Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Hanya berselang kurang dari tiga pekan usai lengser sebagai kepala negara dan menghabiskan waktu di kota asalnya Solo, Joko Widodo kembali bertolak ke Jakarta pada 7 November.
Berkemeja putih dengan lipatan di bagian lengan yang lekat dengannya dari sejak blusukan, nyapres, hingga menjabat RI-1, Jokowi ngevlog via akun Instagram pribadinya di Bandara Adi Soemarmo, Solo, seraya mengatakan bakal menengok cucu di Jakarta.
Di hari yang sama, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar di Jakarta bakal mengumumkan struktur baru partainya setelah dipimpin Bahlil Lahadalia. Ketua DPP Golkar, Dave Fikarno, sempat menyebut bakal ada kejutan di momen tersebut. Isu yang beredar kala itu: Jokowi dan anaknya, Gibran Rakabuming, bakal “berbaju kuning” alias bergabung dengan partai beringin.
Meski demikian, hingga nama-nama struktur pengurus diumumkan pada sore harinya, tak ada nama Jokowi atau Gibran. Barulah pada 5 Desember 2024, Sekretaris Bidang Organisasi DPP Golkar Derek Loupatty mengungkap bahwa Jokowi dan Gibran, termasuk Prabowo, adalah anggota kehormatan Golkar.
Dalam AD/ART Golkar, anggota kehormatan berhak berpendapat, membela diri, hingga memilih dan dipilih. Namun, status itu beda dengan kader yang memiliki hak-hak tersebut, plus hak penugasan partai dan dipromosikan di struktur partai dan jabatan publik.
Sehari sebelum pernyataan Derek, pada 4 Desember, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto menegaskan kembali bahwa Jokowi dan keluarga sudah bukan bagian dari PDIP. Jokowi memang sudah beda jalan politik dengan PDIP sejak mendukung Prabowo-Gibran ketimbang Ganjar-Mahfud yang diusung PDIP pada Pilpres 2024.
Namun status keanggotaan Jokowi di partai banteng seakan digantung karena tak pernah ada pernyataan maupun surat pemecatannya secara resmi. Ucapan “Jokowi bukan bagian dari PDIP” juga setidaknya pernah terlontar pada April 2024 melalui Kepala Mahkamah Kehormatan Partai PDIP, Komarudin Watubun.
Menurut Komarudin, alasan PDIP belum menerbitkan surat pemecatan Jokowi karena menghormati statusnya yang pernah menjadi kepala pemerintahan hingga panglima tertinggi angkatan bersenjata RI–status yang melekat di jabatan presiden.
“Itulah kenapa kita tidak bisa ambil tindakan [pemecatan], hanya sampaikan lewat media berulang-ulang. Kalau sudah tidak mau lagi bersama, ya, silakan berpisah baik-baik. Kami jaga kehormatan Pak Jokowi, Gibran, atau Bobby, silakan kembalikan KTA (Kartu Tanda Anggota)” kata Komarudin kepada kumparan.
Jokowi hanya merespons pernyataan Hasto dengan menyebut “partai perorangan”. Tak jelas apa maksud jawaban Jokowi itu. Apakah ia menyebut PDIP sebagai partai perorangan atau Jokowilah yang menyatakan diri kini sebagai sosok independen atau perorangan.
Handoko, Sekjen Projo, ormas relawan pendukung Jokowi, menafsir respons tersebut menunjukkan bahwa Jokowi sudah mengafirmasi bukan bagian PDIP lagi.
“Artinya akan ada langkah politik berikutnya Pak Jokowi yang sudah enggak lagi ada embel-embel PDIP,” kata Handoko, Sabtu (7/12).
Handoko menyebut Projo masih kerap berdiskusi dengan Jokowi di momen-momen tertentu. Semisal sebelum Pilkada 2024 pada November lalu, muncul pembicaraan soal opsi langkah politik Jokowi ke depan.
Di antara opsi yang muncul ialah Projo bersalin rupa menjadi menjadi partai politik atau Jokowi membuat parpol sendiri, sementara relawan Projo menjadi tulang punggung untuk menggerakkan parpol itu.
“Opsi itu banyak, masuk ke partai lain ada Golkar, Gerindra, PAN. Ada opsi lagi bikin partai sendiri, atau tetap melakukan fungsi menjadi saluran masyarakat untuk menyampaikan aspirasi tanpa berada dalam partai politik,” ujar Handoko.
Namun demikian, Handoko menyebut semua opsi itu masih ditimbang Jokowi lantaran Pilpres masih 5 tahun lagi. Bisa saja, menurutnya, Jokowi memutuskan langkah politiknya setahun atau dua tahun ke depan.
Setelah pensiun dari jabatan presiden, Jokowi tidak pernah benar-benar lepas dari kegiatan politik. Ia masih terbuka menemui dan meng-endorse calon kepala daerah seperti yang dilakukannya kepada Ridwan Kamil dan Ahmad Luthfi, termasuk bertemu dengan Presiden Prabowo di Solo dan Jakarta.
Usai pertemuan Prabowo-Jokowi di Kertanegara pada Sabtu (7/12), Prabowo bahkan menyebut Partai Gerindra terbuka menerima Jokowi. Sekjen Golkar Sarmuji sebelumnya juga menegaskan partainya bakal menerima mantan wali kota Solo itu jika memang hendak bergabung ke Golkar.
Tetap aktif di kancah politik setelah menjabat kepala negara di Indonesia sebenarnya bukan perkara baru bagi para mantan presiden RI. Lantas apa perbedaan jalan politik Jokowi dengan para pendahulunya?
BJ. Habibie: Batal Nyapres dan Aktif di NGO
Setelah didesak mengadakan pemilu legislatif pada 1999 pasca-kejatuhan rezim Soeharto, Bacharuddin Jusuf Habibie sempat menjadi calon presiden petahana dari Partai Golkar.
Dalam buku Detik-Detik Yang Menentukan (2006) Habibie berkisah sempat bimbang memutuskan maju sebagai capres atau tidak pada 19 Oktober 1999 atau sehari sebelum pemilihan presiden. Karena pada saat itu sudah banyak kubu politik di akar rumput yang saling bertentangan antara mendukungnya atau menentangnya jadi capres petahana.
Habibie khawatir dan berkaca Indonesia bisa saja menjadi Yugoslavia atau Uni Soviet yang pecah berkeping-keping jika ia saat itu tidak mengambil keputusan yang arif.
Maka dari itu, dengan segala pertimbangan baik-buruk antara maju dan mundur nyapres, Habibie pun menetapkan diri akan mencalonkan lagi jika laporan pertanggungjawabannya sebagai presiden diterima.
Namun keputusannya mengadakan referendum Timor-Timor di akhir jabatannya membuat MPR menolak laporan pertanggungjawabannya sebagai presiden pada 20 Oktober 1999 dini hari. Habibie–yang saat itu merupakan Ketua Presidium Harian Dewan Pembina Golkar–akhirnya mengurungkan niatnya untuk nyapres.
Pada hari itu juga, Habibie menyatakan cita-citanya setelah pensiun hendak mendirikan Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO) yang berfokus untuk memperjuangkan demokrasi dan hak asasi manusia. Kelak, cita-cita ini diwujudkan dengan pendirian Habibie Center pada 10 November 1999 di mana ia menjadi pendiri dan ketua dewan pembinanya.
Sejak tahun 2000, Habibie juga menjadi anggota sejumlah NGO internasional antara lain: The Inter-Action Council yang anggotanya kurang lebih 40 mantan pemimpin dari berbagai negara; Liga Muslim Dunia (Rabithah ‘Alam Islami); The National Academic of Engineering, hingga pendiri Asosiasi Internasional Bidang Kolegium pakar Etika dan Politik yang didirikan di Bled, Slovenia.
Sebagai mantan presiden, Habibie juga pernah tercatat menemui Susilo Bambang Yudhoyono sebelum pemilu 2009 untuk memberikan dorongan moral dan berdiskusi mengenai pemilu. Namun SBY menampik bahwa hal itu merupakan endorsement terhadap dirinya yang saat itu menjadi capres petahana.
“Beliau berharap semua bisa dikelola dengan baik dan justru beliau mengangkat pentingnya semacam GBHN pada era Pak Harto dulu,” kata SBY dikutip dari situs resmi Kementerian Sekretariat Negara, 21 April 2009.
Pada Pilpres 2014, Jokowi yang saat itu menjadi capres pun menemui Habibie, dan saat itu pula Rudy–sapaan akrab Habibie–memberi restu pada Jokowi sebagai rakyat.
Habibie memberi restu serupa pada 2018 saat Jokowi hendak mencalonkan diri jadi presiden di periode kedua. Pada 2016, Habibie ditetapkan sebagai Ketua Dewan Kehormatan Golkar dan dalam jabatan itu ia mengarahkan agar Golkar mendukung Jokowi dan menyerahkan pilihan wapres kepadanya.
Gus Dur: Berjibaku dengan Dualisme Partai
Setelah menjabat presiden selama kurang dari 2 tahun, Abdurrahman Wahid dimakzulkan MPR pada Juli 2001. Anggota DPR dari PKB sebelumnya bersepakat tidak hadir serempak di Sidang Istimewa MPR tersebut, namun Ketum PKB Matori Abdul Djalil bersikukuh datang karena menjabat wakil ketua MPR.
Pada November 2001, Matori pun dipecat dari jabatan Ketum oleh Gus Dur–panggilan akrab Abdurrahman Wahid–yang saat itu memiliki kapasitas sebagai Ketua Dewan Syuro PKB.
Dari sinilah muncul dualisme partai ketika Matori mengadakan Munas Khusus pada 14 Januari 2002 di Batutulis. Gus Dur juga membuat Munas tandingan 3 hari setelahnya di Kuningan, Jakarta Selatan, yang menunjuk Ketum Alwi Shihab.
Dualisme partai ini berakhir di jalur hukum pada 2003 saat Mahkamah Agung kemudian mengakui PKB kubu Alwi Shihab, sementara Gus Dur tetap menjadi Ketua Dewan Syuro.
Pada 2004, Gus Dur sempat maju sebagai calon presiden kembali namun ia gagal lolos di tahap pemeriksaan kesehatan. Setelahnya, ia acap bersuara lantang mengkritik pemerintahan SBY-Jusuf Kalla.
Misalnya menyikapi penandatanganan MoU Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka pada 2005, Gus Dur bersama tokoh-tokoh nasional membuat Gerakan Nusantara Nasional Bangkit dan Bersatu yang mencemaskan adanya pecah belah di Indonesia pasca -kebijakan tersebut.
Lalu pada 2005 dualisme partai terjadi antara PKB Muhaimin Iskandar hasil Muktamar Semarang dan PKB versi Choirul Anam hasil Muktamar Surabaya. Namun negara mengakui PKB versi Muhaimin yang saat itu didukung Gus Dur. PKB Choirul Anam pun berubah menjadi Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU).
Setahun jelang pemilu 2009, dualisme terjadi lagi antara PKB Cak Imin hasil Muktamar Ancol dan PKB versi Ali Masykur Musa hasil Muktamar Parung, Bogor pada 2008. Pemicunya ialah pencopotan Ketua Umum Dewan Tanfidz Cak Imin oleh Gus Dur pada Maret.
Mengutip pemberitaan NU Online, 27 Maret 2008, pencopotan Cak Imin melalui rapat pleno DPP PKB atas permintaan Gus Dur menyikapi laporan yang diterimanya bahwa Muhaimin ingin menggelar Muktamar Luar Biasa. Namun Muhaimin menampik hal tersebut. Artinya, kata Mahfud mengutip Gus Dur, Muhaimin menantang agar digelar MLB untuk menunjukkan kalau dia kuat atau sebaliknya Muhaimin menyerah.
Dualisme PKB berakhir dengan Surat Keputusan Nomor M. HH-67.AH.11.01 Tahun pada Juli 2008 di mana Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta mengesahkan Ketua Umum Dewan Tanfidz Cak Imin sesuai dengan hasil Muktamar Semarang 2005.
Hingga akhir hayatnya pada 2009, Gus Dur tak melakukan perlawanan terhadap PKB Muhaimin yang kepengurusannya eksis hingga kini.
Megawati: Kembali Nyapres dan Pantang Pensiun Jadi Ketum Banteng
Saat pilpres langsung pertama di Indonesia, Megawati mencalonkan kembali sebagai presiden pada Pilpres 2004. Namun, ia justru kalah telak 69%:44% di putaran kedua melawan SBY yang merupakan mantan anggota kabinetnya.
Lima tahun kemudian, Megawati kembali mencalonkan diri sebagai presiden berpasangan dengan Ketum Gerindra Prabowo Subianto. Namun lagi-lagi SBY memenangi kontestasi tersebut dengan perolehan suara 60%.
Meski begitu, karier politik Megawati tak surut karena sejak 1999 ia telah memimpin Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan–transformasi PDI yang terbelah di era Soeharto. Sepanjang perjalanan partai, PDIP sudah menggelar lima kali kongres dan selalu menunjuk Megawati sebagai Ketua Umum.
Jika dibandingkan dengan sosok yang menjabat ketum di partai lainnya pasca-reformasi, Megawati dapat dikatakan sebagai ketum terlama di Indonesia. Ia lebih lama menjabat sebagai ketum dibanding Cak Imin yang jadi ketum PKB sejak 2005.
Di bawah kepemimpinan Megawati, PDIP selalu menjadi 3 besar peraih suara di pemilihan legislatif. Partai ini juga memecahkan rekor 3 kali berturut-turut menjadi pemenang pemilu pada 2014, 2019, dan 2024. Rekor ini hanya bisa disaingi oleh sejarah kemenangan Golkar pada era Orde Baru di pemilu 1971 hingga 1997.
Meski gagal dalam pencapresan, PDIP di bawah Megawati berhasil mengantarkan Jokowi sebagai presiden dua periode. Pada 22 Maret 2018, Megawati diangkat sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Ia juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional sejak 5 Mei 2021.
Soal jabatannya ini, Megawati pernah mengungkap permintaannya kepada Jokowi untuk pensiun dari jabatan di pemerintahan, akan tetapi Jokowi tetap pada pendiriannya melibatkan Mega.
"Terus saya bilang, 'Pak, saya sudah tua, Pak. Coba yang lain. [Dijawab] ‘Enggak, (harus) Ibu.’ Ya sudah, masa saya mau (nolak)," ucap Mega dalam sambutan peresmian Kapal Rumah Sakit Terapung Laksamana Malahayati dan Kapal Kesehatan Rakyat di Tanjung Priok, Jakarta Utara, 23 Juni 2023.
Keinginan Megawati untuk pensiun dari politik terutama jadi Ketum PDIP kemudian terungkap pada Agustus 2024 lalu. Dalam pidato sambutan di kantor DPP PDIP, Menteng, Jakarta Pusat, Mega membongkar curhatannya kepada Sekjen Hasto Kristiyanto. Ia mengaku ingin banyak berkumpul dengan keluarga karena sudah tua.
Tetapi keinginan itu batal Mega lakukan. “Begitu denger ini mau diambil PDIP, saya mau jadi Ketum lagi,” tegas Mega.
Sebelumnya, elite PDIP seperti Hasto menyatakan mendengar kabar Jokowi akan mengambil alih Ketua Umum PDIP–sebuah kabar yang ditanggapi Jokowi secara sumir, “Katanya mau ngerebut Golkar, katanya mau ngerebut, masa semua mau direbut semuanya? Jangan, jangan seperti itu.”
SBY: Aktif di NGO hingga Orbitkan Nama AHY
Sebelum jabatan presidennya berakhir, pada September 2014, SBY sudah lebih dulu menerima tawaran ketika dinominasikan sebagai Ketua Global Green Growth Institute (GGGI). Ini adalah NGO yang mempromosikan pembangunan hijau di pemerintahan berbagai negara.
Jabatan SBY sebagai Ketua GGGI resmi dimulai pada November yang berlangsung hingga 2 tahun setelahnya. SBY pun sempat menemui Presiden Jokowi di Istana Merdeka pada Desember 2014 dalam rangka mengundangnya di GGGI Summit yang digelar di Indonesia pada 2015.
Mengutip Antara (8/12/2014), dalam pertemuan itu, SBY juga sempat membahas soal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pilkada yang diterbitkannya tak sampai sebulan sebelum lengser. Menurut SBY, ia dan Jokowi sepakat agar pilkada tetap dilaksanakan dengan dipilih langsung oleh rakyat.
SBY mengeluarkan Perppu Nomor 1/2014 tersebut untuk mencabut UU Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang mengatur pemilihan kepala daerah secara tidak langsung oleh DPRD.
Di era SBY menjabat, GGGI meluncurkan inisiatif baru bertajuk Kemitraan Pertumbuhan Hijau Inklusif yang mendorong negara berkembang untuk membangun dan mengembangkan proyek investasi hijau.
Di dalam negeri, SBY juga masih menjabat sebagai Ketum Demokrat. Salah satu langkah politiknya ialah mengorbitkan anak pertamanya yang kala itu sempat aktif dinas TNI, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), menjadi calon gubernur DKI Jakarta.
AHY yang saat itu masih berpangkat mayor mundur dari TNI pada September 2016. Bahkan dalam proses kampanye untuk Pilgub 2017 tersebut SBY “turun gunung” mendukung Agus yang saat itu dipasangkan dengan birokrat Pemprov DKI Jakarta, Sylviana Murni.
Setelah gagal menjadi gubernur karena menempati urutan buncit di putaran pertama, AHY kemudian meluncurkan think-tank The Yudhoyono Institute pada 2017. Ia duduk sebagai Direktur Eksekutif bersama SBY sebagai Ketua Tim Penasihat. Lembaga ini berfokus untuk menyiapkan pemimpin masa depan yang bisa menghadapi tantangan abad ke-21.
Pada 2018, resmilah AHY menjadi bagian dari struktur Partai Demokrat ketika SBY menunjuknya sebagai Komandan Komando Tugas Bersama untuk Pemilukada 2018 dan Pilpres 2019.
Sejak namanya mengorbit di perpolitikan nasional, AHY kerap didorong di internal Demokrat untuk berkontestasi di Pilpres 2019. Namun, karena gagal membentuk poros ketiga, akhirnya partai belambang mercy itu mengusung Prabowo-Sandiaga.
Pada 2020, SBY tak lagi menjabat sebagai ketum karena digantikan oleh AHY. SBY masih aktif menjadi Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat hingga 2025. Majelis Tinggi ialah badan pengambilan keputusan strategis partai yang memiliki kewenangan menetapkan capres-cawapres hingga calon ketum yang akan maju di Kongres atau Kongres Luar Biasa.
Selain di politik, SBY mencurahkan waktunya menggeluti hobi seni melukis hingga mendirikan tim bola voli untuk mengingat mendiang istrinya, Ani Yudhoyono.
Butuh Kendaraan Politik
Eksisnya setiap mantan presiden dalam kancah perpolitikan tanah air dinilai wajar oleh Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro. Menurut Agung, para eks presiden memiliki basis elektoral dan pengaruh politik, sehingga dianggap mubazir jika tidak dimanfaatkan.
“Karena bagaimana pun dalam perjalanan mereka memimpin mesti ada kekurangan-kelebihan. Bagaimana kemudian saat mereka tak lagi menjabat kekurangan-kelebihan itu bisa dikonversi positif dalam wacana publik, dalam legacy pemerintah yang berjalan,” kata Agung.
Kenyataan bahwa Jokowi masih mondar-mandir bertemu tokoh politik hingga meng-endorse cakada, menurut Agung, memperlihatkan bahwa ia butuh kendaraan politik. Hal ini juga mencontoh Megawati yang memiliki PDIP atau SBY yang memiliki Demokrat.
“Tanpa kendaraan politik dia [Jokowi] enggak bisa melakukan manuver atau orkestrasi tertentu untuk mencapai tujuan politiknya, termasuk mengamankan dinasti-dinasti politiknya, jadi beliau butuh kendaraan dalam konteks itu,” katanya.
Meski demikian, aktifnya Jokowi di kancah politik dianggap Projo bukan sebagai hal buruk. Apalagi Jokowi sebagai tokoh politik masih berusia muda 63 tahun sehingga karier politiknya masih panjang. Indonesia, menurut Projo, butuh partisipasi dari sosok dengan kapasitas seperti Jokowi.
“Pak Jokowi itu aset mahal bagi bangsa Indonesia. Jadi tentu partisipasi dari Pak Jokowi, kontribusi dari beliau itu masih sangat kita butuhkan,” kata Sekjen Projo Handoko.
Handoko menambahkan Jokowi telah terbukti memberikan manfaat bagi Indonesia sehingga menurutnya sayang jika potensi yang ada di diri Jokowi menjadi tidak termanfaatkan.