Inggris Sudah 4 Kali Berganti PM dalam Waktu 6 Tahun, Apa Penyebabnya?

22 Oktober 2022 17:18 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Perdana Menteri Inggris Liz Truss duduk bersama anggota kabinet barunya, di dalam 10 Downing Street di pusat kota London, Inggris, Rabu (7/9/2022). Foto: FRANK AUGSTEIN/Pool/AFP
zoom-in-whitePerbesar
Perdana Menteri Inggris Liz Truss duduk bersama anggota kabinet barunya, di dalam 10 Downing Street di pusat kota London, Inggris, Rabu (7/9/2022). Foto: FRANK AUGSTEIN/Pool/AFP
ADVERTISEMENT
Inggris identik sebagai negara dengan perekonomian yang maju dan pemerintahan yang stabil. Namun, di sisi lain, London telah melakukan pergantian perdana menteri (PM) selama empat kali dalam kurun waktu enam tahun.
ADVERTISEMENT
Pengunduran diri PM Inggris dengan masa jabatan tersingkat, Liz Truss, pada Kamis pekan ini menunjukkan betapa parahnya krisis politik yang melanda negara itu dalam beberapa tahun terakhir.
Truss merupakan PM Inggris keempat yang mengundurkan diri sejak pemungutan suara Brexit untuk keluar dari Uni Eropa digelar pada 2016.
Menurut para pengamat, fenomena ini adalah pergantian tercepat dalam satu abad yang terjadi di Downing Street No. 10 (kediaman resmi PM Inggris di London).
Banyak analis Eropa yang mencoba menjawab pertanyaan: apa yang sebenarnya terjadi di Inggris? Melansir dari berbagai sumber, berikut adalah penjelasan mereka.

Bermula Saat Inggris Keluar dari Uni Eropa (Brexit)

Menurut beberapa analis, krisis politik di Inggris bermula saat eks PM David Cameron menyerukan referendum untuk meninggalkan Uni Eropa pada 2016.
ADVERTISEMENT
Kala itu, Cameron berharap pemungutan suara di parlemen akan mampu mengakhiri perang saudara yang terjadi antar sesama anggota Partai Konservatif (Tory) yang ia naungi untuk menjaga agar partai itu tetap berkuasa.
Namun, menurut para analis, langkah tersebut justru merupakan sebuah kesalahan perhitungan proporsi. Parlemen Inggris memilih untuk meninggalkan Uni Eropa dengan selisih perhitungan suara yang kecil, namun dampaknya signifikan.
Hasilnya, tidak hanya menimbulkan perpecahan tetapi juga mengubah arah kebijakan luar negeri, ekonomi, dan perdagangan Inggris.
Sebagian besar ahli politik dan ekonom memperkirakan, keputusan Inggris untuk meninggalkan UE hanya akan membuat negara itu lebih miskin dan secara politik tak lagi relevan.
Voting Brexit di Parlemen Inggris Foto: Reuters/UK Parliament/Jessica Taylor
Tak lama setelah referendum digelar, para pencetus pemungutan suara Brexit, termasuk juru kampanyenya yakni Boris Johnson, tidak memiliki rencana nyata untuk mengurai ikatan ekonomi dan politik dengan Uni Eropa yang sudah terjalin selama puluhan tahun. Oleh karenanya, kekacauan politik pun terjadi hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Tak lama pula usai referendum digelar, Cameron memutuskan untuk mengundurkan diri dan digantikan oleh PM wanita Inggris kedua, Theresa May.
Namun, kesalahan perhitungan besar lainnya kembali terjadi. Pada 2017, May memutuskan untuk mempercepat penyelenggaraan pemilu, namun hanya berujung pada dirinya yang kehilangan kendali atas partainya sendiri di parlemen.
Setelah menjabat sebagai PM Inggris selama tiga tahun, posisi May kemudian digantikan oleh suksesornya, Boris Johnson.
Ia menyandang status PM pada tahun 2019, saat krisis pandemi COVID-19 melanda Eropa. Di saat angka penularan virus corona sedang melonjak dan peraturan lockdown diberlakukan, Johnson tersandung skandal ‘partygate’ pada Juni 2020.
PM Inggris Boris Johnson dalam debat Brexit di Parlemen. Foto: Reuters/UK Parliament/Jessica Taylor
Kala itu, Johnson diketahui menghadiri acara ulang tahunnya sendiri di kediaman Downing Street No.10 dan pesta yang diselenggarakan oleh Partai Konservatif, melanggar peraturan lockdown yang diberlakukan oleh pemerintahannya sendiri.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, pada April 2022 ia dipaksa untuk membayar denda dan meminta maaf kepada masyarakat atas pelanggaran itu.
Skandal ‘partygate’ menjadikan Boris Johnson sebagai PM Inggris pertama yang terbukti melanggar hukum saat menjabat. Ia kemudian memutuskan mundur dari jabatannya pada Juli tahun ini, akibat desakan dan perpecahan internal dari sesama anggota Tory.

Pandangan Pengamat Politik

Beberapa bulan berselang, pendukung setia Johnson, Liz Truss, menggantikan posisinya pada 6 September lalu.
Dalam kampanye politiknya, Truss menginisiasikan sebuah program ekonomi yang justru memperburuk perekonomian Inggris. Ia mengusulkan kebijakan pemotongan pajak untuk perusahaan dan orang kaya tanpa mengurangi pengeluaran publik.
Namun, di tengah inflasi yang mencapai 10 persen, krisis energi akibat sanksi terhadap Rusia, dan kenaikan biaya hidup, program ekonomi Truss semakin mengguncang pasar keuangan, menjatuhkan nilai tukar poundsterling, dan membuat suku bunga hipotek meroket.
ADVERTISEMENT
Terkait kekacauan yang terjadi di Inggris saat ini, salah seorang penulis buku dan profesor di Queen Mary University di London, Tim Bale, ikut berkomentar.
Perdana Menteri Inggris yang baru Liz Truss tiba di Downing Street Nomor 10, di London, Inggris, Selasa (6/9/2022). Foto: Phil Noble/REUTERS
Menurut Bale, alasan di balik gagalnya PM dari Tory seperti Johnson dan Truss adalah janji politik mereka sendiri.
Johnson dan Truss menjanjikan berbagai hal kepada publik yang tidak dapat mereka penuhi. Dalam kasus Johnson, itu adalah Brexit yang bebas biaya dan bebas masalah. Sementara Truss, adalah soal pemotongan pajak yang tidak didanai.
“Ini adalah fantasi yang ingin dipercayai oleh banyak orang Inggris, bahwa karena masa lalu kita yang seharusnya mulia, kita juga berhak atas masa kini atau masa depan yang sama mulianya,” kata Bale, seperti dikutip dari AFP.
ADVERTISEMENT
“Saya pikir para politisi terus memberi makan mitos bahwa kita dapat memiliki tingkat kesejahteraan Skandinavia pada tingkat perpajakan Amerika,” imbuhnya.
Lebih lanjut, seorang profesor ilmu politik dan kebijakan publik di London School of Economics, Patrick Dunleavy, juga turut berkomentar.
Dunleavy mengkritik sistem pemerintahan Inggris dan cara Tory yang berkuasa memilih pemimpinnya dinilai berkontribusi pada kekacauan politik yang sedang berlangsung.
“Misalnya, perdana menteri dapat dengan bebas menunjuk orang untuk pekerjaan yang sangat penting tanpa pengawasan parlemen seperti yang Anda miliki, katakanlah, dengan sidang konfirmasi Senat di AS,” tutur Dunleavy.
Menteri Keuangan baru Inggris Kwasi Kwarteng, meninggalkan 10 Downing Street setelah pertemuan dengan Perdana Menteri baru Inggris Liz Truss di pusat kota London, Selasa (6/9/2022). Foto: ISABEL INFANTES/AFP
Hal itu, sambung dia, yang membiarkan Truss menunjuk sekutu politiknya yang kurang dikenal, Kwasi Kwarteng, untuk menjadi sekretaris perbendaharaan Inggris (kanselir Exchequer). Namun, Kwarteng dipecat oleh Truss usai program ekonomi yang mereka cetuskan bersama malah memperburuk perekonomian Inggris.
ADVERTISEMENT
Dunleavy memaparkan, masalah lain yang menjadi penyebabnya adalah kepemimpinan partai diputuskan bukan oleh anggota parlemen, tetapi anggota partai, yang apabila melihat kasus Tory, lebih tua dan lebih konservatif daripada populasi Inggris lainnya.
“Mereka [anggota Tory] tidak terlalu terinformasi dengan baik atau kritis sebagai pemilih,” kritik Dunleavy. “Jadi, mereka telah memilih dengan buruk, sungguh, dengan Boris Johnson dan Liz Truss,” jelas dia.
Ketika baru dilantik, Truss menerima berbagai kritik akibat kebijakan pemangkasan pajak. Kebijakan tersebut juga dilakukan berbarengan dengan pembebasan pajak dari beberapa kalangan dan menambah utang Inggris.
Perdana Menteri Inggris, Liz Truss menyampaikan pidato pengunduran dirinya di luar 10 Downing Street, London, Britania Raya, Kamis (20/10/2022). Foto: Daniel LEAL/AFP
Di satu sisi, kebijakan tersebut bertentangan dengan kebijakan kenaikan suku bunga bank sentral. Akibatnya, pasar obligasi mengalami kekacauan dan nilai tukar mata uang poundsterling jatuh ke level terendah.
ADVERTISEMENT
Akibat desakan oleh berbagai pihak termasuk dari partainya, sebelum mengundurkan diri Truss pun memberhentikan Kwarteng. Jeremy Hunt diangkat untuk menggantikannya. Setelah diangkat, Hunt pun memutuskan untuk tidak melanjutkan kebijakan pemangkasan pajak yang diajukan oleh Truss dan Kwarteng.
Partai Konservatif melihat bahwa kebijakan Truss semakin memperparah krisis di negara tersebut. Dua menteri dari kabinet pimpinan Truss memutuskan untuk mundur.
Tekanan dari berbagai pihak pun terus berdatangan ke Truss untuk menangani kenaikan biaya hidup, inflasi, dan ancaman resesi yang semakin nyata di depan mata.
Akhirnya, setelah baru menjabat selama 45 hari Truss memutuskan tidak lagi menjabat sebagai PM. Ia akan benar-benar berhenti saat kepala pemerintahan penggantinya resmi ditunjuk. Dan saat ini, kandidat kuat untuk menggantikannya berada pada Boris Johnson dan eks menteri keuangan Rishi Sunak.
ADVERTISEMENT
Saat ini, baik Johnson dan Sunak sudah mulai menggalang dukungan, meski belum secara resmi menggelar kampanye. Sementara itu, hasil pemenangnya kemungkinan akan diumumkan pada Senin atau Jumat pekan depan.