan pelaku korupsi. Jadi Dewas itu sistem yang buruk tapi hendak ditutupi dengan diisi orang-orang baik. Ibarat meja makan, tudung makannya bagus dan indah tetapi makanan di dalamnya basi. Meski Dewas di isi orang-orang baik, tapi sistemnya tetap buruk
Menurut Anda apa yang akan dihadapi KPK dengan kehadiran Dewan Pengawas ini?
Kurnia: Implikasi seriusnya adalah ketika Dewas dilantik, pemberantasan korupsi akan kembali ke jalur lambat. Selama ini kita kenal KPK adalah institusi yang dimandatkan untuk memberantas korupsi, diberikan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan pro justitia (penegakan hukum) yang saya rasa selama ini sudah sangat baik dan prosesnya cepat.
Tapi dengan hadirnya Dewan Pengawas, yang dimandatkan harus dengan metode perizinan, ke depan upaya penindakan KPK akan sangat birokratis. Jadi, implikasi seriusnya penindakan KPK tidak lagi seperti semula.
Dan lain hal lagi sebenarnya konsep dari Dewas ini sudah keliru. Kalau kita melihat konteks hari ini, publik dihadapkan dengan beberapa nama yang tersiar di beberapa media. Kalau kita pandang bukan persoalan siapa yang dipilih presiden Jokowi atau metode apa yang digunakan oleh Presiden Jokowi, dengan atau tanpa pansel, dengan atau tanpa DPR. Tapi problem hari ini adalah konsep Dewas itu sudah tidak benar.
Bagaimana mungkin secara teoritik KPK lembaga negara independen ada kelembagaan khusus yang mengawasinya. Padahal UU Nomor 30 Tahun 2002 atau UU KPK yang lama sudah mengakomodir segala persoalan terkait dengan pengawasan.
Keuangan diawasi oleh BPK, kinerja diawasi oleh DPR bahkan DPR diberikan kewenangan lebih ketika putusan hak angket terdahulu. Presiden juga bisa mengevaluasi KPK saya rasa, dan KPK bertanggung jawab juga kepada publik.
Jadi pengawasan macam apalagi yang diinginkan oleh DPR dan juga presiden? Dengan hadirnya Dewas justru melenceng dari konsep penguatan kelembagaan antikorupsi itu sendiri.
Feri: Masalahnya ada di struktur Dewas karena menambah sistem baru jadi dua kelompok pimpinan ya, satu komisioner, satu lagi Dewas. Karena Dewas sangat bisa mencampuri urusan-urusan pro justitia ya, itu urusan-urusan penegakan hukum yang ada di undang-undang KPK yang baru.
Kalau melihat Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 ya lebih kuat Dewas karena semua melalui izin dewas. Bahkan Pimpinan KPK bisa dilaporkan ke Dewas. Dewas bisa mempermasalahkan Pimpinan KPK terkait etik dan segala macam hal.
Kemudian misalnya soal izin penggeledahan, mereka harus izin Dewas dulu dan sebelumnya harus dilakukan gelar perkara. Kasus-kasus korupsi seperti ini kan butuh kerahasiaan dan gerak cepat. Kalau digelar perkara tentu nanti akan lebih dulu orang tahu kan. Makanya ada mekanisme yang kita bertanya-tanya jangan-jangan ini mekanisme yang memudahkan para pelaku koruptor korupsi kemudian mengetahui perkaranya sedang ditangani KPK via Dewas.
Seperti apa pro kontra keberadaan Dewas KPK dan Pimpinan dalam UU KPK baru?
Kurnia: Setidaknya sebelum Dewas dilantik, ada perdebatan serius. Saya rasa di internal KPK juga seperti itu, bagaimana memahami Pasal 69 dan Pasal 70 UU KPK. Pasal 69 mengatakan sebelum Dewas dilantik menggunakan undang-undang KPK yang lama, tapi di pasal 70 justru mengatakan segala tindakan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang belum selesai menggunakan undang-undang ini. Berarti ada perdebatan di situ, satu sisi menggunakan undang-undang yang lama, tapi satu sisi memaksakan UU KPK baru.
Dan terlihat sebenarnya kita yakini ketika undang-undang baru KPK sudah berlaku dan Dewas sudah dilantik, akan banyak tersangka yang mengajukan upaya praperadilan karena ada banyak sekali pertentangan hukum dalam undang-undang nomor 19 tahun 2019 dan itu juga dijadikan celah pembenaran bagi terdakwa kasus korupsi yang sudah masuk ke persidangan untuk membela di forum eksepsi di persidangan. Ini yang akan menyulitkan KPK ke depan dan kita yakini memang niat untuk mempersulit KPK memang lahir langsung dari presiden dan juga DPR.
Pasal 69 D:
Sebelum Dewan Pengawas terbentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum undang-undang ini diubah.
Pasal 70 C
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan Tindak Pidana Korupsi yang proses hukumnya belum selesai harus dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
Feri: Di bawah UU No. 19 Tahun 2019, Pimpinan KPK tidak lagi struktur tertinggi dalam lembaga, tetapi Dewas. Pasal 21 ayat (1) UU KPK meletakkan Pimpinan KPK di bawah Dewas. Sehingga di era Pak Firli, posisi pimpinan KPK tidak terlalu signifikan karena bukan lagi berstatus sebagai penanggung jawab kelembagaan, bahkan bukan penyidik dan penuntut umum.
Dewas akan mendominasi di setiap lini karena menentukan putusan akhir setiap tindakan pimpinan dan pegawai KPK. Bahkan bisa menentukan pelanggaran etik. Tetapi Dewas bisa pula menjadi masalah serius jika ditempati orang-orang bermasalah. Terutama karena sistem yang dibangun UU KPK baru sangat buruk dengan menempatkan orang-orang pilihan Presiden.
Persoalan lain, kewenangan SP3 itu adalah kewenangan yang tidak serta merta. Tidak berarti perkara-perkara yang sudah ditangani selama dua tahun tapi belum ada perkembangan dapat di sp3 kan sebab ketentuan UU menyatakan bahwa KPK "dapat" menerbitkan SP3.
Kata dapat itu bermakna bisa iya bisa tidak, bergantung subjektivitas KPK. Karena Pimpinan KPK bukan penyidik dan penuntut umum, maka yang menentukan keluar atau tidaknya SP3 harus penyidik dan penuntut umum dan harus dilaporkan kepada Dewas
Sinergitas menjadi keharusan sebab tanpa Dewas, pimpinan KPK hanyalah penyelenggara administratif. Sementara Dewas akan sangat menentukan seluruh hal di KPK, mulai dari tindakan pro justisia hingga mengawasi etik pimpinan dan pegawai. Itu sebabnya Pimpinan KPK tidak dapat bertindak sendiri-sendiri tanpa bersinergi dengan Dewas.
Apa dampak kewenangan pro justicia yang dimiliki Dewas terhadap kerja KPK?
Kurnia: Proses-proses hukum yang menuntut kecepatan, misalnya konteks operasi tangkap tangan atau tindakan-tindakan penyitaan, penggeledahan, dan lain-lain akan memperlambat, akan tidak lagi cepat seperti biasanya, dan justru akan berpotensi buruk bagi KPK karena penegakan hukum tidak lagi seperti sedia kala. Dan ini akan mempengaruhi ekspektasi publik kepada KPK.
Kalau kinerja KPK semakin menurun karena Undang-undang KPK baru, itu juga akan berimplikasi kepada ekspektasi publik yang juga akan menurun pada lembaga antikorupsi. Dan terakhir memang, kita memandang memang negara ingin menjauhkan harapan pemberantasan korupsi yang maksimal di Indonesia.
Selain itu kita masih mengingat kasus Abraham Samad dulu ketika ada kebocoran sprindik (surat perintah penyidikan) tersangka Anas Urbaningrum. Saat itu hanya lima pimpinan. Bayangkan saat ini ketika lima pimpinan KPK dilantik yang juga kita tidak percaya kepada lima pimpinan baru ini akan membawa KPK ke arah yang lebih baik. Ditambah lagi dengan kehadiran sebuah lembaga yang tidak jelas. Ini lembaga model apa? Praktis ada 10 jenjang perizinan di KPK, lima pimpinan KPK dan juga lima Dewas KPK.
Kemungkinan dikeluarkannya Perppu KPK sudah tertutup?
Feri: Saya tentu terus berharap agar Presiden terbuka hatinya untuk membuka peluang ini. Tapi dilihat dari cara Presiden menjalankan undang-undang yang ada, Presiden memang sedari awal tidak berniat untuk mengeluarkan Perppu. Itu hanya retorika politik Presiden.